Bantuan, apa pun bentuknya, akan berdampak signifikan bagi pihak yang berhak dan perlu dibantu. Apalagi, jika bantuan itu diterima dengan cepat.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Seiring kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) per 3 September 2022, pemerintah memberikan bantuan Rp 24,17 triliun bagi masyarakat yang memerlukan. Bantuan itu berupa bantuan langsung tunai (BLT) Rp 12,4 triliun, bantuan subsidi upah (BSU) Rp 9,6 triliun, serta bantuan sektor transportasi dan perlindungan sosial tambahan Rp 2,17 triliun.
Sebanyak 20,65 juta keluarga kurang mampu akan menerima BLT Rp 150.000 per bulan per keluarga, selama 4 bulan pada September-Desember 2022. Bantuan dikucurkan dalam dua tahap, yakni Rp 300.000 pada September dan Rp 300.000 pada Desember. BSU Rp 600.000 per orang diberikan kepada 16 juta pekerja bergaji maksimum Rp 3,5 juta per bulan.
Berdasarkan data pemerintah per Selasa (27/9/2022), BLT tahap pertama sudah disalurkan kepada 19.955.471 penerima atau 96,6 persen dari sasaran. Namun, penyalurannya bervariasi, misalnya di Sumatera sudah disalurkan kepada 98,36 persen penerima, sedangkan di Papua 58,4 persen.
Adapun BSU, menurut Presiden Joko Widodo, sudah disalurkan kepada 7.077.550 penerima atau sekitar 48,34 persen dari sasaran penerima. Presiden menyampaikan, penyaluran bantuan akan dipercepat.
Kenaikan harga BBM secara langsung berdampak pada biaya transportasi manusia dan angkutan barang. Secara tak langsung, segala hal yang memiliki unsur transportasi pada produksi atau pengadaannya juga menanggung dampak kenaikan harga BBM. Hal ini akan diperhitungkan dalam harga barang dan jasa. Akibatnya, harga di tingkat konsumen naik.
Dengan kenaikan harga itu, barang dan jasa yang diperoleh dengan nilai uang yang sama akan lebih sedikit dibandingkan sebelumnya. Kenaikan harga akan berpengaruh pada daya beli atau kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya, dalam bentuk barang dan jasa.
Dihadapkan pada situasi ini, ada sebagian publik yang memilih mengurangi belanja. Jika masyarakat mengurangi belanja mereka, produksi barang dan jasa tak terserap optimal. Di sisi lain, kemampuan produsen untuk kembali memproduksi barang bisa berkurang. Apalagi, produsen juga menghadapi, antara lain, kenaikan harga bahan baku. Produsen yang mengimpor bahan baku juga mesti menyiasati penguatan nilai tukar dollar AS. Secara makro, belanja masyarakat yang anjlok akan menekan perekonomian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, perekonomian Indonesia pada triwulan II-2022 tumbuh 5,44 persen secara tahunan. Dari angka pertumbuhan itu, pengeluaran konsumsi rumah tangga atau masyarakat menyumbang lebih dari setengahnya, yakni 2,92 persen.
Demi menjaga daya beli masyarakat, pemerintah menyalurkan bantuan. Bantuan diharapkan dapat menopang belanja masyarakat sehingga perekonomian terjaga. Maka, bantuan mesti cepat disalurkan kepada pihak yang tepat.