Pembelahan rezim pemilu, menjadi pemilu nasional dan pilkada, yang merupakan konsep baru dalam hukum ketatanegaraan Indonesia, dalam praktik tidak sepenuhnya memunculkan hal baru.
Oleh
MARDIAN WIBOWO
·6 menit baca
Hampir satu dekade telah terjadi pembelahan fundamental atas konsep pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. Pemilu dipisahkan menjadi dua. Pertama, pemilu nasional untuk memilih pasangan presiden dan wakil presiden, serta memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kedua, pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota.
Untuk memahami pembelahan demikian, perlu dirunut beberapa peristiwa utama yang memengaruhinya. Pada 1998 muncul gerakan Reformasi yang selain menumbangkan rezim Orde Baru, juga telah mendorong perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar negara. Salah satunya adalah mengubah cara pemilihan kepala daerah, dari semula dipilih oleh wakil rakyat (DPRD) diubah menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Pemilihan secara langsung diawali pada 2005 dengan dasar hukum UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perselisihan atas hasil pemilihan tersebut akan diselesaikan di Mahkamah Agung (MA).
Kewenangan penyelesaian perselisihan kemudian dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan UU No 12/2008 yang mengubah UU No 32/2004. Namun, pada 2013, setelah sempat lima tahun menangani perkara pilkada, MK dalam salah satu perkara pengujian undang-undang menyatakan bahwa pilkada adalah rezim pemilihan yang berbeda dengan rezim pemilu nasional. Pilkada diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang berada dalam bab pemerintahan daerah, sementara pemilu nasional diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 yang berada dalam bab pemilihan umum.
Sederhananya, MK melalui Putusan No 97/PUU-XI/2013 melakukan pembelahan atas pemilu menjadi dua. Sejak saat itu, secara konseptual, sistem ketatanegaraan Indonesia mengenal dua rezim pemilihan, yaitu pemilu nasional dan pilkada.
Babak baru yang tidak benar-benar baru
Sebagai konsekuensi pembelahan demikian, pembentuk UU berencana membangun ”badan peradilan khusus pemilihan” untuk menangani perkara pilkada, sementara MK diposisikan tetap menangani perkara pemilu nasional. Uniknya, meskipun dibentuk badan peradilan khusus, hal tersebut tidak diiringi upaya membentuk suatu lembaga penyelenggara pilkada yang terpisah dari penyelenggara pemilu nasional.
Faktanya, baik pemilu nasional maupun pilkada dilaksanakan oleh penyelenggara yang sama, yaitu Komisi Pemilihan Umum dan jajarannya, dengan pengawas yang sama, yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan jajarannya. Bahkan perilaku KPU dan Bawaslu, baik secara etika maupun administrasi, diawasi oleh dewan etik yang sama, yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Pembelahan rezim pemilu, yang merupakan konsep baru dalam hukum ketatanegaraan Indonesia, dalam praktik tidak sepenuhnya memunculkan hal baru.
Fakta-fakta demikian menunjukkan bahwa pembelahan rezim pemilu, yang merupakan konsep baru dalam hukum ketatanegaraan Indonesia, dalam praktik tidak sepenuhnya memunculkan hal baru. Dapat dikatakan kebaruan konsep demikian hanya ada di atas kertas.
Justru yang menyusul muncul setelahnya adalah keinginan menyerentakkan atau menyamakan waktu pelaksanaan pilkada. Upaya penyerentakan ini dilakukan secara bertahap selama beberapa periode yang akan mencapai fase serentak sepenuhnya pada 2024. Artinya di tahun 2024 seluruh pilkada akan dilaksanakan bersamaan. Dari sisi penyelesaian sengketa, hal demikian memberikan beban besar kepada badan peradilan pemilu karena perkara menumpuk pada waktu yang sama, dan semua harus diputus dalam waktu singkat.
Mengakhiri pembelahan
Desain penanganan sengketa pilkada serentak terlihat baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya bermasalah. Pembentuk undang-undang, ataupun presiden/pemerintah sebagai pelaksana undang-undang, hingga kini belum membentuk badan peradilan khusus pilkada yang diperintahkan UU No 10/2016. Ini masalah besar karena kewenangan MK menangani perkara pilkada adalah kewenangan sementara/transisional. Kesementaraan demikian, menurut UU No 10/2016, akan berakhir pada 2024.
