Saya sungguh berduka. Kembali terlibat di sepak bola Indonesia, beberapa minggu terakhir saya merasa dikerjain wasit. Namun, itu tak sebanding dengan tragedi di Stadion Kanjuruhan.
Oleh
Timo Scheunemann
·2 menit baca
Begitu banyak nyawa melayang. Dan untuk apa? Sungguh teramat sia-sia. Apalagi ini bukan yang pertama. Sungguh sulit mengutarakan isi hati saya. No words.
Hati saya terenyuh untuk para orangtua korban. Pertanyaan di benak setiap orang tentu saja adalah bagaimana ini bisa terjadi?
Yang pertama-tama perlu ditekankan adalah ini bukan kejadian kerusuhan pertama yang memakan korban. Sudah teramat sering malah. Inilah yang membuat saya tidak habis pikir mengapa persiapan pertandingan tidak mengantisipasi semua kemungkinan. Bukankah bisa diprediksi mengingat sudah banyak contoh kejadian?
Penggunaan gas air mata oleh aparat juga sangat memprihatinkan. Apalagi disemprotkan ke tribune. Tanpa harus memiliki pengetahuan lebih sebagai pakar keamanan dan crowd control sekalipun, saya rasa common sense sudah cukup untuk memahami bahwa itu bukan tindakan yang bijak. Penonton harus pergi ke mana? Tentu akan terjadi bottle neck di pintu keluar.
Alhasil, ribuan penonton menuju pintu-pintu keluar dan tak terelakkan banyak korban timbul akibat terinjak masa yang panik. Inilah mengapa FIFA di security law chapter 19 tegas melarang penggunaan gas air mata.
Inilah juga mengapa Indonesia berada dalam bahaya sanksi berat FIFA. Sangat disayangkan kalau itu terjadi mengingat Piala Dunia U20 akan digelar di Indonesia dan tim nasional senior juga sedang bagus-bagusnya.
Tidak boleh kita hanya menuding. Selalu harus dibarengi introspeksi diri. Ingat, saat menuding dengan jari telunjuk, tiga jari mengarah kepada diri kita sendiri. Dalam konteks ini, tentu saja penonton harus introspeksi.
Fanatisme daerah dan pemikiran dangkal membuat penonton kita masih belum dewasa menerima kekalahan. Padahal, secara logika dalam suatu laga tentu ada yang menang dan yang kalah.
Selain harus belajar menerima kekalahan, penonton juga harus memahami bahwa klub kesayangan mereka masing-masing dan kompetisi itu sendiri, ada untuk kepentingan timnas Indonesia. Kepentingan bisnis, marketing, politik, entertainment, dan lain-lain sah-sah saja asal ada pemahaman yang mendalam bahwa utamanya, klub saya ada untuk Indonesia.
Demi timnas yang tangguh. Demi kebanggaan bangsa dan negara secara keseluruhan. That is the big picture. Mari kita zoom out sehingga dapat melihat the big picture dengan jelas. Tanggalkan budaya zoom in yang tidak bijak.
Harapan saya, tiada lagi satu pun nyawa melayang hanya karena sepak bola. Satu saja nyawa, itu tak sepadan.