Sekuntum Arca, Seangan Poci, dan Perempuan Indonesia
Presiden Soekarno memproyeksikan Istana Bogor sebagai Rumah Perempuan Pilihan. Koleksi seni diambil sebagai perumpamaannya. Dewi Tara diangkat sebagai simbol dan poci sebagai metafora.
Selepas pertengahan tahun 1950-an Presiden Soekarno menunjukkan sebuah patung kepada Dullah, pelukis Istana Presiden. Patung itu menggambarkan wajah Dewi Tara.
Soekarno mengatakan bahwa patung kuno berukuran tinggi 46 sentimeter itu harus dipajang di Istana Bogor, rumah besar yang dikonsepkan sebagai ”istana para perempuan pilihan”. Tara diharapkan hadir sebagai maskot istana itu, lantaran sang dewi adalah simbol perempuan hebat apabila ditelusur dari aspek mitologis maupun historis.
Baca juga: Bung Karno, Istana, dan Simbol Padma
Tara adalah istri Sugriwa, raja wanara dari Kerajaan Kiskenda. Pada suatu kali Sugriwa mendadak berkelahi dengan Subali, saudara kembarnya. Setelah melewati pertempuran berkelok, Sugriwa menang, dan Subali tewas.
Tara menelisik musabab perkelahian yang mustahil terjadi itu, sampai akhirnya terbongkar: Sugriwa dan Subali ternyata diadu domba oleh Rahwana. Raja Alengka ini ingin memecah belah kekuatan kerajaan dua bersaudara itu, yang dianggap sebagai lawan.
Begitu Sugriwa menyadari bahwa ia membunuh saudaranya sendiri akibat hasil adu domba, jiwanya terguncang hebat. Tara lalu dengan telaten menyembuhkan sehingga Sugriwa kembali kuat.
Menurut Soekarno, dari mitologi Ramayana itu nyata Tara adalah magma perempuan. Karena itu, Soekarno berharap di Istana Bogor patung Dewi Tara itu terabadikan.
Sementara dari sisi historis yang berkait dengan sejarah Nusantara, Tara dicatat sebagai putri Sri Dharmasetu, dari wangsa Soma, yang hidup pada abad ke-9. Tara Dharmasetu kemudian menikah dengan Samaragrawira dari wangsa Syailendra. Dari perkawinan itu lahirlah Balaputradewa. Pengasuhan, pengajaran, dan pendidikan terpuji yang diberikan oleh Tara menjadikan Balaputradewa memiliki visi besar, yang lantas melahirkan Kerajaan Sriwijaya.
”Aku bisa mengatakan, bila tidak ada Tara, tak akan lahir Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan yang bikin negeri kita termasyhur, yang kata orang Sunda: kaceluk ka awun-awun, kawentar ka janaria. Termasyhur sampai ke mancanegara! Maka sekali lagi, posisikan sekuntum arca Dewi Tara itu di tempat utama di Istana Perempuan Pilihan,” kata Soekarno waktu itu.
Dalam perspektif pemikiran yang lebih jauh, apa yang disuarakan Soekarno berpokok pada satu hal bahwa ia menginginkan perempuan memiliki kemampuan tinggi, yang berkulminasi sebagai pemimpin, atau ”penata segala”.
Soekarno sedari awal kepemimpinannya selalu ingin meletakkan perempuan di singgasana. Seperti halnya ketika ia menjunjung Sarinah, pengasuhnya di masa kecil kala ia hidup miskin di Mojokerto, Jawa Timur. Selama bekerja di keluarga ayah-ibu Soekarno, Sarinah tidak digaji. Namun, perempuan dusun ini tak henti memberikan contoh-contoh kearifan dalam kehidupan, dari hari ke hari.
Dalam perspektif pemikiran yang lebih jauh, apa yang disuarakan Soekarno berpokok pada satu hal bahwa ia menginginkan perempuan memiliki kemampuan tinggi, yang berkulminasi sebagai pemimpin, atau ”penata segala”. Dan simbol klasik takhta dari seorang ”penata segala”, sebagaimana digambarkan dalam sejarah panjang Nusantara, adalah singgasana. Sementara letak singgasana adalah di fokus istana. Dan Istana Bogor dinyatakan sebagai tempatnya.
Mengapa harus Istana Bogor? Sejarah akan menjelaskan itu.
Perempuan di singgasana
Istana Bogor dibangun oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada 1744. Bangunan megah ini dinamai Paleis Buitenzorg, dengan bentuk arsitektur yang dipersonifikasi sebagai perempuan yang sedang hangat memeluk. Untuk mengaksentuasi konsep arsitektur itu, Imhoff merancang kolam berbentuk ovarium, organ perempuan untuk pembuahan.
Letak kolam itu persis di halaman depan paleis. Lalu boleh diingat, bentuk ini kemudian diadopsi dalam bentuk kaleng penaruh alat-alat kesehatan di rumah sakit. Maka perempuan adalah pembuahan, adalah perawatan, adalah kemuliaan tak terkatakan.
Paleis Buitenzorg memperoleh perluasan ejawantah filosofi ketika Inggris berkuasa di tanah Jawa, 1811-1816. Thomas Stamford Raffles mendiami gedung tersebut. Dalam kenyamanan, ia juga merasa berada dalam pelukan ibu, sang perempuan agung.
Baca juga: Dua Abad Kebun Raya Bogor
Itu sebabnya, Raffles mendatangkan enam pasang rusa dari Nepal untuk jadi penghuni taman Paleis Buitenzorg. Alasannya, bukankah perempuan (yang diimajinasikan sebagai penghuni utama istana) sangat menyenangi satwa seperti rusa? Dan merujuk kepada khazanah budaya cerita Nusantara: bukankah rusa berkaitan erat dengan perempuan bernama Dewi Sinta, dalam kisah Ramayana?
Pada era Raffles, sejumlah bangunan direnovasi besar-besaran. Bahkan Raffles membuka lahan baru berupa hutan buatan, yang dinamai Hortus Bogoriensis. Hutan yang diniatkan sebagai tempat penelitian botani ini kemudian disebut Kebun Raya Bogor. Sampai di sini pemahaman Raffles masih berkait: bukankah para perempuan adalah makhluk yang sangat menyukai tanaman? Demeter, dewi tetumbuhan dalam legenda Yunani, dirangkul jadi rujukan.
Istana perempuan anggun ini mulai direnovasi oleh Soekarno pada 1952. Sambil dibenahi, seluruh ruang diisi karya seni berkualitas tinggi yang jadi koleksinya, dengan tetap menerapkan konsep warisan Van Imhoff. Ia pun memajang karya-karya seni yang menggambarkan estetika dan keluhuran perempuan. Atau karya seni yang menyimbolkan spirit perempuan.
Lalu terpajanglah lukisan perempuan berkebaya karya maestro Diego Rivera dan Basoeki Abdullah. Ada lukisan perempuan dalam berbagai aksi ciptaan Trubus, Lee Man Fong, sampai Giovanetti. Ada lukisan CL Dake Jr, Dullah, dan Ernest Dezentje yang menggambarkan aneka puspita, yang selalu diasosiasikan sebagai perempuan dan kesukaan kaum perempuan. Di banyak sisi taman bertebaran patung bertema perempuan karya Edhi Sunarso, M Manisser, dan sebagainya.
Dalam koffie uurtje (rehat kopi) bersama sejumlah seniman di bagian belakang Istana Bogor, Soekarno bertutur, ”Aku meyakini di Istana Bogor para perempuan akan mengibarkan benderanya. Dan di sini pula kuharap para perempuan menemukan momentum untuk jadi dirigent, jadi konduktor, yang akan menggerakkan sekalian orang di seluruh Indonesia Raya.”
