Secara substansi, Pancasila harus tetap dikaji dan dikembangkan untuk memenuhi zaman namun dengan syarat tidak meninggalkan nilai asli. Pancasila harus dikonkretisasi dan diujikan dengan problematika kontemporer.
Oleh
TOBA SASTRAWAN MANIK
·5 menit baca
Pancasila memiliki kedudukan yang sakral dan fundamental dalam kehidupan bangsa Indonesia. Setidaknya sampai hari ini masih dianggap seperti itu. Pancasila masih dianggap sebagai pemersatu dan perekat segenap heterogenitas dan pluralitas Indonesia.
Namun dalam pengakuan atau pengkultusan tersebut, tepatnya harus dibarengi kesadaran bahwa Pancasila itu bukanlah sesuatu yang sempurna atau mutlak. Pancasila sebagai hasil pergulatan pemikiran manusia juga memiliki kekurangan dan kelemahan mendasar. Kekurangan ini bisa dilihat dari dua arah, yakni dari segi substansi (muatan) dan dari segi eksistensinya dalam konteks kenegaraan kita.
Dari segi substansi, Pancasila bukanlah kitab suci yang mengandung kebenaran universal dan mutlak. Memang harus diakui bahwa Pancasila memiliki nilai, sila, atau dasar cukup komprehensif dan fundamental bahkan visioner yang telah teruji. Hal inilah yang mendasari Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (2011) menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki dan memenuhi syarat menjadi negara paripurna, yakni Pancasila.
Sekalipun demikian, secara substansi Pancasila harus tetap dikaji dan dikembangkan untuk memenuhi jaman, namun dengan syarat tidak meninggalkan nilai asli. Pancasila harus dikonkretisasi dan diujikan dengan problematika kontemporer.
Hal ini menjadi conditio sine qua non agar keyakinan terhadap Pancasila tidak menempatkan kita sebagai bangsa yang terbelakang, tertutup, dan lemah. Sehingga, kita tidak mudah terprovokasi menuduh sesama sebangsa sebagai anti-Pancasila disebabkan kesempitan dan kelemahan kita menafsirkan Pancasila itu.
Hal ini penting sebab Pancasila rentan untuk ditinggalkan, baik secara sadar maupun tidak. Kedangkalan dan kelemahan membaca dapat menimbulkan skeptis terhadap Pancasila dan pesimistis terhadap negara. Seketika itu beralih kepada ideologi lain yang menawarkan pemuasaan secara pragmatis.
Sebuah fakta yang harus kita akui hari ini seperti ditegaskan Yudi Latif, seperti mencari ”Kunci di luar sedangkan kunci hilang di dalam rumah. Kenapa dicari di luar karena di dalam gelap.”
Dari segi eksistensi, Pancasila menyimpan kerentanan yang amat dalam. Jika berbicara secara jujur, kehadiran Pancasila tidaklah berdasarkan penerimaan penuh oleh para pendiri bangsa. Justru Pancasila dilahirkan lewat perdebatan-perdebatan panjang yang keputusannya harus melalui ”paksaan” keputusan politik.
Pancasila sejak dari sidang BPUPKI menimbulkan perselisihan khususnya terhadap sila pertama Pancasila. Karena tidak berujung dengan penerimaan kuorum, PPKI pada 18 Agustus 1945 akhirnya mengganti sila pertama tersebut diikuti dengan perubahan beberapa pasal dalam tubuh UUD 1945.
Ada sedikit pergolakan dan taktik dalam sidang tersebut. Masalah tersebut kembali mengemuka dalam sidang-sidang Majelis Konstituante yang dibentuk untuk merumuskan dan menyusun UUD yang baru. Akibat perdebatan yang tidak berbeda jauh dengan BPUPKI, yakni mengenai dasar negara, Soekarno terpaksa mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang isinya membubarkan Majelis Konstituante, Mengembalikan dasar negara kepada UUD 1945, membentuk MPR, dan DPA Sementara (Maarif, 2006).
Hal ini harus kita pahami bersama bahwa Pancasila menyimpan sejarah yang belum tuntas. Menurut Syafii Maarif (2006:154) ”suatu tafsir yang mendalam dan tuntas tentang Pancasila belum dilakukan, sekalipun dalam dengan dasar negara, maka UUD 1945 adalah tafsirannya. Dengan demikian Pancasila masih terbuka bagi bermacam-macam tafsiran filosofis.” Di sinilah peran generasi saat ini untuk menjawabnya.
