Di tengah prediksi resesi global pada 2023, setiap negara berupaya memperkuat perekonomiannya. Membangun kemitraan dagang menjadi penting.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Perdagangan bebas dianggap memberi lebih banyak keuntungan bagi rakyat negara yang berpartisipasi dibandingkan dengan sikap proteksionisme. Pertumbuhan ekonomi menjadi lebih stabil dan lebih baik. Indonesia selama 29 bulan terakhir menikmati surplus neraca perdagangan. Surplus itu terutama didorong oleh tingginya harga minyak sawit serta harga komoditas dan barang tambang, selain produk manufaktur.
Pertumbuhan tiga kawasan ekonomi superbesar, Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa, diperkirakan akan melambat pada 2023. Perlambatan itu akan memengaruhi negara lain di seluruh dunia. Indonesia tak terkecuali.
Dalam perlambatan ekonomi global, tak tertutup kemungkinan sikap proteksionis kembali muncul. Bisa juga karena keterbatasan devisa sehingga sejumlah negara membatasi impornya untuk kebutuhan esensial saja.
Pada sisi lain, negara-negara akan mengupayakan peningkatan perdagangannya untuk mendapat devisa. Kompetisi akan mewarnai pasar dan akan baik apabila berjalan adil meski pada tahap awal perdagangan baru dibuka ada pihak yang kalah dan pekerja kehilangan pekerjaan akibat barang impor yang lebih murah dan baik.
Presiden Joko Widodo berulang kali mengingatkan, semua pihak tetap waspada menghadapi perubahan global yang sulit diprediksi meski neraca perdagangan kita surplus. Mencari pasar baru ekspor, seperti disampaikan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, menjadi keharusan bagi Indonesia (Kompas, 20/10/2022).
Mencari pasar baru dapat berdasarkan negara tujuan, jenis produk yang ditawarkan, atau model kemitraan strategis. Kemitraan strategis bisa dilakukan dengan mendirikan usaha di kawasan tujuan ekspor, bermitra dengan bisnis lokal. Hal ini dilakukan sejak lebih dari 30 tahun lalu dan bisa diintensifkan.
Walakin, kita harus dapat mengirim produk yang berdaya saing. Pertama-tama kita harus memilih produk ekspor yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Minyak sawit, misalnya, adalah keunggulan kompetitif dan komparatif kita, tetapi China dan India berambisi memproduksi sendiri minyak sawit. Karena itu, hilirisasi dan diversifikasi produk penting untuk mendapatkan nilai tambah dan pasar baru.
Kita juga perlu mencari komoditas baru di tengah perubahan besar global akibat perubahan iklim, pandemi, ataupun ketidakstabilan geopolitik. Jerami padi, misalnya, sangat dibutuhkan industri peternakan sapi di Jepang. Nikel kadar rendah dapat dimanfaatkan untuk baterai. Artinya, pasar baru sebetulnya ada ketika terjadi perubahan rantai nilai global.
Pada akhirnya, dalam perdagangan internasional yang langgeng, keadilan harus tercipta. Kita harus juga bersedia menerima produk impor dari mitra dagang untuk barang yang kita butuhkan, tetapi tidak dapat kita produksi sendiri.