Proses rekrutmen prajurit TNI sejatinya telah dilakukan berdasarkan peraturan yang berlaku. Narasi yang berkembang tentang syarat umur dan lain-lain diharapkan tidak menjadi bola liar dan menyudutkan salah satu pihak.
Oleh
NINIK RAHAYU
·5 menit baca
Kontribusi untuk membangun negeri dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya dengan menjadi bagian/anggota dari Tentara Nasional Indonesia. Kebanggaan untuk mengabdikan diri kepada Ibu Pertiwi menjadi roh yang melekat dan tidak bisa dipisahkan bagi seorang prajurit TNI.
Kesadaran tersebut membawa serta seluruh konsekuensi atas moralitas dan tekad dari mereka yang memilih TNI sebagai jalan pengabdian. Itu sebabnya, rekrutmen TNI bukan semata soal instrumen profesi, melainkan juga instrumen ideologi, guna memastikan diperolehnya anggota TNI berintegritas dan profesional sesuai dengan prinsip politik negara berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Narasi bias dalam perspektif hukum
Kendati konsekuensi menjadi TNI tidak mudah, minat publik untuk menjadi bagian darinya begitu besar. Proses seleksi berlangsung selektif kompetitif baik pada level taruna, bintara, maupun tamtama, dan hanya mereka yang memenuhi kriteria terbaik yang dapat diterima.
Ketiga skema rekrutmen tersebut disesuaikan dengan golongan kepangkatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2010 tentang Administrasi Prajurit Tentara Nasional Indonesia, yaitu perwira, bintara, dan tamtama. Dalam Pasal 7 PP tersebut juga diatur mengenai persyaratan umum menjadi prajurit.
Ada sembilan persyaratan umum menjadi prajurit, yaitu: a) warga negara Indonesia; b) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c) setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; d) pada saat dilantik menjadi prajurit berumur paling rendah 18 tahun; e) tidak memiliki catatan kriminalitas yang dikeluarkan secara tertulis oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia; f) sehat jasmani dan rohani; g) tidak sedang kehilangan hak menjadi prajurit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; h) lulus pendidikan pertama untuk membentuk prajurit siswa menjadi prajurit; dan i) persyaratan lain sesuai dengan keperluan.
Persoalan umur belakangan menjadi isu dan narasi di beberapa media, khususnya dalam hal batas umum minimum. Beberapa hal yang perlu dicermati terkait dengan hal tersebut adalah adanya informasi yang bias antara batas umur minimal menjadi prajurit (dinas TNI) dan batas umur minimal untuk mengikuti pendidikan.
Narasi yang berkembang seolah-seolah keduanya sama, padahal jelas memiliki kriteria dan kualifikasi yang berbeda. Menjadi prajurit (dinas TNI) itu artinya seseorang tersebut telah menempuh proses pendidikan. Sementara batas minimum usia pendidikan adalah syarat bagi mereka yang akan menempuh pendidikan militer, dan jika dinyatakan lulus maka baru dapat dilantik menjadi prajurit TNI.
Dalam Pasal 7 PP Nomor 39 Tahun 2010 jelas diatur bahwa salah satu syarat umum menjadi prajurit adalah mereka yang pada saat dilantik menjadi prajurit berumur paling rendah 18 tahun. Jika dilihat dalam beberapa persyaratan umum sebagai taruna, maka usia terendah adalah 17 tahun 9 bulan dan setinggi-tingginya adalah 22 tahun. Dalam persyarakat taruna yang sangat terbuka dan dapat diakses publik itu juga disebut tentang syarat jasmani dan rohani serta batas minimal tinggi badan laki-laki harus 160 sentimeter (cm) dan perempuan 155 cm.
Beberapa hal yang perlu dicermati terkait dengan hal tersebut adalah adanya informasi yang bias antara batas umur minimal menjadi prajurit (dinas TNI) dan batas umur minimal untuk mengikuti pendidikan.
Dengan merujuk pada indikator tersebut, maka proses rekrutmen sejatinya telah dilakukan dengan berdasarkan peraturan yang berlaku. Orang yang hendak mendaftar menjadi bagian dari siswa taruna juga bisa menimbang diri apakah sesuai dengan kualifikasi atau tidak, karena semua persyaratan telah ada dalam ketentuan perundang-undangan dan bersifat terbuka/transparan.
Narasi yang sempat berkembang tentang umur dan lain-lain harapannya tidak menjadi bola liar dan menyudutkan salah satu pihak. Kritik atas proses diperlukan dalam mekanisme dan alur menuju kondisi yang lebh baik, tentu hal itu harus dilakukan dengan proporsi yang obyektif dan konstruktif.
Setiap warga negara tentu memiliki hak dalam ikut memajukan negeri ini, termasuk dalam kontribusi kritik sesuai dengan kapasitasnya. Namun, pada saat yang sama, apresiasi juga dapat diberikan manakala ada kelayakan-kelayakan, termasuk pencapaian-pencapaian, yang telah dikerjakan.
Kualitas rekrutmen dan kepercayaan publik terlepas dari konteks dan isu yang berkembang, keberadaan TNI sebagai institusi harus ditopang dengan SDM dan teknologi yang unggul. Sebagai alat utama pertahanan negara, TNI memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga integritas kedaulatan negara. Di sisi lain, TNI juga merupakan prajurit pejuang yang kuat dan hebat bersama rakyat. Tentu keduanya menjadi pendekatan yang menarik dalam memberikan dorongan peningkatan kemampuan SDM TNI yang profesional dan berintegritas.
Survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa TNI masih menjadi lembaga dengan tingkat kepercayaan publik yang tinggi dibandingkan lembaga negara lain. Hal ini tidak lepas dari pengaruh kualitas sumber daya manusia, di mana rekrutmen menjadi instrumen awal yang memastikan visi strategis TNI dapat berjalan dengan baik.
Modalitas ini harus dijaga sekuat-kuatnya di tengah berbagai tantangan dan dinamika yang ada. Isu-isu disharmorni harus dijawab dengan soliditas dan profesionalisme. Problem terkait oknum yang tidak sesuai dengan sumpah prajurit dan ketentuan perundang-undangan harus dijawab dengan ketegasan kedisiplinan dan penegakan hukum.
Pada akhirnya, hikmah yang bisa kita dapatkan dari beberapa isu yang berkembang adalah bagaimana menelaah dan menimbang informasi itu secara proporsional. Kritik merupakan aktualisasi kritis atas suatu realitas, tentu dengan pendekatan yang obyektif.
Rekrutmen TNI menjadi pintu masuk yang bukan tidak mungkin memiliki tantangan. Antusiasme publik mendaftarkan putra-putrinya menjadi taruna TNI, selain menjadi kebanggaan, juga dapat menimbulkan berbagai dinamika dan tantangan. Hal inilah yang harus dicermati secara arif, agar rekrutmen TNI dapat berjalan dengan kualitas yang memastikan semua unsur kapasitas, moralitas, integritas, dan keadilan dapat berjalan.
Ninik Rahayu, Tenaga Profesional Hukum dan HAM Lemhannas