Redefinisi Pancasila
Pemahaman legalistik bisa menjadi sumber bencana bagi Pancasila, yang membuat dasar negara ini tidak benar-benar sakti meskipun setiap tahun kita peringati kesaktiannya. Lalu, seperti apa definisi Pancasila yang benar?
Kesaktian Pancasila tak akan pernah terwujud selama penguatan Pancasila tidak dilakukan secara definitif.
Hal itu disebabkan oleh pemahaman dan penguatan terhadap dasar negara yang belum sesuai dengan definisi yang benar. Termasuk seremoni tahunan Hari Kesaktian Pancasila setiap 1 Oktober, hanya membuahkan fetisisme tanpa manfaat berarti.
Apakah yang dimaksud definisi Pancasila yang benar? Yakni definisi Pancasila sebagai dasar negara berdasarkan konsepsi yang benar. Selama ini, Pancasila kita definisikan sebagai dasar negara, tetapi konsep dasar negara tak sesederhana yang dipahami selama ini.
Jika mengacu pada Penjelasan Pasal 2 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sebagaimana diubah oleh UU No 13/ 2022, dijelaskan bahwa Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum adalah Pancasila dasar negara sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Ini merupakan definisi umum yang berlaku, tanpa pendefinisian yang lebih detail.
Selama ini, Pancasila kita definisikan sebagai dasar negara, tetapi konsep dasar negara tak sesederhana yang dipahami selama ini.
Definisi tersebut memang benar, tetapi butuh penjelasan lebih lanjut. Sebab, jika terhenti dalam definisi tersebut, maka yang terjadi seperti selama ini, yakni pemahaman bersifat permukaan terhadap Pancasila, yang menempatkan dasar negara sebatas ”akta legal” pendirian negara. Pemahaman legalistik inilah sumber bencana bagi Pancasila, yang membuat dasar negara ini tidak benar-benar sakti meskipun setiap 1 Oktober kita peringati kesaktiannya.
Lalu, seperti apakah definisi tentang Pancasila yang benar? Hal itu mengacu pada definisi tentang dasar negara sebagai norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm), meminjam istilah Hans Nawiasky sebagaimana digunakan oleh Notonagoro. Memang Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm ialah lima kalimat yang tertulis dalam alinea keempat Pembukaan UUD. Akan tetapi, definisi Staatsfundamentalnorm tentu tidak sebatas teks tertulis.
Sebagaimana dijelaskan Notonagoro dalam pidato pemberian gelar doktor honoris causa ilmu hukum di UGM kepada Presiden Soekarno, 19 September 1951. Penjelasan itu mengacu pada pemilahan Notonagoro terhadap dua dimensi Pancasila. Pertama, dimensi formal Pancasila yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945. Kedua, dimensi material yang untuk pertama kali dicetuskan Soekarno pada 1 Juni 1945.
Jika dianalogikan, dimensi formal adalah bentuk (forma), sedangkan dimensi material adalah isi (materia). Pemilahan terhadap bentuk dan isi inilah yang membuat Notonagoro menyebut Soekarno sebagai pencipta Pancasila. Artinya, Soekarno merupakan pencipta isi gagasan Pancasila yang bentuknya tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, meski Soekarno sendiri membantah dirinya pencipta Pancasila, dan mengatakan dirinya sekadar penggali Pancasila.
Baca juga : Memulihkan Kesaktian Pancasila
Baca juga : Menunaikan Kewajiban terhadap Pancasila
Pemilahan Notonagoro memang sesuai dengan definisi Staatsfundamentalnorm itu sendiri. Ia mendefinisikan Staatsfundamentalnorm Pancasila sebagai nilai-nilai yang menjadi norma dasar hukum negara yang dirumuskan berdasarkan falsafah bangsa. Dalam kaitan ini, norma fundamental negara yang menjadi norma dasar negara disusun berdasarkan falsafah bangsa. Inilah yang menempatkan falsafah bangsa sebagai isi dari norma dasar negara tersebut.
Tradisi intelektual
Kesatuan antara teks Pancasila dalam Pembukaan UUD dan gagasan Pancasila 1 Juni 1945 ini pernah dirumuskan dalam peraturan yuridis kita, yakni Tap MPRS No XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR (Gotong Royong) mengenai Sumber Tertib Hukum.
Sebagaimana UU No 12/2011 yang menegaskan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, Tap MPRS ini juga melakukan hal sama. Hanya saja, Memorandum DPR-GR lebih komprehensif dalam mendefinisikan Pancasila. Menurut memorandum ini, Pancasila yang jadi dasar negara ialah Pancasila yang tertulis dalam alinea keempat Pembukaan UUD, yang dijiwai oleh Piagam Jakarta dan pidato 1 Juni Bung Karno.
Didie SW
Definisi ini lebih lengkap tak hanya secara historis, tetapi juga filosofis. Sebab, dengan menempatkan Piagam Jakarta dan pidato 1 Juni Soekarno sebagai jiwa dari Pancasila resmi, memorandum itu tak membuang isi Pancasila dari bentuk formalnya. Sayang, Tap MPRS tersebut sudah tidak berlaku lagi. Hanya saja, premis definisi Pancasilanya memuat beberapa hal penting.