Lewat Istana Bogor beserta isinya, Soekarno ingin menyadarkan bahwa perempuan bukanlah sekadar vrienden untuk ramai-ramai dansa. Bukan cuma levenspartner di rumah atau menonton tonil saja. Namun juga tenaga kuat seperti Nemesis dalam mitologi Yunani. Seperti Apasia Miletus dalam sejarah klasik Eropa. Seperti pikiran hebat Hilde Mangold dari Jerman dan Marie Curie dari Polandia. Juga seperti perempuan gagah berani Laksamana Keumalahayati di Aceh sana.
Lewat inspirasi patung mungil Dewi Tara aku mendorong agar para perempuan Indonesia jadi manusia cerdik-pandai, menjadi tokoh bangsa, bahkan bangkit menjadi penata segala-gala di negerinya.
”Kini aku menantang kepada para perempuan untuk merebut rumahnya yang megah ini. Lewat inspirasi patung mungil Dewi Tara aku mendorong agar para perempuan Indonesia jadi manusia cerdik-pandai, menjadi tokoh bangsa, bahkan bangkit menjadi penata segala-gala di negerinya. Untuk menaungi kebesaran itu, Istana Bogor aku siapkan sebagai rumahnya!”
Sambil mengucapkan itu Soekarno merancang, Istana Bogor akan dijajari lukisan atau patung yang mengabadikan Cut Nyak Dhien, Raden Ajeng Kartini, Martha Christina Tiyahahu, Cut Meutia, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, Raden Dewi Sartika, Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, sampai Maria Walanda Maramis.
”Aku ingin menempatkan perempuan-perempuan seperti ini di takhta tertinggi, sehingga mereka jadi nationale inspiratie.”
Memburu poci, sang Ibu Sejati
Syahdan pada suatu kali Soekarno diminta membuka pameran lukisan di Ubud, Bali. Dalam acara tersebut Soekarno bercerita bahwa koleksinya mulai banyak dan sebagian besar dikumpulkan di Istana Bogor.
”Di Istana Bogor aku juga memajang keramik dan porselen. Namun dari ratusan koleksi itu, hanya satu atau dua saja yang berbentuk poci. Padahal aku tahu, poci adalah benda yang punya makna simbolik tinggi. Poci itu menyimpan air dalam tubuhnya dan selalu siap membagikan kepada yang membutuhkan, lewat mulutnya. Poci itu Ibu Sejati, sang makhluk agung yang terus memberi. Saudara-saudara, aku menunggu datangnya poci istimewa di Istana Bogor kita.”
Ihwal filosofi poci sebagai Ibu Sejati ini ternyata merujuk kepada sejarah lama, yang menyamakan poci dengan kendi. Pemahaman ini berangkat dari etimologi kata kendi, yang berasal dari kata Sanskerta, kundika (wadah sumber kehidupan). Maka apa yang diceritakan Soekarno soal poci itu sesungguhnya adalah metafora tentang kerinduannya kepada para perempuan utama.
Baca juga: Bung Karno, Negara, dan Ketuhanan
Sah untuk diimajinasikan, Soekarno (yang wafat pada 1970), tidak pernah habis kesabaran menunggu poci-poci itu memasuki dan menghuni istana, untuk jadi perempuan utama atau Ibu Sejati yang duduk di singgasana sambil menata segala di Indonesia Raya. Seperti dahulu Ratu Maharani Shima dari Kalingga, Ratu Dyah Tulodong dari Kerajaan Ludoyong, Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi dari Majapahit, Sultanah Syah Alam Barisyah dari Aceh, atau Ratu Kalinyamat dari Jepara, yang diingat sebagai ahli kanuragan dan tata pemerintahan.
Namun anehnya, sampai dekade kedua abad ke-21, sangat sedikit sang poci Ibu Sejati yang datang. Padahal Istana Bogor lebar membuka pintunya. Padahal sekuntum arca Dewi Tara siap menyambut, kapan saja. Padahal di Indonesia begitu banyak perempuan pintar dan baik, yang senantiasa sigap membagikan air kehidupan. Padahal di negeri ini tak sedikit perempuan hebat yang layak di-empu-kan untuk menyelesaikan segala urusan.
Lalu kita pun boleh bertanya, mengapa demikian?
Agus Dermawan T, Penulis Buku-buku Budaya dan Seni