Tragedi Kanjuruhan, Mencoba Memahami Apa yang Terjadi
Sepak bola Indonesia banyak lingkaran setannya. Karena itu, perkembangan sepak bola Indonesia jauh dari maksimal. Sangat disayangkan karena potensi Indonesia sangat besar mengingat sepak bola sangat populer.
Oleh
Timo Scheunemann
·4 menit baca
Tragedi Stadion Kanjuruhan jelas tak perlu terjadi. Ini bukan kali pertama kematian terjadi di dalam ataupun seputar stadion sepak bola. Kasus serupa sudah cukup sering terjadi sehingga seharusnya bisa menjadi acuan saat menyusun strategi preventif.
Alasan bahwa kejadian ini tidak bisa diprediksi mengingat suporter Persebaya tidak diizinkan hadir juga tak valid. Pertandingan ini sarat gengsi dan punya sejarah brutal, Bung. Yang tak paham sejarah saling menyakiti antarsuporter sejumlah klub di Indonesia, khususnya dalam kasus ini suporter Persebaya dan Arema, adalah mereka-mereka yang mungkin masih hijau di dunia kelam sepak bola Indonesia.
Penggunaan gas air mata tentu tidak bisa ditoleransi. Alasan petugas keamanan terdesak tak valid karena seharusnya ada senjata pamungkas lain, misalnya semprotan kanon air atau apa pun itu, yang pasti bukan gas air mata.
Mengapa tak boleh memakai gas air mata? Sebab, stadion bukan tempat terbuka. Stampade dan kematian akibat terinjak masa sudah pernah terjadi akibat penggunaan gas air mata. Oleh karena itu, FIFA di Chapter 19 tentang keamanan dengan jelas melarangnya.
Itu semua saya rasa sudah jelas terlihat dan dipahami sebagian besar masyarakat, khususnya pencinta sepak bola Indonesia. Yang kurang dipahami latar belakang permasalahan.
Pertandingan ini sarat gengsi dan punya sejarah brutal, Bung.
”Connect the dots”
Sebagian penonton sepak bola Indonesia, bukan hanya di Malang, sudah lepas kendali. Semua pertandingan harus dimenangi. Bahkan, laga persahabatan pra-musim pun harus dimenangi. Pengaruh dari tekanan berlebihan itu merambat ke mana-mana. Pelatih tak bebas bereksperimen. Pelatih juga tak memiliki banyak waktu karena sangat rawan pecat akibat tekanan penonton.
Pemain tertekan. Permainan menjadi tak enak ditonton juga karena hal ini. Bagaimana bisa bermain lepas kalau suporter mendatangi mes tempat pemain melepas lelah. Lebih parah lagi, pengurus yang tertekan lalu menghalalkan segala cara. Mafia wasit pun terbahak kegirangan. Lingkaran setan jadi lengkap saat penonton marah saat pertandingan berjalan tak fair. Laksana lingkaran setan semua berkaitan.
Lalu, mengapa penonton begitu radikal mengharapkan kemenangan? Ada beberapa faktor. Salah satu penyebab tak dewasanya penonton menyikapi kekalahan disebabkan penonton banyak yang tak dewasa. Banyak sekali penonton usia sangat muda. Kita tahu penonton muda banyak yang masih mencari jati diri. Frustrasi keseharian mereka dilampiaskan di stadion.
Miras dan bahkan narkoba membuat banyak di antara mereka kian tak terkendali. Bermain malam hari meningkatkan kerawanan miras. Pencegahan di pintu masuk sangat perlu dimaksimalkan. Di Eropa, penonton yang dicurigai mabuk disuruh meniup ke sebuah alat yang menunjukkan level alkohol di dalam tubuh. Kita bisa melakukan itu di sini.
Penonton usia dewasa pun kerap melampiaskan frustrasi sosial-ekonomi mereka di stadion. Ingat, ”klien” sepak bola umumnya ekonomi menengah ke bawah. Mengapa status ekonomi ini perlu dipertimbangkan? Sebab, masih banyak pekerja kelas menengah ke bawah di Indonesia diperlakukan dengan tidak baik oleh atasan mereka. Alhasil, stadion menjadi ”knalpot” masyarakat.
Tempat melampiaskan segala keresahan keseharian mereka. Saran saya, teknologi dimaksimalkan sehingga penonton yang membuat onar bisa diidentifikasi dan dicegah masuk stadion, dan jika parah, dibui. Di Belanda, suporter rasis dan sebagainya diidentifikasi via kamera lalu dijemput di rumah mereka untuk dipenjarakan. Tegas. Kita perlu melakukan ini!
Sudah waktunya hukum berdiri tegak di stadion dan tak lagi menganggap stadion semacam daerah otonomi khusus. Tindak tegas penonton yang berulah supaya penonton yang baik (mayoritas) tak terkena imbasnya. Tindak tegas pihak keamanan yang kelewat batas supaya mereka yang mengamankan dengan benar tak terkena imbas.
Perseteruan Persebaya dan Arema juga harus dipahami jika kita ingin memiliki gambaran yang luas. Walaupun penonton asal Surabaya dilarang datang, tetap saja pertandingan ini super-rawan kericuhan. Ini karena melawan Persebaya adalah pertandingan yang dalam benak Aremania mutlak dimenangi. Mengapa demikian? Sebab, ada sejarahnya.
Sejarah kelam sakit-menyakiti antarsuporter. Perseteruan memuncak saat pemain sayap Persebaya, Nurkiman, pada 1996 terkena serpihan kaca bus yang dikatapel suporter Arema. Akibatnya, satu mata Nurkiman buta. Setahu saya, ia kini PNS. Ini kasus yang saya nilai sebagai puncak perseteruan. Boiling point. Sebelumya panas dan setelah kejadian tersebut menjadi membara. Alhasil, kekerasan dibalas kekerasan. Lingkaran setan.
Sepak bola Indonesia banyak lingkaran setannya. Karena itu, perkembangan sepak bola Indonesia jauh dari maksimal. Sangat disayangkan karena potensi Indonesia sangat besar mengingat jumlah penduduk banyak dan sepak bola sangat populer di masyarakat. Ilustrasi saya, sepak bola kita laksana gerbong kereta api yang masuk keluar silih berganti, tetapi kita tetap berada di stasiun yang sama.
Doa kita semua tragedi ini menjadi yang terakhir. Harus menjadi yang terakhir. Salam persatuan Indonesia.
Timo Scheunemann, Pelatih Sepak Bola, Tinggal di Malang