Pengaturan evaluasi jabatan hakim konstitusi oleh lembaga pengusul tidak lebih dari sekadar upaya membonsai Mahkamah Konstitusi sebagai institusi peradilan yang independen.
Oleh
IDUL RISHAN
·4 menit baca
Dua tahun setelah Perubahan Ketiga Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU-MK), DPR kembali menginisiasi rencana Perubahan Keempat UU-MK. Dalam penalaran awam, upaya ini jelas akan menimbulkan distorsi dan membuka kembali perdebatan publik dengan dua alasan.
Pertama, hasil perubahan ketiga UU-MK di dua tahun silam merupakan salah satu produk legislasi kontroversial dari sisi proses dan hasil. Kedua, putusan MK atas perkara pengujian perubahan ketiga UU-MK merupakan putusan ”anti-klimaks” karena mahkamah pada akhirnya menjustifikasi cara kerja pemerintah atas perubahan UU-MK.
Kini, materi muatan ”anyar” yang ditawarkan dalam draf Perubahan Keempat UU-MK mengatur evaluasi lima tahunan jabatan hakim konstitusi oleh setiap lembaga pengusul (Presiden-DPR dan Mahkamah Agung). Berdasarkan penuturan salah satu anggota Baleg Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), evaluasi jabatan hakim konstitusi merupakan salah satu bentuk checks and balances di cabang kekuasaan kehakiman (Kompas, 23/9/2022).
Membaca cara kerja pemerintah (Presiden dan DPR) atas perubahan berulang UU-MK, tentu tidak hanya dapat dilihat sebagai bagian dari cara kerja legislasi pada umumnya. Perubahan berulang UU-MK dalam jangka waktu yang relatif pendek justru lebih memperlihatkan menguatnya peran kartel dalam mensubordinasi kemerdekaan institusi peradilan, dalam hal ini MK.
Fenomena itu oleh Katz dan Mair (Richard S Katz & Peter Mair, Democracy and the Cartelization of Political Parties: 2018) disebut sebagai perubahan cara kerja partai dalam menghasilkan produk hukum negara. Dalam mode ini, partai politik tidak lagi hadir untuk merepresentasikan kepentingan masyarakat, tetapi kepentingan kelompok tertentu atau minimal kepentingan sesama kelompok elite partai di DPR.
Termasuk salah satunya memberikan ruang yang besar bagi partai politik untuk melakukan evaluasi terhadap jabatan hakim konstitusi. Perluasan peran partai politik terhadap institusi MK melalui evaluasi jabatan hakim lima tahun sekali, meletakkan hakim konstitusi sebagai jabatan publik yang berada di bawah pengaruh partai politik.
Tanpa disadari, pola demikian didesain secara terstruktur baik dari proses hulu maupun hilirnya. Pada proses hulu, parpol terlibat dalam proses kandidasi sembilan calon hakim konstitusi.
Tiga dari unsur presiden misalnya, partai koalisi presidensial memberikan peran besar dalam memberikan pertimbangan terhadap figur calon hakim konstitusi yang akan ditetapkan sebagai hakim konstitusi. Tiga dari unsur DPR, juga demikian. Parpol memiliki kontribusi yang sangat dominan dalam menentukan hakim konstitusi terpilih.
Demikian juga tiga dari unsur MA, parpol terlibat dalam tahapan kandidasi meskipun perannya tidak secara langsung. Tiga nama yang diajukan oleh MA untuk menjadi calon hakim konstitusi tetap membutuhkan persetujuan ketua MA sebagai hakim agung yang secara notabene diseleksi melalui proses politik atau persetujuan di DPR.
Parpol memiliki kontribusi yang sangat dominan dalam menentukan hakim konstitusi terpilih.
Pada aspek hilirnya, draf Perubahan Keempat UU-MK mencoba meletakkan proses evaluasi jabatan hakim konstitusi akan kembali diserahkan kepada partai politik. Pada titik inilah, kartel politik itu bekerja untuk menentukan figur-figur yang dapat duduk dan bertahan di institusi MK.
Independensi
Pengaturan evaluasi jabatan hakim konstitusi oleh lembaga pengusul tidak lebih dari sekadar upaya membonsai MK sebagai institusi peradilan yang independen. Logika checks and balances sama sekali tidak memiliki relevansi dalam konteks ini, melainkan lebih kepada striking the balances atau ketimpangan hubungan antara intervensi politik dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Proses evaluasi yang akan digagas dalam lima tahun sekali, akan menyubordinasi independensi dan imparsialitas hakim konstitusi, khususnya dalam memeriksa dan memutus perkara. Risikonya dalam proses evaluasi, hakim konstitusi dapat diberhentikan dari jabatannya bukan karena alasan etik, melainkan lebih kepada perbedaan preferensi ilmiah seorang hakim yang kemudian bersebrangan dengan pilihan preferensi politik partai ataupun pemerintah. Konsekuensinya, proses evaluasi ini akan menutup lahirnya figur-figur hakim konstitusi yang progresif dalam membangun interpretasi terhadap perkara-perkara strategis dan berdampak luas di mahkamah.
Dalam konteks perbandingan di negara-negara Asia, Eropa, dan Amerika Latin, perubahan UU di bidang kekuasaan kehakiman mengenal batas-batas yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh pembentuk undang-undang dalam mengatur institusi peradilan dan jabatan hakim. Pembatasan itu dilakukan dalam dua hal.
Pertama, pembatasan yang dilakukan melalui ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi. Limitasi itu dilakukan dengan memberikan pengaturan secara definitif yang berkaitan dengan independensi organisasi kelembagaan dan jabatan hakim konstitusi, mulai dari syarat, masa jabatan, maupun lembaga yang berwenang menegakkan kode etik hakim konstitusi.
Kedua, pembatasan melalui konvensi atau deklarasi yang mengikat dalam skala regional dan internasional. Sebagai contoh The Bungalore Principles of Judicial Conduct 2002 dan Magna Charta of Judges Fundamental Principles 2010, ialah prinsip fundamental dalam kekuasaan kehakiman yang mengatur independensi kelembagaan dan jabatan hakim di kekuasaan kehakiman.
Pola ini seharusnya bisa diterapkan dalam konteks kekuasaan kehakiman di Indonesia. Upaya ini dapat membantu untuk memitigasi risiko pengaturan terhadap jabatan hakim, termasuk hakim konstitusi agar tidak menjadi wilayah yang mudah terekspos oleh intervensi partai atau kekuasaan.
Idul Rishan, Pengajar Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia