Ketika hasil uji kehalalan sudah dilakukan melalui penelitian yang serius, tetapi masih diintervensi oleh kuasa agamawan atau pihak lain, bisa jadi hasil kajiannya akan mengalami reduksi atau bahkan berubah.
Oleh
FATHORRAHMAN GHUFRON
·5 menit baca
Seiring diterbitkannya Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Pengelola Jaminan Produk Halal Kementerian Agama Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal pada 10 Februari 2022, otoritas pemrosesan halal pun mengalami desentralisasi.
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) menjadi lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab menentukan halal tidaknya pangan, kosmetik, obat-obatan, dan lain-lain. LPH diberi kepercayaan penuh untuk melakukan pengujian dan kelayakan berdasarkan kerja keilmuannya.
Penguatan peran LPH sebagai ujung tombak penentuan kehalalan juga jadi indikasi peralihan paradigma (shifting paradigm) kajian kehalalan yang selama ini hanya menjadi kuasa wacana kaum agamawan.
Setidaknya, melalui LPH, meminjam cara pandang Irwandi Jaswir, ahli bioteknologi dari International Islamic University Malaysia, kajian kehalalan tidak lagi menekankan siapa yang paling benar atau salah. Namun, dibutuhkan uji keilmuan (experimental sciences) untuk menemukan solusi atas berbagai masalah kehalalan.
Oleh karena itu, ketika ilmuwan atau saintis diberikan proporsi yang memadai dalam mengkaji dan meneliti aspek kehalalan, setidaknya ada dua pertanyaan yang muncul.
Pertama, bagaimana penguatan kewenangan infrastruktur, seperti laboratorium, dalam melakukan uji kehalalan? Kedua, bagaimana posisi tawar dan independensi para saintis dalam mendiseminasi dan mengimplementasi hasil uji kehalalan di ruang publik?
Untuk mengoptimalkan pengujian kehalalan, keberadaan laboratorium halal punya peran sangat penting untuk menjamin integritas, keamanan, kesehatan, dan kehalalan sebuah produk. Dengan posisi sangat penting ini, seharusnya para pegiat uji kehalalan yang banyak bergulat di dunia laboratorium jadi kunci penentu kelayakan dan kepatutan produk yang diteliti.
Apalagi, dalam proses kajian dan penelitian, perlu berbagai sarana dan bahan mahal agar menghasilkan temuan yang lebih mumpuni dan tepercaya.
Di samping itu, laboratorium tak sekadar representasi kerja senyap yang fokus dengan daya uji. Laboratorium juga bisa menjadi ruang konsolidasi keilmuan agar antara pengkaji dan peneliti memiliki persenyawaan (chemistry) yang dialektis dalam menentukan hasil uji kehalalan. Antara pegiat uji keilmuan dan disiplin yang berbeda bisa saling menopang lintas perspektif, untuk memperkaya khazanah kajian halalnya.
Dalam konteks Indonesia, tak dimungkiri bahwa hasil analisis laboratorium sering dijadikan dokumen pendukung bagi keputusan fatwa. Terutama fatwa yang dikendalikan lembaga keulamaan yang selama ini menempati peran sentral. Ketika penentu fatwa memiliki nalar keilmuan yang obyektif dan cara pandang yang rasional, keterlibatan ulama dan pihak lain akan selaras dengan kerja keilmuan yang benar-benar ingin memastikan sebuah produk dikategorikan halal atau tidak.
Ilustrasi
Namun, sebaliknya, ketika keterlibatan ulama dan pihak lain justru menggunakan cara pandang normatif yang kaku, atau bahkan cara pandang yang politis, dalam menindaklanjuti hasil laboratorium, besar kemungkinan daya uji apa pun yang dilakukan di laboratorium, maka antara proses dan hasil analisis akan berseberangan.
Padahal, dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ”Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak….”
Oleh karena itu, untuk memanifestasikan pesan hadis itu, diperlukan kedewasaan dan kesahajaan berbagai pihak untuk menghormati keberadaan laboratorium sebagai ruang ijtihad saintifik dalam melakukan uji halal yang tegas dan jelas sesuai prinsip-prinsip keilmuannya.
Apa yang ditegaskan dalam keputusan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di atas, dengan memberi LPH kewenangan penuh dalam melakukan uji kehalalan, terutama LPH yang dilaksanakan di berbagai perguruan tinggi, seperti terjadi di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga ataupun lembaga riset lainnya, masa depan uji kehalalan secara saintifik akan selaras dengan prinsip-prinsip keilmuan dan risalah kenabian.
Dalam kaitan ini, ilmuwan dan saintis harus punya posisi tawar signifikan dalam mendiseminasi dan mengimplementasi hasil uji kehalalan.
Independensi saintis
Dalam kaitan ini, ilmuwan dan saintis harus punya posisi tawar signifikan dalam mendiseminasi dan mengimplementasi hasil uji kehalalan. Sebab, ketika hasil uji kehalalan sudah dilakukan melalui penelitian yang serius, tetapi masih diintervensi oleh kuasa agamawan atau pihak lain, bisa jadi hasil kajiannya akan mengalami reduksi atau bahkan berubah.
Hal itu seperti terjadi pada kasus vaksin AstraZeneca yang menuai kontroversi dan penolakan dari beberapa agamawan. Bahkan, di tubuh Majelis Ulama antara pusat dan daerah terjadi perbedaan fatwa, apakah vaksin ini halal atau tidak. Padahal, ketika ilmuwan melakukan uji laboratorium terhadap bahan AstraZeneca yang digunakan sebagai salah satu penangkal virus penyebab Covid-19, tentunya kadar bahan yang akan dipakai sudah dipertimbangkan.
Akan tetapi, lantaran wacana halal hanya menubuh pada satu pihak, seperti agamawan, yang oleh masyarakat dianggap punya otoritas paling layak, dan tak mengalami proses relasi kuasa yang obyektif, disadari atau tidak hasil uji kehalalan yang dilakukan ilmuwan kadang mengalami ganjalan epistemologis yang kadang berakhir pada kegagalan penerapan.
Oleh karena itu, ketika pemerintah sudah melakukan desentralisasi kewenangan dalam pemrosesan kehalalan, di mana ilmuwan dan saintis mempunyai otoritas setara dengan berbagai pihak, seharusnya hasil kerja dan penelitian ilmuwan dihargai dan didukung.
Ilustrasi
Ini penting dilakukan agar di dunia kehalalan yang dewasa ini sudah menjadi kecenderungan global dan tak hanya menjadi kuasa pengetahuan masyarakat agama tertentu, ada kesadaran sistemis dari berbagai pihak untuk mematuhi hasil kerja ilmiah yang dilakukan dengan landasan obyektivitas dan verifikasi keilmuan yang memadai.
Kendati demikian, masukan dari pihak lain untuk memperkaya hasil kajian kehalalan oleh ilmuwan tentu sangat dibutuhkan meski masukan tersebut harus dilandasi argumen dan dasar pemikiran yang ilmiah dan rasional.
Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib PWNU DIY; Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga