Atas Nama Keputusan Politik
Badai ”pembusukan” lembaga penegak hukum menjalar ke Mahkamah Konstitusi.
”Ini industri hukum yang sudah gila-gilaan…”
Menko Polhukam Mahfud MD
Dari pilihan katanya, seperti dikutip Kompas, 27 September 2022, Mahfud MD geram menyaksikan penangkapan Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Sudrajad ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi bersama sejumlah orang. Ia dituduh menerima suap dalam kasus perampasan aset koperasi melalui kepailitan. ”Ini industri hukum gila-gilaan,” kata Mahfud.
Penangkapan hakim agung oleh KPK menambah deretan ”pembusukan” lembaga hukum. Publik belum lupa dengan pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh bekas Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo dan kawan-kawan. Sebelumnya hal ini diikuti dengan pembohongan nasional yang dilakukan Sambo. KPK juga bermasalah setelah salah seorang komisionernya, Lili Pintauli Siregar, mengundurkan diri sebelum Dewan Pengawas KPK ”mengadilinya”.
Badai ”pembusukan” lembaga penegak hukum menjalar ke Mahkamah Konstitusi (MK). Komisi III DPR memberhentikan Aswanto sebagai hakim konstitusi dan digantikan Sekjen MK Guntur Hamzah. Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dalam rapat paripurna ke-7, Kamis (29/9/2022), mengatakan, ”Tak akan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi yang berasal dari DPR atas nama Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi dari DPR.”
Komisi III DPR kecewa kepada Aswanto karena kerap membatalkan undang-undang produk DPR. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menganalogikan hubungan DPR dan Aswanto sebagai perusahaan. Aswanto yang diusulkan DPR selaku owner seharusnya mewakili kebijakan perusahaan yang mempekerjakannya. ”Kalau kamu usulkan seseorang jadi direksi di perusahaanmu, kamu sebagai owner, itu mewakili owner, kemudian kebijakanmu enggak sesuai direksi, owner-nya bagaimana. Kan, kita dibikin susah,” ujarnya.
Hakim konstitusi tidak bisa dianalogikan sebagai direktur dari perusahaan. Hakim konstitusi adalah negarawan yang dianggap menguasai konstitusi. Jika logika Bambang diikuti, MK akan lumpuh, karena tiga hakim konstitusi diajukan DPR, tiga hakim oleh Presiden, dan tiga hakim diajukan MA. Jika logika Bambang diikuti, otomatis kewenangan uji materi undang-undang atas undang-undang dasar lumpuh karena DPR dan pemerintah punya enam ”direktur” melawan tiga dari MA.
Baca juga: Komisi III DPR Klaim Penggantian Hakim Konstitusi Sesuai Permintaan MK
Mengikuti khazanah perdebatan saat penyusunan konstitusi, tiga lembaga yang mengajukan hakim konstitusi dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kekuatan antarcabang kekuasaan sehingga akan hadir MK yang imparsial dan netral. Jauh dari analogi, lembaga pengusul adalah pemilik dari hakim konstitusi atau hakim sebagai pekerja dari pengusul.
”Proses itu cepat. Hanya beberapa jam saja,” kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman. Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, saat ditanya mengatakan, ”Fraksi PPP tidak hadir dan tidak ikut ambil keputusan sebagai tanda tidak sepakat dengan fraksi lainnya.”
Pada 21 Juli 2022 Ketua MK Anwar Usman berkirim surat kepada Ketua DPR. Surat itu mengutip pertimbangan MK yang menyatakan agar ketentuan peralihan tidak digunakan untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang menjabat hakim konstitusi. Maka, MK berpendapat diperlukan tindakan hukum berupa konfirmasi terhadap lembaga pengusul hakim konstitusi yang tengah menjabat.
Dalam suratnya, Anwar memintakan konfirmasi kepada DPR terhadap Prof Dr Arief Hidayat yang berdasarkan UU No 7/2020 tentang MK akan menjabat hingga 3 Februari 2026; Prof Dr Aswanto yang akan menjabat hingga 21 Maret 2029; dan hakim Wahiduddin Adams yang akan menjabat hingga 17 Januari 2024.
MK telah berkirim surat yang sama kepada Presiden dan MA. Oleh DPR, surat Anwar dijawab dengan tindakan politik tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto dan menggantikannya dengan Guntur. Putusan ini juga menabrak putusan MK. ”Itu tindakan sewenang-wenang dan menghancurkan peradilan,” kata Ketua MK pertama Jimly Asshiddiqie. Kritik juga disampaikan mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna.
UU No 7/2020 tentang MK menyebutkan sejumlah alasan soal pemberhentian hakim konstitusi. Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat karena meninggal dunia, mengundurkan diri atas permintaan sendiri, telah berusia 70 tahun, berakhir masa jabatannya. Tidak ada alasan tidak diperpanjang oleh lembaga pengusul karena mengecewakan.
Baca juga: Pemberhentian Aswanto Jadi Preseden Buruk
Seleksi hakim konstitusi diatur dalam UU No 7/2020. Pasal 20 Ayat (2) menyebut, ”Proses pemilihan hakim konstitusi dari ketiga unsur lembaga negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan melalui seleksi yang obyektif, akuntabel, transparan, dan terbuka oleh masing-masing lembaga negara”. Dalam penjelasan Pasal 19 UU No 24/2003 disebutkan, ”Berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa, baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan”.
Kalau DPR mau mengusulkan Guntur sebagai hakim konstitusi, seharusnya DPR merujuk pada tata cara seleksi hakim konstitusi yang mensyaratkan prinsip transparansi, terbuka, dan partisipatif. Aturan yang dibuat DPR sendiri. Tidak bisa atas nama keputusan politik tapi menabrak undang-undang.
Presiden Jokowi bisa saja mengusulkan kepada DPR agar proses pemberhentian Aswanto dan penunjukan Guntur Hamzah diulang sesuai aturan undang-undang.