Jangan Ingkari Negeri Pertanian
Dari penelitian di sejumlah desa, Sediono melihat pemerintah abai terhadap petani dan dunia agraria. Demi industri, tanah-tanah pertanian dibiarkan menyempit. Pertanian berkembang jika konversi lahan tanah subur dicegah.
Dengan spesialisasi masing-masing, Sjamsoe’oed Sadjad, Sajogyo, Sediono MP Tjondronegoro, dan kemudian Gunawan Wiradi adalah ahli-ahli pertanian dan perdesaan dari IPB University.
Sajogyo tentang kriteria kemiskinan berdasarkan kalori asupan makanan, Sjamsoe’oed tentang pemuliaan benih, serta Sediono dan Gunawan Wiradi tentang kepemilikan tanah sebagai aset.
Kata kuncinya kesejahteraan bagi mayoritas penduduk negeri ini yang bergantung pada kebaikan/balas budi tanah. Tentu bukan hanya mereka berempat, masih banyak ilmuwan yang memberikan perhatian pada pertanian/perdesaan.
Dengan Sediono Momy Poerwodo Tjondronegoro (1928-2020), selain bertemu dalam berbagai kesempatan atau wawancara, saya juga mencoba mendalami karya tulis ilmuwan kelahiran Purwodadi, 4 April 1928 (meninggal 3 Juni 2020) itu. Inilah sosok yang cinta pada pertanian sekaligus jadi mitra petani lewat dunia ilmiah dan keputusan publik.
Meraih gelar doktor tahun 1977 bidang sosiologi Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UI, disertasi Sediono memperkenalkan istilah sodality atau sodalitas (bahasa Latin). Artinya, kesetiakawanan atau kerukunan masyarakat yang punya daya hidup.
Sodalitas terbangun sejak dari dusun kecil (hamlet), menjadi modal sosial untuk rekonstruksi organisasi modern lewat kebutuhan bersama (Social Organization and Planned Development in Rural Java, Institute of Southeast Asian Studies Oxford University Press, 1984).
Kata kuncinya kesejahteraan bagi mayoritas penduduk negeri ini yang bergantung pada kebaikan/balas budi tanah.
Penelitian dia lakukan di Kecamatan Sukabumi, Jawa Barat, dan Kecamatan Kendal, Jawa Tengah, tahun 1974-1976. Gencarnya pembangunan perdesaan gaya Orde Baru memicu sentralisme di desa-desa kedua kecamatan itu. Akibatnya, di satu pihak terbangun integrasi, di lain pihak disintegrasi.
Diakuinya di masa depan ikatan sodalitas bisa berkembang lebih besar sehingga disintegrasi semakin berkurang. Namun, program pemerintah yang tidak disertai pemahaman organisasi desa akan berdampak sebaliknya, menciptakan struktur sosial yang berlapis-lapis (Prof Dr Sediono MP Tjondronegoro, Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua, Sajogyo Institute, 2008).
Sediono mengakui, kajian itu tidak memungkinkan terjadinya debat sebab ditulis saat pemerintahan Orde Baru.
Reforma agraria
Gelar doktor di tahun yang sama dan guru besar dari fakultas yang sama menguatkan kecintaan pada petani dan agraria.
Semua berawal dari kisah ketika terluka kena pecahan mortir pasukan Belanda di Legundi, dekat Mojokerto. Suatu keluarga petani menandunya dengan daun pintu gedek (anyaman bambu) yang spontan mereka copot dari pintu rumah dan kemudian merawatnya.
Sodalitas dari ketulusan keluarga petani itu ia tegaskan dalam disertasi, tentang hidup dan berkembangnya kerukunan (sodalitas) di Legundi.
Lulus SMA 1948, dua tahun sesudahnya Sediono meneruskan studi di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Amsterdam dari beasiswa Pemerintah Indonesia. Saat sarjana muda, ia jadi asisten Profesor Wim Wertheim. Namun, ketika akan kembali ke Indonesia, pemerintahan Soekarno meminta ia mencari informasi tentang Irian Jaya. Karena itu, ia lanjut jadi asisten ilmuwan yang pro-Indonesia itu.
Baru tahun 1963 ia kembali ke Indonesia dan menjadi dosen di IPB di jurusan ekonomi bagian sosiologi pedesaan bersama Profesor Sajogyo. Gelar master tahun 1968 diperoleh dari Universitas Kentucky dan Universitas Wisconsin, AS.
Disertasi doktoralnya mengkritik praksis pemerintahan Orde Baru. Tetapi, justru itu membawa Sediono terlibat dalam wacana dan kebijakan reforma agraria, awal dari sumbangannya di lingkungan pengambil keputusan puncak selain sebagai dosen dan peneliti.
Baca juga : Ilmu Digali dari Lapangan
Baca juga : Mengenang Sediono MP Tjondronegoro dan Reforma Agraria
Tahun 1978, ia menjadi sekretaris eksekutif tim yang diketuai Soemitro Djojohadikusumo menyusun Laporan Interim Pertanahan. Maksud pemerintahan Soeharto dengan program ketersediaan lahan untuk pembangunan industri, tetapi dimanfaatkan oleh tim jadi awal penegasan perlunya reforma agraria.
Reforma agraria bukan sekadar distribusi tanah, melainkan sebagai pemanfaatan kearifan lokal dan keunggulan desa. Tanah bagi Sediono dia kembangkan sebagai aset penting, sama seperti Sjamsoe’oed Sadjad tentang pentingnya benih dengan petani sebagai pengembang benih utama.
Hasil kajian tim Soemitro diabaikan Orde Baru, tetapi dipakai Menteri Pertanian Soedarsono Hadisapoetro sebagai narasumber dalam World Conference on Agrarian Reform and Rural Development di Roma tahun 1979. Konferensi FAO itu menghasilkan rumusan Peasant Charter tentang pemberdayaan pertanian (Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Sediono MP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, penyunting, Yayasan Obor Indonesia, 2008).
Agraria dan sumber daya
Reforma agraria tidak dijalankan pemerintah. Namun, gema konferensi di Roma bergulir ke Indonesia. Dalam era Reformasi pasca-1998, bersama Kelompok Studi Pembaruan Agraria, Sediono aktif membahas pentingnya penataan agraria dan pelestarian lingkungan yang juga dibicarakan bersama MPR. Hal ini menginspirasi lahirnya Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Dari penelitian di sejumlah desa, ia melihat pemerintah abai terhadap petani dan dunia agraria. Demi industri, tanah-tanah pertanian dibiarkan menyempit, terutama di Jawa. Menurut Sediono, petani akan hidup, pertanian berkembang, dan ada keswadayaan pangan jika konversi lahan ke non-pertanian, terutama tanah-tanah subur, dicegah sekuat tenaga.
Dari penelitian di sejumlah desa, ia melihat pemerintah abai terhadap petani dan dunia agraria.
Hal yang sama disampaikan Sjamsoe’oed soal pemuliaan benih untuk menghasilkan benih-benih produktif, tahan hama, dan sesuai kondisi tanah. Untuk peningkatan kesejahteraan pertanian dan petani seperti cita-cita Sediono, menurut Sjamsoe’oed, desa dan industri perlu univalen, bukan ekuivalen. Dibutuhkan dekonstruksi paradigma agropolitik. Kegiatan pertanian harus dilihat sebagai proses industri mengolah lahan sehingga perlu aset tanah.
Kesimpulan Sediono, ”negeri ini jangan hindari pertanian” (Sediono MP Tjondronegoro, Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia I, 2008).
Keyakinan ”negeri ini jangan hindari pertanian” dibangun dari blusukan di sejumlah perdesaan disertai obsesi kemitraan dengan petani. Namun, masih relevankah obsesi ”jangan ingkari negeri pertanian” sekarang?
St Sularto,Wartawan Senior