Pertama, jiwa dari Pancasila tak hanya pidato 1 Juni Soekarno, tetapi juga Piagam Jakarta. Dalam kaitan ini terdapat hal penting dari Piagam Jakarta, yakni penaikan sila ketuhanan dari posisi kelima menjadi pertama. Penaikan ini membuahkan perkembangan konsep Pancasila sebagaimana dijelaskan Mohammad Hatta (1977). Menurut Hatta, ketuhanan sebagai sila kelima menempatkan ketuhanan secara sosiologis dalam konteks nilai toleransi antar-umat beragama. Sementara ketuhanan sebagai sila pertama menempatkan ketuhanan sebagai prinsip etis bernegara, serta epistemologis dalam berpancasila.
Prinsip etis artinya ketuhanan tidak hanya menjadi prinsip toleransi beragama, tetapi juga dasar moral penyelenggaraan negara. Adapun prinsip epistemologis mengacu pada status sila ketuhanan sebagai ”kerangka membaca” sila-sila di bawahnya. Tentu, penjelasan Hatta ini mengacu pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam rumusan Pancasila resmi. Sementara ketuhanan Piagam Jakarta yang bersifat Islamis bukanlah ketuhanan universal yang memimpin dan membimbing itu. Hanya saja, Piagam Jakarta berjasa dalam menaikkan ketuhanan jadi sila pertama.
Menurut Hatta, ketuhanan sebagai sila kelima menempatkan ketuhanan secara sosiologis dalam konteks nilai toleransi antar-umat beragama.
Pasca-kemerdekaan, Soekarno juga menggunakan sistematika Pancasila resmi. Itulah yang membuatnya menyatakan bahwa sila ketuhanan merupakan bintang penuntun (leitstar) utama kehidupan berbangsa. Pernyataan ini ia sampaikan dalam Kursus Pancasila sesi Sila Ketuhanan, 26 Mei 1958. Pandangan ini diulangi dalam pidato pada sidang PBB, 30 September 1960, dengan menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai falsafah utama bangsa Indonesia.
Keutamaan ketuhanan ini menurut Soekarno diakui termasuk oleh Partai Komunis Indonesia yang menerima Pancasila, di mana DN Aidit ikut serta sebagai delegasi di sidang PBB tersebut.
Hal kedua yang penting dari Piagam Jakarta ialah peran para perumus Pancasila dalam membangun konsep Pancasila. Dimulai dari Soekarno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, Kiai Wahid Hasyim, hingga Agus Salim. Hal ini telah membuahkan berbagai karya Pancasila para mantan anggota Panitia Sembilan itu, pasca-kemerdekaan. Berbagai pemikiran Pancasila para pendiri bangsa ini telah dilanjutkan oleh para intelektual kita, seperti Notonagoro, Nicolaus Driyarkara, Mubyarto, Ahmad Syafii Maarif, hingga yang terkini, Yudi Latif.
Ini berarti, dimensi material Pancasila yang disusun Soekarno telah melahirkan tradisi intelektual Pancasila yang merentang panjang. Tradisi intelektual inilah yang semestinya dikuatkan agar Pancasila benar-benar jadi norma fundamental negara yang bersifat filosofis.
Pembinaan Pancasila
Urgensi pemahaman dan penguatan Pancasila secara definitif ini dibutuhkan agar program pembinaan ideologi Pancasila tak salah langkah. Program yang dicanangkan Presiden Joko Widodo berdasar Perpres No 7/2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini perlu berpijak pada definisi di atas.
Sebab, terma ideologi Pancasila merupakan hasil dari filsafat Pancasila. Sebagaimana diketahui, pada awalnya Pancasila merupakan nilai-nilai kultural pra-filosofis. Soekarno lalu menggali nilai-nilai itu dan menyusunnya menjadi filsafat kenegaraan. Filsafat sebagai pandangan hidup saintifik (scientific world- view) ini lalu dipraksiskan menjadi ideologi (Latif, 2015: 36). Oleh karena itu, jika pembinaan ideologi Pancasila tak berangkat dari filsafat (tradisi intelektual) Pancasila, pembinaan tersebut akan salah langkah.
Berangkat dari refleksi ini, dibutuhkan proses redefinisi Pancasila hingga ke definisi komprehensifnya.
Kesalahan itu pernah terjadi pada Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) yang hanya menguatkan Pancasila sebagai nilai (etika), minus dimensi filosofis (ontologis-epistemologis) sebagai sumber konseptual bagi nilai tersebut. Berangkat dari refleksi ini, dibutuhkan proses redefinisi Pancasila hingga ke definisi komprehensifnya.
Sebab, Pancasila bukan dasar negara legal, melainkan norma dasar negara yang bersifat meta-legal (Basarah, 2017: 62). Sifat ”meta” yang memuat dimensi filosofis ini yang semestinya dikuatkan oleh berbagai upaya pembinaan ideologi Pancasila. Jika tidak, ideologi negara kita tak akan pernah sakti meski seremoni kesaktiannya kita lakukan setiap tahun.
(Syaiful Arif Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila)