Tragedi Kanjuruhan dengan gamblang menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang kalah. Kejadian ini harus bisa dijadikan momentum untuk melakukan kebangkitan bangsa.
Oleh
AGUNG FATWANTO
·4 menit baca
“But man is not made for defeat. A man can be destroyed but not defeated.” Begitulah ujaran Santiago, seorang nelayan tua dari Kuba, yang meskipun tubuhnya telah renta tetap berjuang untuk menaklukkan seekor ikan Marlin besar yang ditemuinya di sekitar arus teluk pantai. Sudah hampir tiga bulan dia tidak mendapat hasil tangkapan ikan sama sekali. Tak heran apabila tetangganya sering menganggap Santiago adalah orang yang paling tak beruntung.
Santiago merupakan seorang tokoh rekaan Ernest Hemingway dalam karya fiksinya The Old Man and The Sea. Sebuah karya klasik yang dengan sangat apik menuturkan kisah perjuangan seorang manusia dalam menghadapi kekalahan demi kekalahan di hidupnya.
Di setiap titik dalam perjalanan kehidupannya, manusia selalu mendamba kemenangan. Tidak ada manusia yang menginginkan kekalahan. Kehidupan sosial kita mengajarkan bahwa kemenangan adalah hal yang layak untuk dibanggakan, sementara kekalahan adalah aib yang harus disembunyikan. John F Kennedy, Presiden ke-35 Amerika Serikat, bahkan sempat berdalil bahwa “Victory has a hundred fathers and defeat is an orphan.”
Negara yang berperang pasti ingin menang. Politisi yang bertanding dalam pemilu juga ingin menang. Penjudi pun tentu ingin menang saat bertaruh. Kemenangan memang nikmat. Menang itu memuaskan. Pemenang akan menjadi penentu. Sejarah selalu ditulis oleh pemenang.
Begitu indahnya kemenangan, bahkan kita pun bisa ikut menikmati euforia kemenangan saat misalnya tim bola di Eropa yang kita dukung menang laga. Padahal, kita toh tak memiliki relasi apapun dengan tim itu. Tetapi ya itulah kemenangan. Asosiasi yang sangat imajiner sekalipun ternyata tak bisa menghalangi sensasi kegembiraannya
Insting dasar
Jika kemenangan itu menyenangkan, maka sebaliknya kekalahan selalu terasa menyakitkan. Saat kekalahan mendera, kita merasa tidak nyaman. Kita merasa sedih, kecewa, dan bahkan marah saat menghadapi kekalahan. Semua ini berakar dari insting bertahan hidup yang dimiliki manusia.
Zaman dahulu saat kondisi kehidupan masih begitu primitif, manusia seringkali harus banyak melakukan perlawanan untuk mempertahankan hidupnya. Jika ingin bertahan hidup, maka kita tidak boleh kalah dari lawan.
Naluri bertahan hidup akhirnya terbentuk dalam diri manusia. Naluri ini sangat dibutuhkan untuk menjaga eksistensi kehidupan manusia. Seiring dengan perjalanan evolusi, maka naluri tersebut menjelma menjadi insting dasar.
Jika deraan kekalahan demi kekalahan ternyata menghinggapi banyak kalangan, maka akankah akumulasi gumpalan perasaan negatif bisa menjadi lebih masif? Jawabannya tentu saja iya.
Maka saat realita kehidupan ternyata banyak menghadirkan kekalahan dalam kehidupan manusia, tentu saja insting dasar itu akan terusik. Akumulasi kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan akan begitu menggumpal.
Lantas, jika deraan kekalahan demi kekalahan ternyata menghinggapi banyak kalangan, maka akankah akumulasi gumpalan perasaan negatif bisa menjadi lebih masif? Jawabannya tentu saja iya. Apalagi jika deraan kekalahan tersebut terjadi akibat dari ketidakadilan yang sistemik.
Mayoritas warga bangsa kita mirisnya terjebak dalam kondisi tersebut. Terpaan rentetan kekalahan terpaksa harus mereka terima dalam hidupnya. Mirisnya, kondisi tersebut seringkali diakibatkan dari adanya ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, dan politik yang terjadi secara terstruktur. Dan mereka hanya bisa pasrah, tak berdaya.
Kenapa? Karena keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia selama ini hanya sekadar slogan. Sistem ekonomi Pancasila pun tak terdengar gaungnya. Jika mayoritas warganya adalah manusia-manusia kalah, maka bangsa itu pun adalah bangsa yang kalah. Tetapi apakah kita sekadar meratapi keadaan ini?
Momentum kebangkitan
Tragedi Kanjuruhan dengan gamblang menunjukkan bahwa kita adalah bangsa yang kalah. Akumulasi gumpalan perasaan negatif akibat rundungan kekalahan dalam perjalanan hidup telah memicu tindakan para oknum tak bertanggung jawab di satu sisi serta respon yang ekstrem di sisi lain sehingga timbul kekacauan yang mengakibatkan hilangnya ratusan nyawa. Sebuah tragedi olahraga terbesar di abad ke-21.
Event olah raga seharusnya merupakan ajang untuk membentuk jiwa-jiwa sportif. Apalah artinya kegiatan olahraga tanpa membangun spirit sportivitas? Ingat, lagu kebangsaan kita dengan jelas mendedahkan yang pertama bangunlah jiwanya, baru kemudian bangunlah badannya. Kejadian ini harus bisa dijadikan momentum untuk melakukan kebangkitan bangsa.
Hanya anak kecil-lah sebenarnya yang merespon kekalahan dengan cara pengingkaran, penolakan, dan penentangan ekstrem. Mereka akan memberontak dan dengan egonya bersikeras memaksakan kemenangan. Manusia dewasa seharusnya bisa merespon kekalahan secara rasional.
Kita perlu meneladani bangsa Jepang dan Jerman dalam merespon kekalahan. Tak terbayangkan bagaimana rasa kekalahan kolektif dahulu sanggup mereka hadapi setelah kalah dalam Perang Dunia II. Meski demikian, hanya dalam beberapa dekade mereka sanggup bangkit menjadi bangsa pemenang, mengantarkan negaranya berada di barisan negara maju dunia.
Sebagaimana Santiago yang tetap gigih berusaha untuk menangkap ikan di laut setelah sekian lama gagal — meskipun dia harus berjuang dengan tubuh renta-nya — sebenarnya demikianlah respon terbaik dalam menghadapi kekalahan. Sebagai bangsa, meski selama ini perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial bagi warga bangsa sering kandas, semangatnya tidak boleh padam. Inilah tugas terbesar bangsa kita. Inilah kewajiban utama para penyelenggara negara.
Kita boleh saja pernah menjadi bangsa yang kalah. Tetapi kita tidak boleh menjadi bangsa pecundang.
Dukacita yang mendalam bagi seluruh korban tragedi Kanjuruhan.
Agung Fatwanto, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta