Kekurangan Gizi di Asmat dan Ancaman Kekerasan terhadap Anak
Percepatan perbaikan gizi di Asmat mutlak dan sangat urgen dilakukan saat ini. Menunda hal tersebut sama artinya membiarkan anak-anak Asmat semakin jauh tertinggal dan rentan terhadap kekerasan.
Oleh
ANGELINA THEODORA
·5 menit baca
Apakah menu makan Anda hari ini sudah memenuhi standar gizi lengkap? Tanpa bermaksud mengusik selera makan, pernahkah telintas di benak Anda, apa yang sedang dimakan oleh saudara-saudara kita, terutama anak-anak, di Asmat, Papua?
Jika membandingkan harga bahan-bahan pokok antara Jakarta atau mayoritas wilayah Jawa dengan di Asmat, rasanya menyiapkan makanan sederhana, tetapi sehat, untuk keluarga sangatlah tidak mudah di sana. Harga barang dan bahan-bahan pokok di Asmat pada umumnya hingga tiga kali lipat lebih mahal dari harga di Jawa.
Harga minyak tanah pada Agustus lalu sekitar Rp 7.000-Rp 10.000 per liter, sementara di Jawa Rp 2.500 per liter. Harga telur per rak (kurang lebih 2 kg) bisa mencapai Rp 75.000, sementara di Jawa dalam keadaan normal Rp 20.000-Rp 25.000 per kg. Dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kita bisa bayangkan bahwa kondisi masyarakat di Asmat akan menjadi lebih sulit lagi dalam memenuhi kebutuhan gizi anak.
Dengan keterbatasan asupan gizi, anak berpotensi mengalami malnutrisi. Kondisi ini dapat berdampak ke berbagai aspek, seperti tengkes (stunting), yaitu kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis dan gangguan tumbuh kembang lain. Anak juga bisa mengalami gangguan berpikir atau hambatan kecerdasan.
Dengan rendahnya kecerdasan, anak akan sulit menerima dan mencerna informasi. Jika menerima informasi saja sulit, akan tidak mudah upaya kita dalam memutus lingkaran kemiskinan dan menghentikan kekerasan terhadap anak.
Anak dengan perkembangan kecerdasan normal saja membutuhkan banyak energi untuk belajar hal-hal baru, baik di lingkungan pendidikan formal maupun nonformal. Anak-anak yang tingkat kecerdasannya lebih rendah tentu akan mengalami kesulitan belajar yang lebih besar, memahami konsekuensi logis dari setiap tindakan, serta sulit mengenali ancaman dari luar. Tanpa bekal pengetahuan yang cukup, di kemudian hari anak akan jadi mudah diperdaya dan dieksploitasi oleh orang lain.
Selain kekerasan fisik, mental, dan seksual, bentuk-bentuk kekerasan yang sering kali terjadi kepada anak-anak yang hidup di lingkungan miskin adalah anak dipaksa masuk ke dunia kerja yang berbahaya, jauh sebelum waktunya, perkawinan usia anak, dan masih banyak lagi.
Menurut penelitian yang dilakukan Girls not Bride tahun 2017 di beberapa negara yang mengalami kelaparan, mereka semua memiliki prevalensi perkawinan usia anak yang cukup tinggi. Di Sudan Selatan dan Mali ada 50 persen anak perempuan yang menjadi korban perkawinan usia anak. Sementara di Chad dan Central African Republic, angkanya hampir mencapai 70 persen.
Di beberapa negara yang mengalami kelaparan, mereka semua memiliki prevalensi perkawinan usia anak yang cukup tinggi.
Hak anak
Dalam penelitian yang dilakukan Wahana Visi Indonesia di Asmat, anak-anak di sana menyatakan bahwa mereka masih merasa pemerintah kurang terlihat perannya di dalam menyelesaikan permasalahan hak-hak anak. Masalah yang menurut anak-anak mengganggu, antara lain, perkawinan usia anak, mabuk lem, putus sekolah, dan tidak memiliki akta kelahiran.