Sudah menjadi fitrah bangsa Indonesia saat ini untuk menuntaskan tugas sejarah tersebut. Tuntas dalam hal ini harus dimaknai dengan menghidupkan, menafsirkan, dan membuka terhadap kajian terbaru tanpa meninggalkan nilai aslinya dan juga tuntas dalam arti sepenuhnya diterima dan diamini serta dipegang teguh oleh segenap bangsa Indonesia.
Pancasila itu harus benar-benar dihidupkan dan diteguhkan kembali demi eksistensi Indonesia memandang terhadap internal maupun terhadap cobaan secara eksternal.
Betapa rentannya Pancasila ditinggalkan, atau bukan tidak mungkin akan dipertanyakan kembali oleh kalangan yang sebelumnya menyimpan keraguan terhadap Pancasila. Tidak ada cara lain selain Pancasila itu harus benar-benar dihidupkan dan diteguhkan kembali demi eksistensi Indonesia memandang terhadap internal maupun terhadap cobaan secara eksternal.
Upaya untuk menghadapi dan mengantisipasi kerentanan tersebut, upaya penguatan mesti dilakukan atau istilah kekinian upaya radikalisasi Pancasila seperti diketengahkan oleh Kuntowijoyo. Langkah-langkah upaya dalam radikalisasi tersebut, menurut Yudi Latif (2011:48), adalah mengembalikan Pancasila sebagai ideologi, mengembangkannya sebagai ilmu, mengupayakan konsistensi dengan perundangan, koherensi antarsila, koresponden dengan realitas sosial, beroperasi secara vertikal dan horizontal, dan sebagai sumber kritik negara.
Kewajiban terhadap Pancasila
Banyak menemukan aura pesimisme tentang potret kehidupan bangsa dan kenegaraan kita saat ini. Lebih berbahaya lagi, kita yang seakan-akan tidak ikut arus mainstream adalah sebuah kesalahan, kegagapan. Kita dianggap yang mencoba melawan arus adalah kekakuan, sok idealis, dan kurang membumi.
Pernah mendengar ucapan teman yang relatif muda. ”Negara ini sudah susah. Semua serba duit. Lihatlah kasus-kasus besar di negara ini. Semua sudah tersistematis dan terstruktur. Sulit untuk mengubahnya. Tidak ada pilihan selain ikut arus.”
Narasi pesimistis lain biasanya ditambah dengan pembenaran secara budaya bahwa bangsa Indonesia terlalu lama dijajah, kita sempat mengalami lost generations, dan lain-lainnya.
Afirmasinya bahwa eksistensi negara ini termasuk Pancasila diserahkan kepada generasi saat ini lebih pada konteks kewajiban daripada hak.
Penulis agak terkejut mendengar hal ini. Tentu bukan hanya teman tersebut yang demikian. Banyak yang berpendapat sama khususnya di kalangan muda.
Namun jika kita telusuri lebih dalam ada kesalahan berpikir dalam pandangan tersebut. Anggapan bahwa negara ini harus dihadiahkan atau diwariskan dalam keadaan baik-baik saja. Padahal tidak, jika para pahlawan kita dahulu berpikir demikian, tentu mereka tidak akan berjuang dan mengorbankan nyawa untuk mengubah keadaan tidak baik (dijajah) menjadi baik (merdeka). Mereka lebih cepat dan mudah untuk berkompromi dengan Belanda.
Afirmasinya bahwa eksistensi negara ini, termasuk Pancasila, diserahkan kepada generasi saat ini lebih pada konteks kewajiban daripada hak. Artinya, pengutamaan kewajibaan terhadap negara termasuk untuk memperbaiki dan merestorasi hal-hal yang dianggap tidak baik itu ada generasi saat ini khususnya kalangan pemuda. Pemuda tidak boleh begitu saja menyerah pada keadaan selain daripada mengubah.
Generasi muda tidak dilahirkan untuk menikmati keadaan bangsa dan negara ini begitu saja. Lebih dari itu, harus mampu memperbaiki keadaan-keadaan yang dianggap kurang baik dan tidak sesuai dengan Pancasila. Tidak ada pilihan selain dari itu. Ini kewajiban moral kita sebagai bangsa Indonesia.
Tentu kewajiban yang berat dan sulit untuk kita sebagai generasi penerus bangsa. Tapi, kita tidak bisa menghindar begitu saja. Semua orang memiliki tugas dan kewajiban yang sama. Semua dimulai dari lingkungan dan peran lebih kecil niscaya akan membesar. Kamu harus menjadi apa yang ingin kamu lihat di dunia, pesan Mahatma Gandhi.
Hanya ada satu Tanah Air yang bernama Tanah Airku. Ia makmur karena usaha dan usaha itu adalah usahaku, pesan Mohammad Hatta.
Toba Sastrawan Manik, Dosen Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan (PPKn) Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan