Perang atau sepak bola, mana yang lebih seram? Ukraina atau Kanjuruhan? Kata Pep Guardiola, tragedi Kanjuruhan sungguh gila, karena membuktikan ternyata sepak bola bisa lebih kejam daripada perang.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Dalam perang, korban bisa diantisipasi dan dievakuasi, kekerasan bisa dibawa ke meja perundingan. Tapi dalam peristiwa di Kanjuruhan, dalam sekejap kekerasan meledak tanpa bisa dibendung, lalu korban berjatuhan dan nyawa-nyawa melayang. Di Kanjuruhan, kekerasan menampakkan dirinya sebagai kekuatan buta dan irasional. Kekerasan itu bagaikan setan atau kekuatan gelap yang hanya menghendaki kehancuran dan kematian.
Sepak bola memang bermuka dua. Mungkin seperti numen atau numinous dalam pengertian filsuf Rudolp Otto. Di satu pihak, sepak bola itu fascinans, semacam misteri menarik dan menyenangkan, yang memberi rasa kebaikan, keindahan, kebahagiaan dan kepenuhan.
Di lain pihak, sepak bola itu tremendum, semacam misteri yang menakutkan dan diliputi kekerasan yang mengancam, menindas, mematikan.
Di banyak stadion, Estadio Nacional Lima, Peru (1964), Stadion Heysel, Belgia (1985), Kathmandu Nepal (1988), di Shefflied Inggris (1989), kekerasan menampakkan diri sebagai bagian dari sepak bola. Maka pemerintah, petugas keamanan, lembaga sepak bola, wasit, pelatih, pemain dan fans harus menyadari, eskalasi kekerasan sewaktu-waktu bisa meledak di area olahraga terpopuler itu. Artinya, tragedi Kanjuruhan adalah tanda zaman, bahwa mereka semua itu lalai, lengah dan sembrono terhadap bahaya kekerasan yang melekat pada sepak bola.
Memang sepak bola bukan sekadar urusan pembangunan stadion, pembelian pemain, pembinaan wasit profesional, dan penyuguhan hiburan. Lebih dari itu semua, sepak bola harus benar-benar mencurahkan perhatiannya untuk pembinaan suporter atau fans, dan menjaga dan menjaminkan keamanan serta keselamatan mereka.
Jika faktor suporter dilalaikan, pembinaan dan keamanan mereka disembronokan, bola akan menjadi wilayah liar, di mana kekerasan bereskalasi. Maklum, suporter atau fans inilah kumpulan yang paling bisa dihinggapi kekerasan, bila emosi mereka tersulut.
Suporter bola juga manusia. Seperti dikatakan oleh psikolog olahraga, Steffen Kirchner, mereka mempunyai kebutuhan dasar layaknya manusia lainnya.
Kebutuhan dasar itu, antara lain, keamanan, keberhasilan, pengakuan, keberartian dan harga diri, keterikatan pada kelompok serta hasrat untuk bisa membantu sesama atau lingkungannya.
Banyak fans sepak bola, juga di Indonesia, berasal dari kalangan bawah. Umumnya, kalangan ini tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, lebih-lebih dalam hal arti diri, keberhasilan dan pengakuan. Kekerasan dengan mudah menjadi sarana bagi kalangan tersebut untuk menyalurkan ketidakpuasan karena kebutuhan dasar yang tak terpenuhi. Stadion menjadi panggung bebas di mana mereka merasa memperoleh apa yang tidak diperolehnya dalam masyarakat, yang dengan aturan legal-formalnya meminggirkan mereka.
Tapi stadion sejatinya tak cuma berfungsi sebagai sekadar ajang liar bagi kekerasan. Di banyak negara, stadion bisa menjadi area kultivasi kekerasan menjadi kultur yang kreatif, damai, menghibur dan bersaudara. Maka dalam dunia bola ada istilah domestifikasi hooligans. Artinya, hooligans itu asalnya dari “luar stadion”. Dan di dalam stadion ternyata mereka bisa dikultivasi, dan keliarannya didomestifikasi. Stadion memberi mereka suasana, di mana spontanitas mereka untuk eskalasi kekerasan, mendadak berhenti.
