Reformasi birokrasi mensyaratkan PNS sebagai tulang punggung perubahan birokrasi sehingga sudah seharusnya PNS diberdayakan serta diberi kepercayaan dan tanggung jawab memimpin perubahan, bukan diserahkan ke tim lain.
Oleh
HUSNI ROHMAN
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Kanal berita daring kompas.com pada kurun 26-29 September 2022 memberitakan polemik keberadaan Tim Bayangan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Tim tersebut terdiri dari 400 orang yang tugas utamanya adalah untuk menciptakan terobosan dalam pemanfaatan teknologi pada layanan pendidikan yang berorientasi kepada pengguna (siswa dan guru).
Artikel ini berupaya mengulas secara ringkas fenomena keberadaan tim-tim ad hoc semacam itu dalam perspektif keilmuan administrasi publik, bagaimana praktik di lapangan, dan implikasi terhadap agenda reformasi birokrasi.
Dalam literatur akademik, kemunculan unit-unit koordinatif, baik di dalam maupun di luar struktur birokrasi, merupakan manifestasi dari konsep ”whole of government” atau joined-up government. Konsep ini merupakan salah satu jawaban atas kritik terhadap paradigma Manajemen Publik Baru (New Public Management) yang menekankan kepada aspek otonomi lembaga dan desentralisasi kewenangan (Christensen dan Lagreid, 2007).
Kritik tersebut melahirkan paradigma Post-New Public Management (Post-NPM) yang mendorong adanya koordinasi dan kolaborasi antar unit-unit birokrasi. Setidaknya terdapat dua instrumen utama dari paradigma Post-NPM, yaitu (i) kemunculan unit-unit organisasi yang bersifat koordinatif dan lintas sektor, serta (ii) penekanan kepada aspek teknologi untuk memperbaiki proses bisnis pelayanan publik.
Pada intinya, kedua instrumen tersebut digunakan untuk memperkuat orkestrasi dari sebuah kebijakan agar dapat terlaksana dengan cepat dan tepat. Ada banyak istilah untuk menyebut unit-unit organisasi semacam itu, seperti gugus tugas, kelompok kerja, komite percepatan, tim koordinasi, unit strategis, dan lain sebagainya (Gregory, 2006). Unit-unit tersebut mempunyai tugas utama untuk memperbaiki fragmentasi birokrasi dalam proses pembuatan kebijakan (policy making process) melalui penguatan kolaborasi horizontal dalam penanganan isu-isu yang kompleks dan lintas sektor.
Kemunculan unit-unit organisasi tersebut jamak ditemukan dalam tradisi administrasi publik negara-negara anglo-saxons. Beberapa negara yang menjadi pionir dari pendekatan ini di antaranya Inggris, Australia, dan Selandia Baru (UNDP, 2015).
Praktik pembentukan unit-unit organisasi di Indonesia marak dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, baik di level nasional, internal kementerian/lembaga (K/L), maupun di level pemerintah daerah. Di level nasional terdapat Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) yang dibentuk pada tahun 2006 yang kemudian bertransformasi menjadi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Kantor Staf Presiden (KSP).
Secara konseptual, keberadaan unit-unit tersebut memiliki maksud dan tujuan yang baik. Namun, tampaknya keberadaan unit-unit tersebut tidak selalu dapat diterima oleh birokrasi.
Di level internal K/L bermunculan unit-unit serupa dengan berbagai nama, mulai dari tim asistensi, tim percepatan, tim khusus, project management office (PMO), dan sejenisnya. Di level pemerintah daerah muncul istilah tim gubernur, tim wali kota, tim percepatan pembangunan daerah, dan lain sebagainya. Semua tim tersebut pada intinya bertugas untuk mengawal program prioritas pejabat politik, sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, hingga evaluasi.
Secara konseptual, keberadaan unit-unit tersebut memiliki maksud dan tujuan yang baik. Namun, nampaknya keberadaan unit-unit tersebut tidak selalu dapat diterima oleh birokrasi.
Resistensi
Jika kita menyimak kolom komentar pada saat rapat kerja DPR dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang disiarkan langsung oleh akun Youtube Komisi X DPR pada 26 September 2022, akan terlihat bagaimana resistensi disuarakan oleh beberapa warganet yang tampaknya merupakan pegawai negeri sipil di Kemendikbudristek. Setidaknya terdapat beberapa hal yang bisa dan mungkin menjadi penyebab munculnya resistensi tersebut.
Pertama, kemunculan unit-unit tersebut sejalan dengan adanya anggapan bahwa birokrasi dan SDM di dalamnya cenderung lamban, tidak kompeten, minim inovasi, dan bekerja secara silo. Merespons hal tersebut, political appointee cenderung lebih nyaman membentuk tim baru ketimbang memberdayakan SDM yang ada.
Kemunculan unit-unit tersebut sejalan dengan adanya anggapan bahwa birokrasi dan SDM di dalamnya cenderung lamban, tidak kompeten, minim inovasi, dan bekerja secara silo.
Cara pandang tersebut yang kemudian membentuk pola komunikasi tim-tim tersebut dalam berinteraksi dengan birokrasi cenderung mengandalkan pendekatan power alih-alih semangat kolaborasi. Akibatnya, hubungan yang terbangun cenderung bersifat top down dan menyubordinasi birokrasi.
Kedua, tim-tim tersebut cenderung memiliki keistimewaan (privilege) dibandingkan birokrasi, baik dari sisi kesejahteraan, keleluasaan bekerja, dan mekanisme akuntabilitas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para profesional yang menjadi anggota tim-tim semacam itu berpenghasilan lebih baik daripada PNS kementerian/lembaga. Kondisi tersebut menjadi tidak sehat karena PNS di sekitarnya masih memiliki problem kesejahteraan yang belum juga terselesaikan.
Keistimewaan lain adalah tim tersebut beserta anggota di dalamnya tidak terikat dengan berbagai sistem yang melekat di birokrasi, seperti sistem kepegawaian, sistem penilaian kinerja, sistem monitoring, dan evaluasi, sistem pertanggungjawaban keuangan, dan sistem lain sebagainya. Keleluasaan tersebut yang menjadikan tim-tim tersebut lebih dapat terlihat berkinerja ketimbang rekan sejawatnya di birokrasi kementerian. Kesenjangan tersebut yang mengakibatkan adanya kecenderungan gagalnya unit-unit tersebut mendapat dukungan dari internal birokrasi pemerintahan.
Lalu apa implikasi dari fenomena keberadaan unit-unit semacam itu terhadap agenda reformasi birokrasi? Tujuan utama dari reformasi birokrasi adalah di antaranya untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional, berkinerja tinggi, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.
Tujuan tersebut mensyaratkan PNS sebagai tulang punggung perubahan birokrasi sehingga sudah seharusnya PNS diberdayakan serta diberi kepercayaan dan tanggungjawab untuk memimpin perubahan. Dalam konteks tersebut, sudah selayaknya fungsi-fungsi koordinasi dipercayakan kepada unit-unit birokrasi, baik di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.
Husni Rohman, Perencana Madya, Kementerian PPN/Bappenas