Pendidikan Dokter Spesialis, Investasi SDM Masa Depan Bangsa
Reformasi sistem pendidikan spesialisasi harus segera dimulai agar memberikan kesempatan pada banyak anak bangsa mengenyam pendidikan spesialisasi di berbagai bidang kedokteran. Pemerintah patut menyediakan dananya.
Sistem pelayanan kesehatan suatu negara yang baik memerlukan infrastruktur layanan kesehatan memadai, selain pengadaan sumber daya manusia yang andal.
Pendidikan dokter dan dokter spesialis merupakan bagian yang teramat penting di sini karena pengadaan dokter atau dokter spesialis tak bisa instan, tetapi perlu waktu cukup lama dan biaya yang tak sedikit. Perlu setidaknya enam tahun untuk menghasilkan seorang dokter, sedangkan untuk jadi dokter spesialis di berbagai bidang keahlian perlu tambahan waktu 4-5 tahun lagi.
Artinya, jika proses pendidikannya lancar, seseorang harus menghabiskan waktu tidak kurang dari sepuluh tahun untuk menjadi seorang dokter spesialis. Yang menjadi masalah adalah untuk mengikuti pendidikan spesialis, seorang dokter harus mengeluarkan biaya yang sangat mahal, hingga ratusan juta rupiah, dari kantong sendiri. Akibatnya, hanya dokter yang punya dukungan finansial cukup yang bisa melanjutkan pendidikan spesialisasi. Dengan demikian, seleksi awal seseorang untuk menjadi dokter spesialis adalah seleksi ”finansial”, selain kemampuan akademik dan profesi.
Akibatnya, hanya dokter yang punya dukungan finansial cukup yang bisa melanjutkan pendidikan spesialisasi.
Berbiaya tinggi
Hasil analisis Kompas (29/7/2022)—data dari 12 program studi dokter di 30 perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta—menunjukkan, diperlukan Rp 388,8 juta untuk menyelesaikan jenjang sarjana kedokteran (S.Ked/S-1), belum termasuk pendidikan profesi. Bahkan untuk fakultas kedokteran (FK) di perguruan tinggi swasta (PTS), biaya yang diperlukan mencapai Rp 688,6 juta, atau Rp 88 juta per semester.
Bandingkan dengan biaya pendidikan teknik sipil, informatika, akuntansi, hukum, dan psikologi yang di kisaran Rp 100 juta-Rp 110 juta sampai lulus sarjana.
Dari peristiwa pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya tuntas dalam dua tahun terakhir ini terungkap jumlah dokter di Indonesia hanya empat per 10.000 penduduk (worldbank.org), paling rendah kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja. Bandingkan dengan Filipina yang punya 13 dokter, Malaysia 15 dokter, dan Singapura dengan 23 dokter untuk setiap 10.000 penduduk. Untuk dokter spesialis di Indonesia, jumlahnya lebih sedikit lagi. Data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) tahun 2020, ada 41.798 dokter spesialis dari sebanyak 35 jenis spesialisasi dalam bidang kedokteran.
Saat ini, untuk 270 juta penduduk hanya tersedia 1,4 dokter per 10.000 populasi. Keadaan ini lebih diperburuk oleh persebaran yang tak merata di seantero negeri. Sebagai contoh, dari 400 dokter spesialis bedah saraf di negeri ini ada 100 orang yang melayani penduduk di DKI Jakarta dan sekitarnya. Sementara di luar Jawa, rata-rata hanya ada satu ahli bedah saraf di tiap provinsi. Bahkan, ada lima provinsi yang belum memiliki spesialis bedah saraf.
Kecelakaan/cedera otak dan stroke bisa terjadi di mana pun, dan paling banyak dialami pria usia produktif. Alangkah naif dan ironis apabila korban kecelakaan harus mati atau cacat sia-sia hanya karena ketiadaan layanan dokter spesialis bedah saraf di daerah tersebut. Belum lagi kekurangan untuk spesialis lain, seperti jantung, bedah, dan spesialis anak. Untuk melayani sekitar 90 juta anak yang berumur kurang dari 18 tahun di seluruh Tanah Air, hanya ada 4.800 dokter spesialis anak. Padahal, perlu sekitar 15.000 spesialis anak (Kompas, 20/2/2021).
Memang cukup beralasan jika belum lama ini ada pernyataan dari Menteri Kesehatan bahwa Indonesia masih kekurangan banyak dokter.
Baca juga : Solusi Kekurangan Dokter
Baca juga : Mengurai Problem Kekurangan Dokter di Indonesia
Ketiadaan layanan medis spesialistis ini merupakan salah satu bentuk ketidakadilan sosial bagi rakyat di negeri ini. Menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat ini merupakan kewajiban negara, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 45, termasuk keadilan dalam menerima pelayanan kesehatan yang baik. Pada saat ini, layanan medis spesialistis itu baru bisa dinikmati oleh penduduk perkotaan, padahal pembiayaannya—berupa iuran BPJS—disubsidi oleh semua penduduk, termasuk warga di desa-desa terpencil.
