Cacat demokrasi di tingkat nasional merupakan cermin besar dari kondisi di tingkat demokrasi desa. Ada kesamaan pola sistem politik dan ekonomi. Karena itu, pemulihan cacat demokrasi Indonesia dapat dimulai dari desa.
Oleh
LUKMAN HAKIM
·6 menit baca
Indeks demokrasi Indonesia mengalami fluktuasi sejak 2010 hingga 2021. Merujuk laporan The Economist Intelligence Unit, sejak 2010 hingga 2015 capaian indeks demokrasi Indonesia meningkat dari 6,53 menjadi 7,03. Namun, sejak 2016 capaian indeks demokrasi Indonesia menurun signifikan hingga 6,3 di tahun 2020.
Pada tahun 2021 indeks demokrasi Indonesia meningkat menjadi 6,71, yang menempatkan Indonesia di urutan ke-52 dunia dan urutan ke-3 di Asia Tenggara. Terdapat lima aspek yang memengaruhi capaian demokrasi, yakni keberfungsian pemerintah, kebebasan sipil, partisipasi politik, proses elektoral dan pluralitas, serta budaya politik.
Meski di tahun 2021 terjadi peningkatan indeks demokrasi, terdapat dua aspek yang mengalami stagnasi, yaitu aspek proses elektoral dan pluralitas dengan skor 7,92 dan budaya politik dengan skor 4,38. Sementara keberfungsian pemerintah meningkat dari 7,50 menjadi 7,89; kebebasan sipil meningkat dari 5,59 menjadi 6,18; dan partisipasi politik melesat dari 6,11 menjadi 7,22.
Namun, peningkatan indeks demokrasi Indonesia tahun 2021 rupanya masih menyisakan kecacatan demokrasi (flawed democracy). Sebab, basis indikator yang dibangun dari indeks demokrasi tersebut masih dominan sifat political driven atau bias aspek politik an sich.
Konsep demokrasi jauh lebih substansial dari semata soal politik elektoral. Tujuan demokrasi politik melekat di dalamnya tujuan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik adalah syarat berjalannya demokrasi ekonomi.
Pelaksanaan demokrasi ekonomi akan terwujud apabila terjadi kesejajaran antara sistem politik dan sistem ekonomi, begitu pun sebaliknya. Hal ini semakin menegaskan bahwa demokrasi tidak hanya semata soal politik, namun bersifat multidimensional melingkupi beragam aspek sosial, ekonomi, dan ekologi (Gould, 1994; Sorensen, 2003; Simon Vaut, 2009; Pickering, et.al, 2020).
Maka, untuk memperbaiki capaian indeks demokrasi Indonesia, sejatinya tak cukup semata berfokus pada pemenuhan indikator-indikator terukur secara politik, namun mesti lebih multi-lintas sektor yang lebih komprehensif. Ini penting apabila tidak ingin demokrasi Indonesia berubah menjadi cacat permanen.
Penyelewengan
Berlandaskan pada UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) dinyatakan bahwa secara politik kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Hal ini bermakna bahwa rakyatlah yang memiliki kedaulatan dalam menentukan keputusan-keputusan politik.
Sementara di Pasal 33 dijelaskan bahwa demokrasi ekonomi berarti kedaulatan ekonomi berada di tangan rakyat. Rakyatlah yang berhak menentukan tiga masalah utama ekonomi, yaitu (1) apa yang harus diproduksi (what), (2) bagaimana memproduksi (how), dan (3) untuk siapa barang dan jasa diproduksi (for whom).
Maka, norma yuridis konstitusional demokrasi Indonesia berwatak sosialisme kerakyatan yang mengintegrasikan aspek politik dan ekonomi sebagai kesatuan yang utuh. Inilah fondasi dan karakter kebijakan sistem politik dan ekonomi di Indonesia (Hatta, 2008).
Norma yuridis konstitusional demokrasi Indonesia berwatak sosialisme kerakyatan yang mengintegrasikan aspek politik dan ekonomi sebagai kesatuan yang utuh.
Praktiknya, telah terjadi penyimpangan norma yuridis konstitusional tentang sistem demokrasi politik-ekonomi Indonesia. Hal ini setidaknya akibat tiga hal yang berkait-kelindan.
Pertama, akibat penyanderaan negara (state captured). Sistem politik di Indonesia dikuasai dan dikendalikan oleh kelas kapitalis ”mafioso”. Kelas kapitalis mafiosomendanai atau mensponsori partai politik secara transaksional dengan kompensasi jaminan kelanggengan kartel bisnis mereka yang umumnya berbasis sumber daya alam (KPK-GNPSDA 2018).
Kedua, kuatnya gurita ”kuasa uang” dan praktik klientelisme yang menyebabkan democracy for sale (Aspinall dan Berenschot, 2019; Muhtadi, 2020). Ketiga, berulangnya praktik politik belah bambu mobilisasi massa dengan mendengungkan isu berbasis agama, ras, dan etnisitas dalam pemillihan umum (daerah dan nasional) (Widyawati, 2014; Sjaf, 2014).
Akibatnya, negara semakin patuh pada kuasa pemilik modal besar korporasi dan oligarki memperburuk cacat demokrasi. Hak dasar rakyat tersubordinasi berujung kemiskinan, ketimpangan, dan krisis ekologi multidimensi. Akibatnya, cita-cita politik sebagai penciptaan ruang publik, di mana setiap orang bisa menyampaikan pemikirannya secara egaliter, bebas dominasi, dan setara (Habermas, 1984) makin jauh panggang dari api.
Demokratisasi dari desa
Cacat demokrasi di tingkat nasional merupakan cermin besar dari kondisi di tingkat demokrasi desa. Terdapat kesamaan pola sistem politik dan ekonomi di level nasional dan perdesaan.
Penyanderaan negara, klientelisme, dan politik etnik-ras-agama juga berlangsung di tingkat desa. Relasi patron-klien calon kepala desa dengan kelas kapitalis mafiosotingkat lokal terpilin dalam kuasa politik uang. Ongkos politik yang mahal, yang kadang mencapai angka Rp 1 miliar, menjadi sumbu masalahnya.
Fenomena keterpecahbelahan masyarakat di tingkat desa akibat isu etnis dan agama juga masih kerap terjadi di masa pilkades. Isu genealogis dan biologis atau atas nama ”putra daerah” kerap digunakan untuk memobilisasi massa. Sementara isu substantif terkait visi dan misi calon kepala desa sebagai pandu penentu pembangunan desa tak lagi dianggap penting dalam pesta demokrasi desa.
Penyanderaan negara, klientelisme, dan politik etnik-ras-agama juga berlangsung di tingkat desa.
Buah dari cacat demokrasi di perdesaan mencipta proses pembangunan desa yang lebih berorientasi pada kepentingan elitis, prosedural, berwatak teknokratik. Akibatnya, melahirkan kesenjangan sosial, kesenjangan ekologis, dan kesenjangan spiritual (Tania Li, 2018).
Alih-alih ”niat untuk membangun” mencipta kemakmuran, sebaliknya perencanaan pembangunan dalam praktiknya justru melahirkan ketimpangan multidimensional di desa. Cacat demokrasi desa adalah serpihan dari cacat demokrasi nasional, dan sebaliknya.
Dengan demikian, desa sangat mungkin dapat menjadi salah satu penentu upaya pemulihan cacat demokrasi nasional. Gagasan ”konstitusionalisasi demokrasi desa” menjadi penting dan aktual.
Landasannya adalah mandat UUD 1945 Pasal 1 dan Pasal 33, yakni: (1) memperkuat kedaulatan masyarakat desa atas pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan desa, (2) memperkuat kedaulatan masyarakat desa dalam menjalani ekonomi lokal di desa, dan (3) memperkuat kedaulatan desa atas data yang akurat.
Setelah munculnya UU Desa Nomor 6/2014, ketiga hal di atas semakin mendapat konteks substantifnya. Namun, menurut penulis, poin ketiga yang terkait dengan penyediaan data akurat sebagai landasan penting bagi terciptanya kedaulatan desa masih belum menjadi kesadaran wajib, masih dianggap semata pelengkap syarat. Padahal, ketersediaan data akurat dan presisi di era serba digital dan disruptif informasi sekarang semakin niscaya.
Dalam pengalaman gerakan Data Desa Presisi (DDP) IPB University, selama proses mendorong implementasi UU Desa Nomor 6/2014, terbukti bahwa data akurat dan presisi desa adalah syarat wajib bagi ketepatan perencanaan pembangunan dan pengembangan demokrasi (ekonomi-politik) substantif di tingkat desa. Syaratnya, dipenuhi prinsip dasarnya, yakni bersifat inklusif dan partisipatoris, yang selalu mendudukkan masyarakat desa sebagai subyek perubahan dalam paradigma ”desa membangun”.
Tak heran jika jauh-jauh hari Bung Karno mengingatkan bahwa democratic rural development hanya bisa diwujudkan dengan pendekatan substansial yang berbasis data akurat. Dengan dasar ini, cacat demokrasi nasional dan perdesaan berpotensi dapat dipulihkan jika ada keberanian terobosan kebijakan politik nasional, yang bukan semata terfokus mengejar target perbaikan indikator indeks demokrasi, melainkan juga serius mengoreksi dan memperbarui syarat-syarat substansial dari sistem demokratisasi politik-ekonomi di tingkat desa.
Konstitusionalisme demokrasi desa adalah wujud dari demokrasi kerakyatan, lebih berpihak demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat daripada menjadi pelayan segelintir elite mafioso parasit demokrasi.
Lukman Hakim, Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University; Ketua Unit Desa Presisi IPB University