Jika pada tahun 2024, kurang dari dua tahun sejak hari ini, belum terbentuk badan peradilan khusus, sementara MK sudah tidak lagi berwenang menangani perkara pilkada, akan terjadi kekosongan hukum. Tidak ada satu pun badan peradilan yang secara hukum berwenang mengadili perkara-perkara pilkada.
Terlepas dari masalah yang ditimbulkan oleh ketiadaan langkah pembentukan badan peradilan khusus, MK dalam Putusan No 85/PUU-XX/2022 ”memperbarui” pendapatnya mengenai pembelahan pemilu nasional dengan pilkada. Pembaruan pendapat dimaksud menunjukkan bahwa MK tidak lagi menafsirkan UUD 1945 secara tematik, di mana pemilu nasional dan pilkada dilihat sebagai tema yang berbeda sehingga dianggap sebagai rezim yang berbeda pula, tetapi penafsiran MK mengacu pada original intent. Dalam pembacaannya atas original intent, MK menemukan bahwa UUD 1945 tidak membedakan antara pemilu nasional dan pilkada.
Perubahan perspektif MK berdampak serius karena diikuti keniscayaan konseptual untuk tidak lagi mempertahankan pembelahan antara pemilu nasional dan pilkada. Sekarang, pilkada yang diatur Pasal 18 UUD 1945 dianggap bagian dari pemilu nasional yang diatur Pasal 22E UUD 1945. Karena merupakan bagian dari pemilu nasional, dalam kaitannya dengan Pasal 24C UUD 1945 yang mengatur kewenangan MK, perselisihan hasil pilkada menjadi kewenangan MK untuk mengadilinya sebagaimana MK berwenang mengadili perselisihan pemilu nasional.
Implikasi normatif
Hilangnya pembelahan pemilu demikian membawa dampak bagi badan peradilan khusus perselisihan hasil pilkada, yang pembentukannya diatur Pasal 157 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No 10/2016. Sebagai konsekuensi leburnya rezim pilkada ke dalam rezim pemilu nasional, selanjutnya disebut pemilu saja, maka badan peradilan khusus pilkada tidak lagi diperlukan, dan karena itu secara hukum Pasal 157 Ayat (1) dan Ayat (2), serta sebagian Ayat (3) dihilangkan oleh MK melalui Putusan MK No 85/PUU-XX/2022.
Akan tetapi, apakah hanya karena ”tidak lagi diperlukan” lantas konsep badan peradilan khusus menjadi inkonstitusional? Di sinilah perlu kehati-hatian dalam membaca putusan dimaksud.
Pada dasarnya ”wujud” undang-undang diperoleh dari paduan antara isi (norma) dan wadah (forma). Dengan demikian, ketika suatu putusan pengujian undang-undang menyatakan pasal atau ayat tertentu bertentangan dengan UUD 1945, bisa saja yang bertentangan hanya norma, forma saja, atau keduanya sekaligus. Pembatalan norma yang tidak diikuti pembatalan forma dapat dilihat pada putusan MK yang mengubah makna (conditionally constitutional), di mana wujud/rumusan pasal atau ayat tetap dipertahankan, tetapi isi/normanya diberi makna baru.
Putusan MK No 85/PUU-XX/2022 yang membatalkan Pasal 157 Ayat (1), Ayat (2), dan sebagian Ayat (3) UU No 10/2016 harus dibaca sebagai pembatalan/penghapusan formanya saja, tetapi tidak membatalkan normanya. Hal demikian membawa konsekuensi bahwa norma peradilan khusus masih bernilai konstitusional. Norma tersebut memang tidak dapat diterapkan saat ini karena telah kehilangan formanya, tetapi dia dapat dilahirkan kembali sebagai undang-undang dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
Pembacaan demikian dikuatkan oleh fakta bahwa pembentukan badan peradilan khusus sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari Putusan MK No 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan MK tidak berwenang mengadili perkara pilkada. Sementara, di sisi lain, peradilan khusus pilkada bukan pula bagian dari struktur MA yang telah ditentukan oleh UUD 1945.
Dengan demikian, apakah perkara pilkada diserahkan kepada badan peradilan khusus atau diserahkan kepada MK, keduanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini semata-mata pilihan yang dilandaskan pada perhitungan efisiensi dan efektivitas. Sepertinya di titik itulah MK berada, mengambil alih kewenangan vital yang tidak satu pun lembaga bersedia menanggungnya.
Mardian Wibowo, Studi S-3 di Fakultas Hukum Unibraw; Bekerja di Mahkamah Konstitusi