Penyelesaian Masalah, Kunci Indonesia Terhindar dari Sanksi
Semua pihak terkait olahraga nasional harus segera menyelesaikan secara tuntas tragedi sepak bola di Stadion Kanjuruhan. Tanpa penjelasan yang tepat, Indonesia bisa terkena sanksi dari komunitas olahraga dunia.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Segenap pemangku kebijakan olahraga di Indonesia harus segera mengambil langkah penyelesaian agar tragedi sepak bola usai laga Liga 1 antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) tidak terulang di masa mendatang. Tragedi itu salah satu yang terbesar dalam sejarah sepak bola dunia.
Tanpa langkah penyelesaian yang meyakinkan, Indonesia terancam mendapatkan sanksi dari komunitas olahraga internasional, termasuk Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), di tengah rencana Indonesia menyelenggarakan Piala Dunia Sepak Bola U-20 tahun depan.
”Saya diperintah Presiden (Joko Widodo) untuk menemui keluarga korban untuk bertakziah dan menyampaikan rasa keprihatinan dan duka cita mendalam atas musibah ini. Semoga kita tidak disanksi FIFA atas peristiwa ini mengingat tahun depan kita akan menyelenggarakan Piala Dunia U-20,” ujar Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali dilansir oleh akun Twitter Radio Elshinta, Minggu (2/10/2022).
Tragedi sepak bola antara Arema dan Persebaya menyebabkan sedikitnya 129 orang meninggal dunia, dua di antaranya anggota kepolisian. Peristiwa itu menjadi sorotan dunia. Berbagai media dari sejumlah negara mengabarkan berita mengenai kejadian tersebut sebagai tragedi sepak bola yang mengerikan.
Berdasarkan data Sportsbrief.com, 2 Oktober 2022, tragedi antara Arema dan Persebaya menjadi yang terbesar ketiga di dunia. Walau tidak resmi, menurut surat kabar Sovietski Sport, tragedi laga Piala UEFA antara Spartak Moskow dan HFC Haarlem di Stadion Luzhniki, Moskow, Rusia, 20 Oktober 1982 menyebabkan 340 orang meninggal dunia atau yang terbesar di dunia. Tetapi, secara resmi, tragedi terbesar terjadi dalam laga kualifikasi Olimpiade Tokyo 1964 antara Peru dan Argentina di Stadion Nasional, Lima, Peru, 24 Mei 1964 yang menyebabkan 320 orang meninggal dunia
Merujuk data Football-stadiums.co.uk, tragedi antara Arema dan Persebaya menjadi yang terbesar kedua di dunia. Tragedi itu melebihi jumlah korban jiwa tragedi laga Liga Ghana antara Hearts of Oak dan Asante Kotoko di Stadion Olahraga Accra, Ghana, 9 Mei 2001 yang menyebabkan 126 orang meninggal dunia. Tetapi, tragedi Arema dan Persebaya di bawah jumlah korban jiwa tragedi laga Peru dan Argentina pada 1964 yang menyebabkan 328 orang meninggal dunia.
Zainudin dalam pernyataan pers yang diterima Kompas, Minggu, mengatakan, tragedi antara Arema dan Persebaya sangat memprihatikan dan mengecewakan di tengah upaya Indonesia yang sedang membangun prestasi sepak bola nasional. Maka itu, sesuai arahan Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Zainudin bersama Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo diminta segera menginvestigasi secara serius dan mengusut tuntas apa yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa tersebut.
Zainudin dan sejumlah pihak terkait seperti Kapolri dan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) Mochamad Iriawan segera bertolak ke Malang untuk melihat langsung kondisi korban yang sedang dirawat di rumah sakit dan bertakziah kepada keluarga korban yang meninggal. Mereka pun segera berkoordinasi untuk mengambil langkah penanganan secara cepat dan tepat terhadap tragedi tersebut.
Kita harus mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan pertandingan sepak bola baik kompetisi (liga) maupun turnamen agar tragedi di Kanjuruhan tidak terulang lagi di masa depan. Kita jadikan tragedi ini sebagai pelajaran berharga yang memilukan dan harus menjadi yang terakhir.
”Kita harus mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan pertandingan sepak bola baik kompetisi (liga) maupun turnamen agar tragedi di Kanjuruhan tidak terulang lagi di masa depan. Kita jadikan tragedi ini sebagai pelajaran berharga yang memilukan dan harus menjadi yang terakhir. Kepada yang harus bertanggung jawab, tentu mereka harus bisa mempertanggungjawabkannya sesuai aturan yang berlaku (aturan FIFA, PSSI, dan hukum pemerintah). Setelah saya, Kapolri, dan Ketum PSSI tiba di Malang, kami akan segera menginformasikan perkembangan berikutnya,” ucap Zainudin.
Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Marciano Norman saat dihubungi, Minggu, menuturkan, tragedi antara Arema dan Persebaya bisa menjadi ancaman serius untuk sepak bola Indonesia. Berkaca dari tragedi laga Piala Champions antara Liverpool dan Juventus di Stadion Heysel, Brussels, Belgia, 29 Mei 1985 yang menyebabkan 39 orang meninggal dunia, peristiwa itu berdampak terhadap sanksi Federasi Sepak Bola Eropa (UEFA) kepada Livepool yang dikucilkan dari persepakbolaan dunia selama enam tahun dan klub-klub Liga Inggris lainnya selama lima tahun.
Tragedi antara Arema dan Persebaya bukan tidak mungkin menyebabkan Indonesia dikucilkan dari persepakbolaan internasional atau disanksi FIFA. Ditakutkan, itu menyebabkan Indonesia batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun depan. ”Agar sanksi itu tidak terjadi, semua pihak terkait harus bisa menyelesaikan masalah ini dengan tuntas dan mampu menjelaskannya dengan baik kepada komunitas olahraga internasional,” kata Marciano.
Marciano menekankan, sudah sepatunya persepakbolaan Indonesia berbenah diri mengarah ke lebih modern. Mencontoh Liga Inggris, pasca tragedi Heysel, mereka mampu bertransformasi menjadi kompetisi yang lebih baik dengan klub maupun suporter yang jauh lebih dewasa. Laga derbi satu kota atau daerah memang memiliki rivalitas tinggi. Namun, di Liga Inggris saat ini, derbi yang sengit hanya terjadi antar pemain di atas lapangan dan tidak sampai menimbulkan kerusuhan.
”Semoga tragedi Arema dan Persebaya menjadi bahan evaluasi menyeluruh dengan harapan tidak mengorbankan kompetisi yang baru dimulai kembali usai terhenti akibat pandemi Covid-19. Penyelenggara pertandingan, suporter, dan klub harus saling bekerja sama menciptakan iklim kompetisi yang lebih baik. Sejauh ini, kita terlena dengan prestasi timnas Indonesia yang mulai menanjak dan kinerja pelatih timnas Shin Tae-yong yang terus membaik. Akan tetapi, euforia itu menjadi percuma kalau tidak diimbangi oleh suporter yang lebih dewasa dan kualitas wasit yang lebih baik,” tegas Marciano.
Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Raja Sapta Oktohari mengatakan, dirinya memilih untuk segera kembali ke Indonesia di tengah perjalanan menuju Kamboja untuk mengikuti Sidang Majelis Umum Komite Olimpiade Asia (OCA) mulai 4 Oktober. Dia ingin segera berkoordinasi dengan semua pemangku kebijakan terkait untuk mengevaluasi dan menginvestigasi tragedi Arema dan Persebaya.
Menurut Okto, KOI selaku wakil Indonesia harus segera menyiapkan jawaban yang tepat kepada komunitas olahraga internasional yang pasti akan mempertanyakan tragedi Arema dan Persebaya, terutama Komite Olimpiade Internasional (IOC). Sebab, tragedi itu bukan lagi tragedi olahraga nasional melainkan dunia karena jumlah korban jiwa yang besar, salah satu terbesar di dunia. ”Bahkan, kita tidak bisa menghindari surat cinta (teguran) dari komunitas olahraga internasional, termasuk dari FIFA di tengah persiapan kita jadi tuan rumah Piala Dunia U-20,” tuturnya.
Terlepas dari itu, lanjut Okto, pihaknya akan tetap berusaha menjaga kepentingan Indonesia di pentas internasional. Mereka bakal berupaya agar Indonesia tetap mendapatkan kepercayaan dari komunitas olahraga dunia atau terhindar dari sanksi.
Syaratnya, semua pihak terkait mulai dari Arema, PSSI, Kemenpora, dan Kepolisian segera menyiapkan langkah untuk mengusut tuntas tragedi tersebut. Semuanya harus berkomitmen dan menjamin agar peristiwa itu tidak terulang kembali. Itu menjadi poin penting untuk tetap menjaga kepercayaan komunitas olahraga dunia.
”Kita akan sibuk dipertanyakan soal kejadian ini, lagi pula ini menyangkut sepak bola yang merupakan olahraga paling populer di dunia. Kita harus responsif untuk segera menyelesaikannya dan menjelaskannya kepada komunitas olahraga internasional agar kita tidak terkena sanksi,” pungkas Okto.