Konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian sudah mengkhawatirkan. Bukan saja mengancam penurunan produksi pangan dan membuat ketahanan pangan rapuh, melainkan juga ancaman terhadap ”hidup-mati” bangsa.
Oleh
KHUDORI
·4 menit baca
Luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta kilometer persegi. Ini mencakup sungai, rawa, dan hutan. Jika dibagi jumlah penduduk sebanyak 276 juta jiwa, luas tanah per kapita hanya 0,70 hektar.
Apabila yang dihitung hanya lahan yang bisa ditanami (arable land) yang luasnya 26,3 juta hektar (ha), ketersediaan lahan yang bisa ditanami per kapita lebih kecil lagi, hanya 0,096 ha. Bandingkan dengan Australia yang 2,63 ha; China 0,11 ha; AS 0,61 ha; Brasil 0,34 ha; Etiopia 0,12 ha; India 0,16 ha; Thailand 0,52 ha; dan Vietnam 0,10 ha.
Indonesia amat tertinggal dalam penyediaan lahan pertanian, khususnya sawah. Amerika Serikat memiliki lahan pertanian sekitar 175 juta ha, India 161 juta ha, China 143 juta ha, Brasil 58 juta ha, Australia 50 juta ha, dan Thailand 31 juta ha.
Lahan sawah Indonesia, merujuk hasil audit Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 2019, hanya seluas 7,46 juta ha. Di lahan ”secuil” itu selain berkompetisi belasan komoditas pangan, setiap tahun juga mengalami konversi ke penggunaan non-pertanian.
Dari tahun ke tahun, konversi lahan pertanian ke non-pertanian terus berlangsung tanpa jeda. Para pemimpin negeri ini bukannya tidak menyadari pentingnya melindungi dan mempertahankan lahan pertanian.
Kesadaran itu—setidaknya—bisa dibaca dari aneka regulasi yang semangatnya melarang konversi. Dua di antaranya berupa undang-undang, yaitu UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan UU No 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. Di dua beleid ini, konversi lahan pertanian dilarang. Konversi bisa dilakukan dengan syarat ketat dan sanksi berat.
Sayangnya, regulasi yang melarang konversi lahan tersebut tak berumur lama. Dengan dalih investor perlu ”karpet merah” dalam pengadaan lahan, larangan di dua UU itu diamputasi lewat UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Lahan pertanian bisa dialihfungsikan bukan hanya buat kepentingan umum, seperti diatur di dua UU sebelumnya, tetapi juga untuk proyek strategis nasional, kawasan ekonomi khusus, real estate, tol, bandara, sarana pertambangan, dan energi. Bahkan, konversi bisa merambah ”wilayah sakral” yang tidak disentuh di UU No 41/2009 dan UU No 22/2019: lahan berpengairan/beririgasi lengkap.
Meskipun UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, konversi lahan pertanian jalan terus. Ini bisa dibaca dari peta lahan sawah dilindungi di delapan provinsi sentra beras (Sumatera Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat), seperti tertuang dalam Surat Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No 1589/2021, bahwa pemerintah berkomitmen melindungi 3,84 juta ha sawah saja dari 3,97 juta ha lahan baku sawah.
Meskipun UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, konversi lahan pertanian jalan terus.
Artinya, lewat SK tersebut, secara implisit alih fungsi 136.000 ha sawah di delapan provinsi direstui pemerintah. Delapan provinsi tersebut adalah wilayah sentra produsen komoditas utama, terutama tanaman pangan. Khusus untuk beras, Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Barat adalah empat dari hanya 13-14 provinsi surplus beras.
Hal yang membuat miris, peta lahan sawah dilindungi dalam SK Menteri ATR/Kepala BPN Nor 1589/2021 itu bisa dengan mudah ditinjau kembali ketika terdapat kebijakan nasional strategis atau secara fungsional dipandang tak dapat dipertahankan sebagai sawah yang dilindungi. Ini, sekali lagi, menegaskan ”restu” pemerintah guna memuluskan alih fungsi lahan pertanian.
Konversi lahan merupakan fenomena given selama industrialisasi, urbanisasi, dan pembangunan berlangsung. Pertumbuhan ekonomi tinggi, transformasi struktur ekonomi, dan pertumbuhan penduduk yang tinggi menjadi determinan utama konversi lahan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi mendongkrak nilai sosial-ekonomi lahan non-pertanian.
Perpaduan antara permintaan dan rente lahan non-pertanian yang terus meningkat inilah yang menyebabkan konversi lahan berjalan masif. Apalagi regulasi memberi jalan mulus.
Sebagai negara berpenduduk empat besar dunia dan krisis pangan berulang, konversi lahan jadi persoalan krusial. Konversi lahan yang tak terkendali merupakan ancaman serius masa depan bangsa.
Konversi lahan membuat produksi pangan domestik merosot dan ketahanan pangan rapuh. Lalu, kita bergantung pada pangan impor. Padahal, sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli, pasarnya tipis, dan harganya tidak stabil.
Dihadapkan pada ancaman produksi pangan, negara-negara eksportir pangan menempuh cara protektif: menutup ekspor. Pendek kata, menggantungkan pangan pada pasar dunia hanya membuat bangsa rentan. Dari sisi ini, konversi lahan adalah pertaruhan hidup-mati.
Lahan terkonversi bersifat irreversible. Pernahkah Anda membayangkan dampak jika seperempat dari luas sawah yang ada sekarang dikonversi? Hampir pasti, suhu udara meningkat, kemungkinan erosi, banjir, dan longsor lebih besar, kualitas dan kuantitas air berkurang drastis. Demikian pula keindahan alam, bio-diversity, dan budaya guyup di perdesaan cepat punah, bahkan bisa muncul disharmoni kelembagaan sosial di desa.
Konversi lahan adalah masalah serius. Perlu keseriusan pula untuk mencegahnya, dengan cara beyond legal formal. Jika tidak, tunggu saja sawah petani lenyap pada waktunya.
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)