ASEAN untuk kesekian kali akan mengucilkan junta Myanmar dari pertemuan pentingnya. Namun, ASEAN perlu mencari cara baru menyelesaikan krisis Myanmar.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Batas waktu yang ditetapkan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) terhadap junta militer Myanmar agar melaksanakan lima poin konsensus semakin mendekati titik akhir. Dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, 3 Agustus lalu, ASEAN menetapkan November 2022 sebagai batas akhir untuk menilai apakah junta Myanmar masih dapat dipercaya dalam menyelesaikan krisis politik pascakudeta militer 1 Februari 2021.
Dengan berjalannya waktu, sudah jelas tidak ada kemauan atau niat junta pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing untuk mengikuti lima langkah yang disepakatinya dengan para pemimpin ASEAN lain di Jakarta, April 2021. ASEAN pun tanpa ragu mengucilkan pemimpin junta pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Phnom Penh, November depan.
Setelah tidak ada kemajuan dalam komitmen junta Myanmar untuk menjalankan lima poin konsensus, dapat dikatakan kesabaran ASEAN mulai menipis. Para menlu ASEAN menyatakannya dengan ungkapan ”kecewa berat” (deeply disappointed). Pertemuan demi pertemuan di ASEAN terus-menerus mencatat nihilnya komitmen junta. Terakhir, catatan itu dibuat dalam pertemuan menlu ASEAN di New York, AS, di sela-sela sidang Majelis Umum PBB, 22 September lalu.
Ini berarti, sudah hampir 1,5 tahun sejak lima poin konsensus ASEAN itu dibuat, tidak ada perubahan apa-apa. Lima poin konsensus itu meliputi penghentian kekerasan, dialog konstruktif para pihak demi solusi damai, dan penunjukan Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar guna memfasilitasi proses dialog. Adapun dua lainnya ialah penyaluran bantuan kemanusiaan oleh ASEAN serta kunjungan Utusan ASEAN ke Myanmar untuk bertemu para pihak yang berkonflik.
Hanya dua poin terlaksana, yakni penunjukan Utusan Khusus ASEAN dan penyaluran bantuan kemanusiaan. Tiga poin lainnya buntu. Karena itu, wajar jika ada yang mulai mempertanyakan relevansi lima poin konsensus ASEAN itu dalam menyelesaikan krisis Myanmar. Jika konsep itu tidak relevan, perlu dicari atau diganti dengan cara lain. Hal ini antara lain disampaikan Menlu Malaysia Saifuddin Abdullah.
Pendapat lain menyatakan, ada juga masalah di tubuh ASEAN. Bukan semata soal keterbelahan negara anggota ASEAN, melainkan juga soal posisi utusan khusus. Model utusan khusus yang dirotasi setiap tahun, mengikuti posisi keketuaan, dinilai tidak memadai menyelesaikan krisis Myanmar.
Menlu RI (2001-2009) Hassan Wirajuda dalam diskusi di Jakarta, akhir September lalu, menyebut ASEAN perlu utusan khusus profesional yang masa kerjanya tidak cukup setahun.
Walhasil, setelah formula lama tak berbuah hasil, sudah waktunya ASEAN mencari cara baru dalam penyelesaian krisis Myanmar. Apa formula dan cara baru itu, tugas para pemangku kepentingan di ASEAN mengeksplorasi berbagai opsi untuk diputuskan di KTT, November nanti.