Jadi jika sebagai pencinta bola, kita boleh berpikir optimistis, stadion bukan sekadar arena laga bola, tapi juga wilayah di mana orang boleh membentuk sub-kulturnya. Di stadion, orang bisa menemukan siapa dirinya, merasakan identitas dan nilai diri, nilai dan ciri khas kelompoknya, yang berbeda dengan kelompok lainnya. Maka meski sama-sama di Jawa Timur, Persebaya lain dari Arema. Secara simbolik, Persebaya adalah "Bajul Ijo". Dan Arema, "Singo Edan".
"Singo Edan"itu nama sub-kultur. Hendak ditunjukkan, arek Malang lain dengan bonek. Di Jatim, jangan sampai bola dihegemoni Surabaya. Anak Malang bisa menyaingi.
Tak mudah membentuk sub-kultur bola yang damai. Namun lewat perjalanan panjang, Arema telah membuktikan mampu untuk itu. Mereka dikenal mempunyai fans klub yang inspiratif dan menghibur. Ibaratnya, mereka telah berhasil mendomestifikasikan singa yang edan itu menjadi singa sirkusan yang ramah dan menarik. Singa itu tidak lagi buas, tapi tetap kuat dan berani. Jiwanya seperti Ken Arok, rakyat kecil yang berani memberontak, tapi bertanggungjawab terhadap kekuasaannya. Sayang, ketika derbi melawan Persebaya di Kanjuruhan itu, singa itu menjadi buas lagi. Mungkin karena mereka tak bisa menerima kekalahan.
Padahal, menanamkan kesadaran dan perasaan untuk menerima kekalahan adalah satu satu unsur hakiki dalam pembinaan suporter bola. Dalam hal ini kemenangan bukanlah salah satu kategori kunci dalam pembinaan mereka. Lebih dari kemenangan adalah kesetiaan. Baiklah kita becermin pada suporter klub-klub papan bawah di liga-liga Eropa.
Nasib mereka tidak seperti Bayern Muenchen, Manchester City, Liverpool, Real Madrid, Barcelona, dan klub papan atas lainnya. Namun meski terus kalah, suporter mereka tetap setia. Duka karena kalah adalah bagian dari hidup mereka dari musim ke musim. Tapi mereka tetap setia dan berharap setiap kali klub mereka berlaga. Diam-diam mereka telah dibina dalam sub-kultur kesetiaan, justru oleh kekalahan yang diderita oleh klub yang mereka sayangi.
Klub menjadi semacam tanah air atau kampung halaman bagi mereka. Di sana mereka berdiri dan setia, kendati kalah. Karena setia, tak mungkin mereka merusak atau mencederai citra klub mereka. Menarik dalam hal ini kata-kata yang diungkapkan oleh Felix Dachsel, seorang fans berat Eintracht Frankfurt. “Menjadi fans Eintracht akhirnya harus menjadi pribadi yang realistis. Awalnya kelihatan menang, tapi akhirnya menjadi langganan kalah,” kata Dachsel.
Sebagai fans dari klub yang pas-pasan, mereka dilatih dalam banyak hal. Ketika terjungkal ke divisi dua, mereka harus belajar sabar untuk merangkak kembali. Apa arti kesabaran menjadi nyata dalam kekalahan. Mereka tetap setia, walau silih berganti mereka ditinggalkan pemain, pelatih dan manajer.
Sebagai fans, mereka terlatih untuk menderita. Lebih menderita daripada pemain-pemainnya. Sebab mereka harus tetap bertahan dalam kekalahan, sementara pemainnya pergi mencari kemenangan di klub lainnya. Tapi penderitaan itu bukan kata akhir. Begitu mereka menang, seperti ketika mereka menjadi juara Liga Eropa 2022, setelah mengalahkan Glasgow Rangers, 5-4, kegembiraan mereka tak terkatakan. Rasanya seperti mengalami kebahagiaan yang tak tergantikan.
Bola tanpa suporter bukan lagi bola. Tapi tampaknya masih panjanglah perjalanan dalam hal pembinaan suporter bola di tanah air kita. Pemerintah, pembina, pers, dan masyarakat sendiri perlu terlibat dalam upaya membentuk sub-kultur bola dalam diri perkumpulan fans-fans bola. Khusus untuk Arema, kiranya tragedi Kanjuruhan menjadi pelajaran amat berharga.