Kesenian adalah tempat untuk menyemaikan integritas. Di Pusat Kesenian Jakarta TIM—didirikan tahun 1968—saya mengawali karier sebagai wartawan Kompas.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Setelah bertahun-tahun, baru pekan pertama Oktober lalu saya menginjak lagi Taman Ismail Marzuki (TIM). Kaget, bahkan kehilangan orientasi masuk kompleks yang puluhan tahun pernah saya akrabi ini. TIM menjelma sosok baru, modern, bukan lagi seperti saya kenal sebelumnya yang pada perkembangannya perlahan-lahan merosot jadi kumuh.
Penampakan luar kompleks di Jalan Cikini Raya 73, itu, sekilas mengingatkan gaya arsitektur arsitek Jepang, Kengo Kuma atau pun Tadao Ando. Masuk ke dalam menghampar taman, cocok dengan semangat kontemporer urban yang mengutamakan ruang hijau bukan lapangan parkir.
Saya naik kendaraan umum. Turun di stasiun MRT Bunderan HI, jalan kaki menuju TIM. Jakarta sekarang bagus. Beberapa kawasan memiliki jalur pedestrian, enak bagi pensiunan penganggur yang punya waktu seluas samudera. Sempat mampir Kedai Tjikini milik teman sesama veteran Palmerah.
Oh ya, sebelum berlanjut, saya ke TIM hari itu karena ajakan teman, nonton opera tentang Gayatri oleh kelompok yang kurang saya kenal. Sama terkejutnya saya nonton opera ini. Plotnya terasa begitu saya akrabi. Disadur dari naskah apa, saya bertanya-tanya, pengin kenal dengan penulisnya. Sayang sampai curtain call berakhir, disebut nama semua pendukung kecuali penulis naskah/penyusun plot yang dugaan saya bukan penulis kaleng-kaleng.
Kesenian adalah tempat untuk menyemaikan integritas. Di Pusat Kesenian Jakarta TIM—didirikan tahun 1968—saya mengawali karier sebagai wartawan Kompas. Di situ saya meliput berbagai peristiwa kesenian, pameran, diskusi, pementasan, tak ketinggalan nongkrong sehari-hari di warung-warung sekitarnya bersama para seniman.
Tak akan ada habisnya mengenang Rendra baca puisi (menjadi peristiwa pertama penyair dibayar mahal untuk baca puisi); Sardono W Kusumo mementaskan Hutan Plastik; N Riantiarno melesat dengan pentas-pentasnya mengangkat karya Bertolt Brecht; Asrul Sani memukau dalam diskusi; The Rollies menyanyikan ”Gone Are The Song Of Yesterday”; dan seterusnya.
Di kalangan seniman waktu itu ada seloroh, TIM adalah tempat belajar nulis bagi wartawan baru. Menulis peristiwa kesenian dianggap paling tidak berisiko dibanding menulis politik, ekonomi, isu keamanan, agama, dan semacamnya. Kalangan TIM rupanya menandai, pada beberapa koran dan majalah, setelah wartawan cukup punya pengalaman di TIM umumnya ditarik ke wilayah liputan yang dianggap lebih “serius” dan “bergengsi”, seperti meliput di kantor-kantor pemerintahan, mengikuti perjalanan dinas pejabat, dan lain-lain.
Tidak sepenuhnya anggapan tersebut benar. Setidaknya di Kompas ketika itu, oleh pimpinan/pendiri Kompas, Jakob Oetama, kebudayaan dianggap masalah sentral. Roh koran adalah kebudayaan, saya gemar mengulangi pernyataan yang juga sering diulang-ulang oleh beliau tadi. Mengikuti para senior di Desk Kebudayaan, selama dua abad dari sejak pertama kerja awal tahun 1980-an sampai pensiun 37 tahun kemudian TIM tetap saja jadi tempat main saya.
Saya berpendapat, dunia seni dan jurnalistik tak ada bedanya, keduanya memiliki imperatif yang sama: kebebasan. Orang-orang negeri ini sejak kecil terbiasa dengan pendidikan yang indoktrinatif, normatif, militeristik seperti tercermin pada sifat sewenang-sewenang dalam perpeloncoan. Tumbuh dalam tradisi seperti itu, ketika berkuasa mereka akan mengontrol, menguasai, dan menstandarisasi masyarakat. Mereka tidak bersahabat dengan kebebasan dan tidak peka terhadap kebutuhan orang lain.
Tujuan kesenian adalah merestorasi elemen personal. Banyak orang korupsi, mencuri dari uang sampai hak milik intelektual, menelikung keadilan, melakukan penindasan, tapi tak kalah banyak orang yang tidak demikian. Kita bisa hidup dalam ruang dan waktu kita sendiri beserta nilai-nilai kita sendiri.
Didasari kepercayaan bahwa nilai-nilai kebajikan, kebenaran, truth, tidak melulu bisa terungkap melalui fakta tapi juga dongeng, dari dulu selain membuat laporan jurnalistik saya juga menulis fiksi. Belakangan, karena punya lebih banyak waktu senggang, saya menulis novel antara lain trilogi berlatar belakang Majapahit, yakni Majapahit Milenia, Dia Gayatri, dan Kidung Anjampiani.
TIM kini saya akui sangat keren, dengan predikat antara lain “creative hub” dan “the new urban tourism destination”.
Di tengah perubahan deras, termasuk perubahan dari manusia analog jadi manusia digital, saya meraba-raba nilai-nilai lama apa yang masih tertinggal di TIM.