Polemik Kenaikan Harga BBM di Media Sosial
Tidak ada pilihan lain, saatnya mengencangkan ikat pinggang.
Kenaikan harga BBM selalu mendapat penolakan dari masyarakat. Apalagi, narasi di media sosial kerap dibumbui provokasi berlebihan sehingga sentimen negatif makin terlihat. Opsi pengalihan subsidi BBM oleh pemerintah dianggap belum memihak pada kepentingan rakyat.
Setelah sempat terkecoh, harga bahan bakar minyak (BBM) mulai dari pertalite, solar, dan pertamax mengalami kenaikan pada Sabtu, 3 September 2022. Sebelumnya, masyarakat sempat bernapas lega karena dua hari sebelumnya pemerintah tidak jadi menaikkan harga BBM. Membengkaknya nilai subsidi energi yang mencapai Rp 502,4 triliun disebut-sebut sebagai salah penyebabnya.
Di mesin pencari Google, dua hari tersebut yaitu 1 September 2022 dan 3 September 2002, ”BBM” menjadi kata kunci yang banyak dicari pengguna internet di Indonesia. Pencarian dengan kata kunci BBM yang terekam dari Google Trends sudah terjadi sejak 31 Agustus 2022 hingga mencapai puncak tertinggi pada 1 September 2022 pukul 05.05.
Redanya pencarian dengan kata kunci BBM seiring dengan batalnya wacana pengumuman kenaikan harga BBM pada 1 September 2022. Namun, BBM kembali banyak digunakan di mesin pencari Google pada 3 September 2022 pukul 15.00. Bukan hanya di mesin pencari, kenaikan harga BBM juga memicu interaksi dan percakapan warganet Indonesia di media sosial.
Litbang Kompas melakukan pemantauan isu kenaikan harga BBM selama sepekan (29 Agustus hingga 4 September 2022) dengan pencarian query BBM dan saringan bahasa Indonesia. Hasilnya, terdapat 403.700 perbincangan terkait isu kenaikan BBM dengan 2,2 juta interaksi antarpengguna medsos. Dalam isu ini, narasi yang dimunculkan cenderung lebih banyak negatif.
Warganet sudah membicarakan wacana kenaikan harga BBM sejak 29 Agustus 2022 yang cukup banyak dipantik oleh cuitan anggota DPR Fadli Zon (@fadlizon) di Twitter. Dalam cuitannya, ia mengomentari pemberitaan daring dari tempo.co mengenai rencana Presiden Joko Widodo yang akan segera mengumumkan harga pertalite dan solar. Di hari yang sama, wacana kenaikan harga BBM telah memicu sejumlah aksi demo seperti yang terjadi di depan Gedung MPR/DPR/DPD yang berakhir ricuh.
Puncak percakapan pertama baru terjadi pada 3 September 2022, pukul 17.00-18.00. Tingginya percakapan pada waktu ini dipicu oleh dua hal. Pertama, pemberitaan media-media daring tentang kenaikan harga BBM subsidi dan nonsubsidi. Kedua, protes warganet, terutama di Twitter, yang menolak kenaikan harga BBM.
Dari siang hingga malam, isu kenaikan BBM menjadi topik paling hangat yang dibicarakan di media massa daring dan medsos. Kenaikan harga yang melebihi Rp 1.000,00 dianggap terlalu memberatkan masyarakat umum, terutama yang sehari-hari bekerja di sektor jasa transportasi. Warganet juga menyorot perbedaan antara SPBU Pertamina dan SPBU Vivo karena harga bensin Revo (merk dari Vivo) belum naik.
Perbincangan tentang SPBU Vivo yang belum menaikkan harga menjadi pemicu puncak percakapan di hari berikutnya pada pukul 11.00-14.00. Warganet sibuk mencari tahu penyebab perbedaan harga dan menyorot para pengendara yang memenuhi SPBU Vivo. Cuitan Anthony Budiawan (@AnthonyBudiawan), peneliti dari Political Economic and Policy Study (PEPS) tentang UU Antimonopoli dan tindakan Pertamina yang memerintahkan Vivo ikut menaikkan harga mendapat banyak impresi di Twitter.
Baca juga: Bersiap Menghadapi Lonjakan Inflasi dan Penurunan Laju Ekonomi
Pada malam harinya, terjadi lagi puncak percakapan berikutnya pukul 21.00-22.00. Kali ini giliran akun-akun para pemengaruh (influencers) dan pendengung (buzzer) yang mendapat panggung di medsos, khususnya Twitter. Secara umum, akun-akun ini berasal dari kelompok oposisi pemerintah dan cuitan mereka terkait isu ini rupanya menarik perhatian pengguna medsos, baik dari pihak pro maupun kontra pemerintah.
Meskipun isu tersebut menjadi sasaran empuk akun-akun oposisi, secara keseluruhan percakapan warganet tergolong natural atau alami. Mereka merasa keberatan, mempertanyakan, dan menolak kenaikan harga BBM. Melalui medsos, mereka menyuarakan pendapat mereka sambil berharap ada perubahan kebijakan dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ini.
Kritik
Dalam menyampaikan keberatan dan protes terhadap kenaikan harga BBM, perhatian warganet tertuju pada sosok RI 1. Akun Presiden Joko Widodo menjadi yang paling banyak disebut (mention) oleh warganet melalui penggunaan tagar di medsos. Dalam konteks gerakan sosial (social movement) di medsos, penggunaan tagar terbukti selalu digunakan dalam menyatukan warganet yang memiliki perhatian yang sama.
