Siasat Masyarakat Hadapi Dampak Kenaikan Harga BBM
Muncul temuan yang menarik bahwa dari semua kelas sosial ekonomi dan pada empat komoditas bahan pokok, mayoritas responden menyatakan bahwa mereka akan tetap berbelanja seperti biasa walau harga mengalami kenaikan.
Oleh
YOHANES ADVENT KRISDAMARJATI/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi berdampak langsung pada biaya transportasi masyarakat. Selain itu, hal itu berdampak pula pada harga-harga kebutuhan pokok. Melalui jajak pendapat Kompas, ditemukan ragam siasat masyarakat untuk beradaptasi terhadap segala penyesuaian harga.
Penyesuaian harga BBM yang merembet ke harga kebutuhan pokok sehari-hari tidak selalu diimbangi dengan penyesuaian tingkat pendapatan masyarakat. Beredar meme media sosial tentang si harga BBM yang naik tetapi tidak mengajak si upah atau gaji naik juga. Bahan candaan tersebut sangat menggambarkan realitas yang terjadi di berbagai lapisan masyarakat. Dengan kondisi demikian, maka orang harus bersiasat mencukupkan penghasilannya dengan beban pengeluaran yang menggelembung.
Jajak pendapat Kompas yang dilaksanakan pada 6-9 September 2022 mengungkap beragam kiat masyarakat meredam dampak kenaikan harga BBM terhadap keuangan mereka. Biaya transportasi adalah pos belanja yang pertama perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Dari 504 responden yang tersebar di 34 provinsi, terdapat 8 dari 10 responden yang dalam kesehariannya mengandalkan sepeda motor milik pribadi untuk mobilitas. Dilihat dari jenis BBM yang dibeli, 80 persen dari pesepeda motor tersebut membeli BBM bersubsidi, yaitu jenis pertalite. Sementara itu, ada 18 persen responden yang menggunakan pertamax dan sebagian lagi membeli pertamax turbo.
Dari data tersebut bisa didapati gambaran bahwa mayoritas responden mengalami pembengkakan biaya transportasi sebesar 30 persen. Angka tersebut didapatkan dari selisih antara harga pertalite sebelum dan sesudah penyesuaian. Adapun bagi konsumen pertamax mereka menanggung kenaikan harga sebesar 16 persen. Terkait dengan kondisi tersebut, masyarakat dihadapkan pada pilihan untuk menambah alokasi belanja bahan bakar atau mengambil jalan lain.
Siasat yang dipilih oleh enam dari sepuluh responden yaitu dengan mengurangi intensitas bepergian sehingga dapat menghemat bahan bakar. Di sisi lain terdapat seperempat responden yang memilih untuk menambah anggaran biaya transportasi. Opsi lain seperti beralih ke moda transportasi umum baik yang berjenis daring dan konvensional terbilang sedikit. Hanya ada 9 persen responden yang mengambil opsi beralih ke kendaraan umum.
Kondisi ini dapat dipahami bahwa ketersediaan dan kelayakan transportasi umum di tiap daerah sangat bervariasi. Sebagai gambaran, warga yang berkomuter di wilayah metropolitan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi hanya 27 persen yang memanfaatkan transportasi umum, sisanya masih menggunakan kendaraan pribadi. Padahal, jika dilihat dari segi infrastruktur, layanan kendaraan umum di wilayah Ibu Kota dan sekitarnya terbilang mumpuni jika dibandingkan daerah lain.
Berhemat
Karena kendaraan umum tidak terlalu diminati dalam menyiasati kenaikan harga BBM, maka dua jalan keluar yang paling banyak dipilih, yaitu mengurangi intensitas bepergian dan menambah anggaran bahan bakar. Temuan menarik didapatkan ketika melihat ragam kiat yang diambil dengan kemampuan ekonomi responden.
Responden dari kalangan sosial ekonomi bawah hingga menengah ke atas bersuara sama. Mayoritas dari mereka memilih untuk melakukan efisiensi dengan mengurangi frekuensi ataupun jarak tempuh saat bepergian. Pilihan ini adalah yang dipandang paling realistis dengan kondisi saat ini mengingat nilai pengeluaran yang meningkat tidak serta-merta diimbangi dengan pendapatan yang meningkat pula.
Berbeda kondisinya dengan responden dari kelas sosial ekonomi atas. Terjadi keterbelahan sikap dalam menyiasati harga baru BBM. Sebanyak 4 dari 10 responden menyatakan bahwa mereka akan menambah alokasi belanja BBM untuk mempertahankan intensitas mobilitas sehari-hari. Di sisi lain, ada juga 43 persen responden dari kelas sosial ekonomi yang sama memilih untuk menerapkan efisiensi penggunaan bahan bakar kendaraan.
Dengan demikian, dapat diambil benang merah bahwa di setiap lapisan masyarakat, langkah pengetatan terhadap belanja bahan bakar adalah langkah paling dominan mengingat bahwa setelah penyesuaian harga BBM akan timbul gelombang kenaikan harga kebutuhan pokok yang juga perlu disiasati.
Dalam jajak pendapat ditemukan tiga siasat publik dalam bersiap menghadapi gelombang kenaikan harga. Pada level paling sulit terdapat opsi mengurangi konsumsi kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng, telur ayam, dan gula pasir. Apabila ingin tetap mengonsumsi dalam jumlah yang tetap, terdapat siasat mengganti produk dengan harga yang lebih rendah. Biasanya hal ini diikuti dengan kualitas barang yang lebih rendah pula. Pilihan ketiga, yaitu tetap berbelanja seperti biasa walau harga naik.
Muncul temuan yang menarik bahwa dari semua kelas sosial ekonomi dan pada empat komoditas bahan pokok, mayoritas responden menyatakan bahwa mereka akan tetap berbelanja seperti biasa walau harga mengalami kenaikan. Temuan ini menegaskan bahwa siasat menghemat anggaran rumah tangga lebih ditujukan pada komponen transportasi. Pilihan ini diambil sebab memenuhi kebutuhan pangan menjadi prioritas, walaupun keduanya sama-sama penting.
Dari empat komoditas pangan, beras adalah yang paling tidak bisa ditawar. Terdapat 54 persen responden yang menyatakan akan berbelanja beras dengan kualitas dan jumlah yang tetap. Sedangkan komoditas yang paling bisa dikompromi, yaitu telur ayam. Sebanyak 40 persen responden bersedia mengurangi konsumsi telur ayam ras demi berhemat.
Berhemat merupakan siasat yang paling tepat untuk menghadapi masa pergolakan ekonomi seperti saat ini. Tidak pandang bulu orang dari kalangan ekonomi bawah hingga atas melihat situasi sekarang sebagai momen untuk mengencangkan ikat pinggang. Tidak ada yang tahu pasti seberapa jauh lentingan harga pangan akan terdorong oleh kenaikan harga BBM.