Transformasi SDM kesehatan tak hanya menambah produksi dan mencapai pemerataan penyebaran dokter dan tenaga kesehatan lain. Namun, menyangkut masa depan pengembangan karier dan kesejahteraan dokter dan tenaga kesehatan.
Oleh
SUKMAN TULUS PUTRA
·5 menit baca
DIDIE SW
Didie SW
Membicarakan sumber daya manusia atau SDM kesehatan selalu menarik karena secara langsung berhubungan erat dengan upaya meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan rakyat.
Hal itu sesuai dengan tujuan bernegara yang tercantum dalam UUD 1945. Kualitas pelayanan kesehatan di suatu negara tak terlepas dari ketersediaan dan kualifikasi berbagai jenis tenaga kesehatan, termasuk tenaga dokter, yang berada di beberapa tingkatan layanan kesehatan, mulai dari layanan primer sampai layanan kesehatan di fasilitas pelayanan tingkat lanjut atau rujukan.
Selain itu, transformasi SDM kesehatan juga meliputi tenaga paramedis, seperti perawat, bidan, dan tenaga teknisi kesehatan, serta tenaga kesehatan lain dengan berbagai keahlian yang juga perlu mendapat perhatian serius.
Transformasi artinya upaya untuk suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Transformasi SDM kesehatan merupakan bagian dari sederet transformasi kesehatan yang diinisiasi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sejak beberapa waktu lalu. Selain SDM kesehatan, ada transformasi layanan primer, layanan rujukan, ketahanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan teknologi kesehatan.
Selain SDM kesehatan, ada transformasi layanan primer, layanan rujukan, ketahanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan teknologi kesehatan.
Dari keenam transformasi yang ditargetkan itu, transformasi SDM kesehatan merupakan upaya sentral yang penting. Transformasi SDM kesehatan secara menyeluruh akan memberikan dampak positif terkait transformasi di bidang lain. Tentu saja harapannya akan terjadi peningkatan kualitas dan jangkauan layanan kesehatan masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan berbagai indikator kesehatan, termasuk juga peningkatan angka harapan hidup seperti di negara-negara maju.
Penuh tantangan
Untuk mencapai itu, ada berbagai tantangan yang tidak ringan. Penambahan tenaga dokter, baik dokter umum maupun spesialis-subspesialis, misalnya, tak banyak berarti jika tak disertai penyebaran yang merata ke seluruh pelosok negeri. Penyebaran tenaga dokter yang tak merata (maladistribusi) merupakan masalah kronis yang belum kunjung terselesaikan sampai hari ini.
Oleh karena itu, kita menyambut baik terbitnya surat keputusan bersama (SKB) dua menteri antara Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Menteri Kesehatan dalam upaya strategis meningkatkan produksi dokter untuk mencapai rasio satu dokter per 1.000 penduduk.
Upaya pemerataan distribusinya sangat memerlukan keterlibatan dan dukungan dari pemerintah daerah melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.
Belum lama ini Kemenkes menyatakan, Indonesia kekurangan 160.000 dokter. Apabila benar adanya, hal ini akan merupakan informasi yang sangat mengejutkan dan merisaukan untuk suatu negeri yang telah mengenyam kemerdekaan selama 77 tahun. Masih tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di negeri ini dibandingkan negara-negara ASEAN lain harus menjadi keprihatinan kita.
Peran aktif berbagai organisasi profesi sangat diperlukan dalam proses transformasi ini.
Pengertian transformasi bukan saja menambah produksi dan mencapai pemerataan penyebaran dokter dan tenaga kesehatan lain. Namun, lebih dari itu, harus menyangkut masa depan pengembangan karier dan kesejahteraan dokter dan tenaga kesehatan lain.
Sampai sekarang, misalnya, kesempatan untuk mengikuti pendidikan spesialisasi bagi dokter yang telah lama mengabdi seakan hanya dimungkinkan bagi dokter yang punya dukungan finansial cukup karena tingginya biaya masuk dan SPP setiap semester.
Didie SW
Ratusan juta rupiah harus disiapkan untuk periode pendidikan spesialis setidaknya empat tahun. Sebenarnya, dokter residen kita (PPDS) sudah lama merasa iri dengan teman sejawatnya yang belajar di negara jiran, seperti Malaysia atau Thailand. Mereka dapat gaji dan jaminan yang layak dari rumah sakit tempat mereka belajar dan bekerja, bukan justru harus membayar yang tak sedikit.
Masalah ini harus menjadi salah satu perhatian dalam upaya transformasi SDM kesehatan, khususnya dalam pembiayaan pendidikan tenaga dokter. Saya masih teringat puluhan tahun lalu ketika mendapat bantuan dana Rp 75.000 per bulan dari Kemenkes dan sama sekali tak ada kewajiban membayar SPP ketika memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan spesialisasi anak di RSCM pada awal tahun 1980-an.
Alangkah indahnya jika semua residen/PPDS yang tenaganya sangat diperlukan untuk mendukung pemerataan pelayanan kesehatan dan pendidikan di Tanah Air mendapat dukungan dana dan fasilitas memadai dari pemerintah.
Masalah ini harus menjadi salah satu perhatian dalam upaya transformasi SDM kesehatan, khususnya dalam pembiayaan pendidikan tenaga dokter.
Persaingan di era MEA
Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sering diidentikkan dengan pasar bebas saat ini, mobilisasi tenaga kesehatan, termasuk dokter dan dokter gigi, menjadi tantangan tersendiri dalam proses transformasi SDM kesehatan.
Dokter dan dokter gigi merupakan tenaga profesional yang telah disepakati dapat bekerja lintas negara, di samping tenaga profesional lain, seperti perawat, akuntan, dan insinyur, sepanjang dapat memenuhi regulasi yang ada pada setiap negara (domestic regulation).
Dengan disepakatinya tenaga kesehatan dapat bekerja lintas negara, jangan sampai semangat ”kolaborasi” tenaga kesehatan di antara negara-negara ASEAN menjadi ajang ”kompetisi” semata. Tanpa transformasi tenaga kesehatan yang berarti, bukan tidak mungkin suatu saat kita hanya akan menjadi ”tamu” di negeri sendiri.
Artinya, kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan kesehatan mutlak harus dikuasai oleh SDM kesehatan kita. Di sini transformasi teknologi kesehatan sudah jadi keharusan.
Didie SW
Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan diposisikan sebagai ”tenaga strategis” yang diharapkan akan dapat menjaga ketahanan dan kesehatan masyarakat di seluruh negeri, tak ubahnya tenaga strategis TNI dalam menjaga ketahanan dan keutuhan NKRI.
Pentingnya peran SDM kesehatan sebagai tenaga strategis telah kita rasakan selama menghadapi pandemi Covid-19 sejak awal 2020 hingga saat ini. Ratusan tenaga kesehatan telah gugur dalam menjalankan tugas selama pandemi. Perjuangan mereka merupakan perjuangan untuk menjaga ”ketahanan kesehatan” di negeri tercinta ini.
Sukman Tulus Putra, Anggota Dewan Pertimbangan PB Ikatan Dokter IDI; Ketua Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia; Komisioner KKI 2014-2020