Tagar #BBM_NaikJokowiTurun digunakan sebanyak 1.500 kali oleh warganet dan menjadi tagar terpopuler di antara 100 tagar yang berhasil dikumpulkan dalam isu ini. Dalam tagar itu, banyak warganet yang menyertakan foto aksi demonstrasi mahasiswa tahun 1998 yang menduduki Gedung MPR/DPR/DPD.
Tentunya, tagar tersebut mendapat kontra narasi dari akun-akun pendukung pemerintah. Tagar #HematCermatBBM, #SolusiBLTBBM, #AlihSubsidiTepatGuna, dan #PenyaluranBLTBBM secara berurutan berada di urutan kedua hingga kelima yang paling banyak digunakan. Namun, tagar-tagar itu masih kalah jauh secara jumlah di medsos.
Lagi pula, cuitan akun-akun di Twitter yang menggunakan keempat tagar di atas cenderung seragam dengan mengunggah teks dan foto yang sama. Kemungkinan besar, akun-akun pendengung secara masif bergerak khusus di medsos untuk menaikkan keempat tagar demi melawan tagar #BBM_NaikJokowiTurun dari pihak oposisi.
Baca juga: Terbiasa Menikmati Murahnya Harga BBM Bersubsidi
Akun Twitter Presiden Jokowi (@jokowi) juga yang terpopuler dalam pantauan ini. Pasalnya, baik akun oposisi dan pendukung pemerintah menyebut (mention) akun Presiden Jokowi dalam unggahan-unggahannya. Dalam urutan lima akun terpopuler di isu ini, tiga lainnya merupakan akun-akun yang selama ini dikenal sebagai pihak oposisi pemerintah dan satu akun berasal dari media daring.
Para akun kontra kenaikan BBM itu menjadi sarana warganet untuk menyampaikan ketidaksetujuan mereka. Setidaknya ada tiga narasi yang disoroti, yaitu kritik atas kenaikan harga BBM, dukungan terhadap aksi demo, dan perbandingan harga BBM antara Indonesia dan Malaysia. Ketiga narasi ini masih terus diulang dan mendulang interaksi lanjutan dari warganet, terutama di Twitter.
Menariknya dari daftar lima akun pemengaruh (influencers) teratas, posisi pertama dan kedua dihuni oleh media daring CNN Indonesia (situs berita) dan Metro TV (Tiktok). Tiga sisanya diisi oleh akun-akun pemengaruh di Twitter yang kontra pemerintah. Pemberitaan kenaikan harga BBM memang menjadi bahan yang menarik untuk digarap sebagai konten pemberitaan oleh semua situs berita dan disampaikan di sejumlah kanal medsos.
Hal serupa juga terlihat di daftar percakapan terpopuler di media daring dan media massa. Penjelasan dari pemerintah tentang pengalihan subsidi BBM seakan ditelan oleh konten penolakan dan pemberitaan kenaikan harga BBM menjadi narasi yang dominan mengisi percakapan warganet. Bagaikan kobaran api yang telanjur menjalar, narasi pro-pemerintah justru menjadi bahan bakar yang menambah besarnya luapan api.
Aksi demo
Dalam sejarah geopolitik, gerakan sosial yang terjadi di medsos kerap menjadi pemantik gerakan massa di lapangan dan mampu membawa perubahan. Lihat saja fenomena kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (The Arab Spring), yang jika ditelusuri melibatkan peran sentral medsos sebagai medium gerakan politik. Begitu juga dengan kelompok pemuda Hong Kong yang menggunakan medsos sebagai medium mengatur gerakan protes ke pemerintah pusat China di Beijing.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia pada tahun 2019 dan 2020. Pada September 2019, terjadi aksi unjuk rasa besar yang dilakukan kelompok mahasiswa, pelajar, dan jurnalis untuk memprotes revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), dan sebagainya. Di sepanjang 2020, aksi demonstrasi besar-besaran juga terjadi untuk menentang pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.
Baca juga: Energi Fosil Mendorong Ketidakpastian Ekonomi
Kedua fenomena di atas melibatkan peran besar medsos mulai dari memunculkan wacana, kritik, hingga mengatur aksi peserta demo di lapangan. Masalahnya, semua aksi tersebut dapat dikatakan antiklimaks. Demo yang hampir selalu berakhir ricuh justru memalingkan fokus isu utamanya.
Kini, wacana dan kritik untuk kenaikan harga BBM sudah dirasa cukup untuk memantik aksi-aksi demo serupa. Pertanyaannya, mampukah kali ini aksi-aksi demo memberikan dampak bagi penurunan harga BBM yang sudah telanjur tinggi?
Untuk meredam ”tensi” yang tinggi di masyarakat itu, pemerintah perlu memikirkan langkah yang tepat mengatasi kenaikan harga BBM. Membanjiri medsos dengan narasi-narasi pro-pemerintah dengan unggahan akun-akun pendengung bukanlah solusi.
Pemerintah diharapkan juga melakukan respons cepat untuk mencegah dampak lanjutan kenaikan harga BBM seperti kenaikan harga pangan dan biaya transportasi yang semakin memberatkan rakyat. Opsi pengalihan subsidi BBM harus tetap berpaling pada kepentingan rakyat, bukan pemangku kebijakan semata. (LITBANG KOMPAS)