Harga BBM yang Berkeadilan
Kenaikan harga BBM bersubsidi terjadi di tengah gelombang kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Pemerintah harus bisa meyakinkan publik, kenaikan harga BBM bersubsidi saat ini untuk menciptakan harga yang berkeadilan.
Awal September 2022 pemerintah secara resmi menaikkan harga eceran dua jenis bahan bakar minyak atau BBM yang selama ini mendapat subsidi harga dari pemerintah. Kedua jenis BBM itu adalah solar dan pertalite.
Solar yang sebelumnya dijual dengan harga Rp 5.150 per liter naik menjadi Rp 6.800 per liter, atau mengalami kenaikan sekitar 32 persen. Sementara pertalite yang sebelumnya dijual dengan harga Rp 7.650 per liter kini Rp 10.000 per liter atau naik sekitar 30 persen.
Kenaikan harga eceran BBM ini menjadi alternatif yang dipilih pemerintah di tengah beban fiskal yang terus bertambah. Keputusan tak populis, tetapi harus diambil jika ingin tetap memperkecil risiko fiskal dengan memperlebar ruang dan celah fiskal. Besaran anggaran subsidi dan kompensasi BBM menjadi tidak rasional di tengah harga minyak dunia yang terus melambung, nilai tukar yang bergerak liar, dan konsumsi BBM yang terus meninggi.
Baca juga : Siasat Masyarakat Hadapi Dampak Kenaikan Harga BBM
Baca juga : Polemik Kenaikan Harga BBM di Media Sosial
Langkah rasional
Tahun 2022 menjadi contoh bagaimana besaran anggaran subsidi energi harus mengalami penyesuaian dan perubahan yang sangat besar dan jauh dari nilai yang telah disusun sebelumnya. Alokasi anggaran subsidi dan kompensasi BBM, elpiji, dan listrik dalam APBN awalnya hanya Rp 152,5 triliun.
Seiring dengan naiknya harga minyak dan gas dunia yang disertai dengan melemahnya nilai tukar rupiah, anggaran dan subsidi energi untuk tahun 2022 naik signifikan menjadi Rp 502,4 triliun atau naik 229 persen dari pagu awal. Bahkan, kenaikan anggaran subsidi dan kompensasi energi ini telah menghilangkan potensi keuntungan besar yang bisa diperoleh pemerintah dari melambungnya harga komoditas minyak sawit mentah dunia.
Dalam penyusunan APBN 2023, beban subsidi dan kompensasi energi terasa semakin berat seiring dengan masih tingginya harga minyak dan gas dunia. Harga keekonomian untuk solar dan pertalite jauh di atas harga jual eceran yang ditetapkan pemerintah.
Harga keekonomian solar mencapai Rp 14.750 per liter. Jika dibandingkan dengan harga jual eceran sebelum kenaikan, selisih (gap) antara harga keekonomian dan harga jual eceran adalah 65,1 persen. Sementara harga keekonomian pertalite adalah Rp 13.150 per liter. Jika dibandingkan dengan harga jual eceran sebelum kenaikan, selisih antara harga keekonomian dan harga jual eceran adalah 41,8 persen.
Besarnya selisih antara harga keekonomian dan harga jual tersebut menjadikan kenaikan harga eceran BBM bersubsidi menjadi keniscayaan. Selisih antara harga keekonomian dan harga eceran BBM bersubsidi sudah terlampau tinggi dan menjadikan APBN mengalami kelebihan beban dengan ruang fiskal yang sangat sempit.
Celah dan ruang fiskal yang semakin sempit akibat membengkaknya anggaran subsidi dan kompensasi energi mengakibatkan risiko APBN bertambah besar. APBN akan kehilangan fungsinya sebagai peredam gelombang kejut (shock absorber) dan stabilisator ketika perekonomian mengalami guncangan yang sangat besar. Untuk menghindari peningkatan risiko tersebut, menaikkan harga jual eceran BBM bersubsidi menjadi langkah yang paling rasional.
Di sisi lain, subsidi dan kompensasi energi selama ini sebagian besar dinikmati masyarakat mampu yang seharusnya tak masuk ke dalam kelompok masyarakat penerima subsidi.
Di sisi lain, subsidi dan kompensasi energi selama ini sebagian besar dinikmati masyarakat mampu yang seharusnya tak masuk ke dalam kelompok masyarakat penerima subsidi. Sebanyak 11 persen alokasi BBM jenis solar dinikmati rumah tangga (RT) dan 89 persen dikonsumsi dunia usaha. Namun, dari total 11 persen RT penikmat subsidi, 95 persen berasal dari RT mampu dan hanya 5 persen dinikmati masyarakat miskin dari kelompok petani dan nelayan.
Hal yang sama juga terjadi pada BBM jenis pertalite. Sebanyak 86 persen alokasi pertalite dikonsumsi RT, di mana 80 persen dari RT tersebut berasal dari kelompok RT mampu. Hanya 20 persen RT miskin menikmati BBM pertalite.
Gelombang penolakan
Rasionalitas yang mendasari pemerintah menaikkan harga eceran BBM bersubsidi ternyata tak serta-merta dapat meredam gelombang penolakan publik. Kebijakan ini mengundang reaksi publik yang cukup keras. Publik merasa kenaikan harga kedua jenis BBM tidak tepat waktu dan tepat jumlah.
Kenaikan harga BBM bersubsidi terjadi di tengah gelombang kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, seperti minyak goreng, telur ayam, dan daging ayam. Kenaikan harga BBM akan semakin mendorong harga-harga kebutuhan pokok semakin tinggi.
Publik memiliki keyakinan bahwa kenaikan harga BBM dapat menimbulkan efek domino yang sangat panjang dan besar. Padahal, dalam waktu bersamaan, pendapatan masyarakat belum kembali normal seiring kinerja ekonomi yang belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemi.
Kenaikan harga BBM akan mendorong tingkat inflasi semakin tinggi dan menggerus daya beli masyarakat dalam jumlah sangat besar. Kenaikan upah minimum yang terjadi beberapa waktu lalu tidak sebanding dengan kenaikan inflasi. Oleh karena itu, publik memandang kenaikan ini terjadi pada waktu yang tidak tepat.
Selain masalah waktu yang tidak tepat, publik juga memandang kenaikan harga kedua jenis BBM tersebut terlalu tinggi. Pemerintah bisa mengurangi persentase kenaikan harga kedua jenis BBM jika pemerintah mau mengurangi tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) khusus untuk kedua jenis BBM tersebut. Namun, pengurangan PPN kedua jenis BBM ini tentunya akan mengurangi pendapatan negara dari pajak.
Selain itu, jika tujuannya hanya untuk memperlebar ruang fiskal, publik merasa pemerintah masih memiliki alternatif lain selain menaikkan harga eceran BBM. Pemerintah bisa memilih menunda beberapa program dan proyek pembangunan infrastruktur yang tidak terlalu urgen.
Pemerintah bisa menyusun kembali skala prioritas program pembangunan sehingga bisa menunda beberapa proyek pembangunan supaya tidak menaikkan harga eceran kedua jenis BBM tersebut. Pembangunan ibu kota negara (IKN) baru dan pembangunan beberapa ruas jalan tol menjadi alternatif program yang bisa ditunda karena memiliki dimensi waktu jangka panjang. Proyek pembangunan tersebut bisa dilanjutkan setelah kondisi ekonomi benar-benar pulih.
Dengan menaikkan harga eceran BBM bersubsidi, seolah-olah pemerintah ingin membebankan seluruh tanggung jawab kepada masyarakat.
Dengan menaikkan harga eceran BBM bersubsidi, seolah-olah pemerintah ingin membebankan seluruh tanggung jawab kepada masyarakat. Kewajiban alokasi dan distribusi BBM bersubsidi yang tepat sasaran yang sedianya menjadi tanggung jawab pemerintah seolah-olah dialihkan dan dibebankan kepada masyarakat.
Masyarakat seperti harus memikul tanggung jawab ketika pemerintah tidak mampu melakukan alokasi dan distribusi subsidi secara adil dan merata kepada masyarakat yang berhak. Persepsi inilah yang kemudian memicu gelombang penolakan yang cukup masif.
Kesadaran bersama
Gelombang penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi tidak akan terjadi jika pemerintah dan masyarakat memiliki kesamaan pandangan dan pemahaman terkait kebutuhan prioritas pembangunan.
Masyarakat harus percaya dan yakin bahwa pemerintah selalu menjadikan kebutuhan masyarakat sebagai prioritas utama pembangunan nasional. Kadang apa yang tampak di permukaan tak mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
Oleh karena itu, pemerintah harus bisa menjamin bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi akan dibarengi dengan program lain yang dapat menjaga daya beli masyarakat. Stabilitas harga kebutuhan pokok, program jaminan kesehatan, pendidikan murah dan berkualitas, serta program jaring pengaman sosial lainnya harus benar-benar terealisasi dengan baik dan tepat sasaran.
Pemerintah harus bisa meyakinkan publik, kenaikan harga BBM bersubsidi saat ini ditujukan untuk menciptakan harga yang berkeadilan yang tidak merugikan salah satu pihak.
Bahkan, pemerintah harus meyakinkan publik bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi ini harus dilakukan untuk kepentingan yang lebih luas, yaitu meningkatkan kualitas belanja pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Jika hal ini bisa dilakukan, gelombang penolakan bisa diredam, bahkan dihilangkan.
Agus Herta Sumarto, Dosen FEB UMB dan Ekonom Indef