Reformasi sistem pendidikan
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) adalah satu-satunya mekanisme rekrutmen yang legal dan institusional untuk menghasilkan dokter spesialis dengan standar kompetensi yang dipersyaratkan organisasi profesi dan pemerintah. Standar pendidikan dan kompetensi dokter spesialis disahkan oleh KKI yang merupakan lembaga negara.
Pemenuhan kebutuhan tenaga dokter spesialis dalam jumlah besar merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai upaya wajib menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk pemenuhan hak untuk memperoleh layanan kesehatan spesialistis. Ironisnya, banyak persoalan mendasar terkait program dan sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia belum tersentuh. Salah satunya, biaya yang sangat mahal untuk menempuh pendidikan spesialis ataupun subspesialis.
Sulit rasanya mencari negara lain di dunia ini di mana dokter yang menjadi peserta didik spesialisasi harus mengeluarkan biaya dengan jumlah begitu banyak. Di Malaysia, Thailand, Australia, dan hampir semua negara lain, para peserta program pendidikan dokter spesialis yang disebut ”residen” justru mendapat gaji yang layak dan cukup karena sejatinya mereka adalah dokter yang sudah punya kompetensi dan ”bekerja” memberikan pelayanan, selain mendapat bimbingan dan supervisi dari para senior mereka sebagai konsultan.
Reformasi sistem pendidikan spesialisasi harus segera dimulai agar dapat memberikan kesempatan pada banyak anak bangsa, untuk mengenyam pendidikan spesialisasi di berbagai bidang kedokteran. Pemerintah seyogianya memberikan dana yang cukup untuk membiayai pendidikan dokter spesialis sebagai investasi SDM masa depan.
Ada beberapa alasan mengapa reformasi sistem pendidikan spesialisasi harus segera dilakukan. Pertama, fakta bahwa pendidikan spesialisasi berbiaya mahal, dengan kewajiban membayar SPP/UKT (uang kuliah tunggal) Rp 15 juta-Rp 30 juta per semester atau Rp 150 juta-Rp 300 juta selama 4-5 tahun. Memang tak sebesar biaya untuk menghasilkan dokter umum (yang sebagian besar, bahkan sepenuhnya, masih merupakan pendidikan akademik/perkuliahan) yang Rp 388 juta-Rp 688 juta hanya untuk lulus S.Ked.
Pemerintah seyogianya memberikan dana yang cukup untuk membiayai pendidikan dokter spesialis sebagai investasi SDM masa depan.
Para mahasiswa S-1 kedokteran ini semuanya lulusan SMU, belum berkeluarga, belum hidup mandiri, dan hampir semua masih bergantung pada orangtua. Sementara para peserta didik PPDS/residen ini berusia 28-35 tahun, sudah memiliki kompetensi sebagai dokter umum, dan umumnya baru memulai kehidupan berkeluarga.
Teman sebaya mereka yang menekuni profesi lain, seperti bisnis dan teknologi, kebanyakan sudah meniti karier dengan penghasilan yang cukup untuk kehidupan berkeluarga. Program PPDS ini berlangsung penuh waktu, artinya tak memungkinkan bagi para peserta didik untuk bekerja paruh waktu sebagai dokter umum.
Hadirnya kehidupan berkeluarga, mengharuskan para peserta didik PPDS bertanggung jawab menjaga dan memenuhi kebutuhan keuangan keluarganya. Setidaknya dibutuhkan dukungan keuangan berkisar Rp 500 juta-Rp 1 miliar untuk seorang PPDS bisa survive bersama keluarganya menyelesaikan program ini. Tanpa dukungan keuangan yang kuat, tak mungkin untuk masuk dan bertahan mengikuti program spesialisasi.
Didie SW
Sebagian besar mereka memperoleh dukungan keuangan dari keluarga (orangtua/mertua). Akibatnya, tak ada kesempatan sekolah PPDS bagi mereka yang tak punya dukungan finansial meski secara akademik memenuhi syarat.
Kedua, program PPDS adalah program pendidikan profesi yang sepenuhnya berbasis magang (apprenticeship) di bawah supervisi para dokter spesialis selaku mentor (pendidik klinis). Meski statusnya sebagai peserta didik yang wajib membayar UKT, pada waktu yang sama mereka adalah tenaga kerja ”gratis” yang tak digaji karena bukan pegawai RS.
Para PPDS inilah yang menjadi ujung tombak pelayanan pasien di semua RS pendidikan. Para dokter residen/PPDS inilah yang merawat dan mengevaluasi perkembangan pasien selama 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu, sebagai kepanjangan tangan dan di bawah pengawasan para dokter spesialis selaku dokter penanggung jawab pasien (DPJP).
Status sebagai peserta didik ”program magang” ini telah menempatkan para PPDS/residen ini sebagai kelompok yang paling rentan untuk dieksploitasi tenaga dan jam kerjanya atas nama pendidikan.
Insentif yang harus diterima residen seperti yang tercantum dalam UU No 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) hampir tak pernah terjadi.
Situasi seperti ini pernah terjadi di AS 60-70 tahun lalu, tetapi saat ini seorang peserta didik PPDS memperoleh insentif setiap bulan 5.000 dollar AS di AS, 1.000 dollar AS di Brasil dan Afrika Selatan, serta 500-700 dollar AS di India dan Filipina (@pandemictalks, 9/8/2020). Mengapa di Indonesia ini tidak ada? Insentif yang harus diterima residen seperti yang tercantum dalam UU No 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok) hampir tak pernah terjadi.
Di satu sisi, kita perlu percepatan penambahan jumlah dokter spesialis, yang nantinya bersedia ditempatkan di mana pun di seantero negeri ini guna memenuhi hak rakyat untuk mendapatkan keadilan sosial berupa layanan medis spesialistis. Di sisi lain, faktanya pendidikan dokter spesialis memerlukan biaya yang amat besar, yang bukan berasal dari pemerintah, melainkan dari keluarga. Situasi ini setidaknya punya andil pada persebaran dokter spesialis yang tidak merata dan cenderung berkumpul di sekitar kota-kota besar saja, bukan di daerah perdesaan terpencil dan terluar yang sangat membutuhkan.
UU Dikdok yang sekarang dalam proses revisi, pada Pasal 8-1 menjelaskan bahwa hanya institusi pendidikan dokter dengan akreditasi A yang diperbolehkan menyelenggarakan PPDS. Saat ini, dari 95 FK, ada 17 PTN yang memiliki program PPDS, dengan jumlah peserta didik 13.355 orang (MKKI, 2020).
Didie SW
Sebagai satu-satunya proses legal untuk perekrutan tenaga dokter spesialis, PPDS adalah program pendidikan profesi yang diselenggarakan bersama oleh tiga pilar, yaitu FK sebagai pemilik prodi, RS pendidikan sebagai lahan/wahana pendidikan, dan organisasi profesi (Pasal 11 Ayat 1 dan 2). Organisasi profesi yang diwakili kolegium bidang ilmu mengatur persyaratan pembukaan prodi, persyaratan peserta didik, kurikulum pendidikan, dan menentukan kompetensi standar lulusan PPDS.
Pada Pasal 31 jelas disebutkan tentang hak-hak mahasiswa peserta didik PPDS, seperti hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam proses belajar- mengajar, hak memperoleh waktu istirahat yang cukup, dan hak memperoleh insentif di RS pendidikan atau wahana pendidikan kedokteran lainnya.
Dalam pelaksanaannya belum pernah ada aturan yang jelas terkait insentif bagi peserta didik PPDS ini. Bahkan, beberapa RS pendidikan memaknai pemberian insentif ini tidak harus berupa uang, tetapi bisa berupa fasilitas RS, seperti ruang jaga/ruang istirahat, dan konsumsi di saat jam kerja.
Semua pemangku kepentingan, baik dari Kemendikbudristek selaku pemilik program PPDS, Kementerian Kesehatan selaku pengelola RS pendidikan, maupun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi, harus duduk bersama dan mendorong para wakil rakyat di DPR untuk membuat peraturan pelaksanaan terkait hak peserta didik PPDS untuk mendapatkan insentif sebagaimana tertuang dalam Pasal 31 UU No 20/2013 yang saat ini dalam proses revisi.
Sudah waktunya sistem pendidikan dokter, khususnya dokter spesialis, di negeri ini berubah.
Walau insentif sebenarnya tak sama dengan gaji yang seharusnya diterima residen seperti yang berlaku secara global di dunia, jangan sampai fenomena nasib residen di negeri ini akan terpatri sebagai suatu ”anomali” yang wajar dalam pendidikan dokter di negeri ini.
Di bidang konsumsi dikenal berbagai bentuk subsidi langsung, seperti BBM dan listrik, kepada berbagai lapisan masyarakat. Sudah waktunya diberikan subsidi APBN untuk pendidikan dokter spesialis sebagai investasi SDM masa depan. Hasil akhirnya tak lain terlaksananya salah satu tujuan utama berdirinya negara ini, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya terkait layanan kesehatan spesialistis.
Sudah waktunya sistem pendidikan dokter, khususnya dokter spesialis, di negeri ini berubah. Sudah terlalu lama kita menganggap semua yang terjadi dan berlangsung selama ini merupakan hal yang wajar. Eksploitasi tenaga residen atas nama pendidikan harus dihentikan segera jika kita ingin sejajar dengan negara-negara lain di dunia. Tanpa reformasi, kita tidak bisa masuk dan bersaing di era globalisasi ini.
Zainal Muttaqin, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Department of Neurosurgery Rumah Sakit Dr Kariadi Semarang