Angka perkawinan usia anak di Asmat memang cukup tinggi. Ada 9,87 persen anak usia 15-19 tahun yang sudah dinikahkan. Umumnya alasan orangtua menikahkan anak adalah desakan ekonomi.
Hal tersebut jelas-jelas merugikan anak. Orangtua yang seharusnya melindungi hak-hak anak, termasuk untuk mendapatkan kesempatan bermain, pendidikan, dan kasih sayang, malah melepaskan tanggung jawab dengan memberikan beban tambahan kepada anak, terutama anak-anak perempuan untuk menjadi istri, menantu, dan sangat mungkin menjadi ibu.
Kita semua tentu belum lupa kepada kejadian luar biasa gizi buruk di Asmat pada 2018 yang mengakibatkan sedikitnya 72 anak meninggal. Meskipun sudah ada perbaikan, hal itu masih jauh jika dibandingkan standar pemenuhan gizi terutama untuk anak pada umumnya.
Hingga kini kebiasaan makan satu kali sehari karena sulitnya mencari makanan masih terus dilakukan. Ini jelas tidak mencukupi kebutuhan gizi anak yang sedang ada dalam masa pertumbuhan.
Jika seorang anak sampai mengalami malnutrisi atau bahkan kelaparan, ini sudah dapat dikategorikan sebagai penelantaran. Meski demikian, kita harus melihat kondisi orangtua anak tersebut.
Jika orangtua termasuk dalam kategori yang seharusnya mampu memberi makan anaknya dengan layak, dia dapat dinyatakan bersalah karena menelantarkan anak. Tetapi, jika orangtua memang tidak memiliki kemampuan, entah karena kondisi fisik maupun mentalnya, memastikan anak tidak mengalami malnutrisi adalah tanggung jawab negara.
Jika orangtua memang tidak memiliki kemampuan, entah karena kondisi fisik maupun mentalnya, memastikan anak tidak mengalami malnutrisi adalah tanggung jawab negara.
Kondisi di Asmat ini harus kita lihat orang per orang. Apakah memang semua orangtua tidak memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan gizi anaknya? Jika pemerintah melaksanakan kewajibannya, baik menyediakan fasilitas kesehatan maupun memastikan masyarakat mengaksesnya, peristiwa gizi buruk di Asmat pada 2018 tidak akan terulang lagi. Kesehatan dan kecukupan gizi serta pertumbuhan dan perkembangan anak akan terpantau rutin.
Pemerintah harus berusaha lebih cepat untuk memenuhi kecukupan kebutuhan pangan dan gizi bagi masyarakat yang tinggal di Asmat. Mungkin saat ini isu kesehatan dan kecukupan pangan bagi anak di Asmat masih dianggap sebagai masalah terpisah, tanpa dilihat lebih jauh dampaknya dari sudut pandang perlindungan anak, pendidikan, dan aspek lain.
Budaya yang menempatkan anak sebagai prioritas terakhir di Asmat harus dihentikan. Kalau biasanya ayah yang diprioritaskan mendapatkan makanan di rumah, harus ada kampanye besar untuk membalikkan kebiasaan tersebut. Anak yang paling membutuhkan asupan gizi, harus diberi kesempatan mendapatkan makanan paling awal.
Kolaborasi antara pihak-pihak yang memahami tentang ketahanan pangan, perubahan perilaku, dan perlindungan anak mutlak diperlukan di Asmat. Karena pada kenyataannya pemberian bantuan uang tunai juga tidak secara signifikan memperbaiki kondisi kecukupan gizi anak, selama sikap orangtua yang tidak memprioritaskan anak masih terus berjalan.
Selain berupaya untuk meningkatkan kapasitas para pemimpin daerah dan penyedia layanan, pemerintah juga dapat bekerja bersama berbagai organisasi di Asmat. Percepatan perbaikan kondisi kecukupan gizi di Asmat mutlak dan sangat urgen dilakukan saat ini. Menunda memperbaiki kondisi tersebut sama artinya membiarkan anak-anak Asmat semakin jauh tertinggal dibanding anak-anak lain di Indonesia, dan membiarkan mereka menjadi rentan terhadap kekerasan.
Angelina Theodora, Direktur Nasional Wahana Visi Indonesia