Memahami Spirit Nasionalisme Soekarno Lewat Sepak Bola
Sepak bola tak sekadar olahraga yang merakyat dan terpopuler. MH Thamrin dan Soekarno memandang sepak bola sebagai alat perjuangan bagi kepentingan kebangsaan. Sepak bola dapat menggerakkan ”nationalism based on mass”.
Oleh
WIJANARTO
·6 menit baca
DIDIE SW
Didie SW
Sepak bola tak sekadar olahraga yang merakyat dan terpopuler. Di dalamnya juga menjumbuhkan panggung kepentingan politik nasional suatu bangsa. Dengan demikian, sepak bola merupakan alat perjuangan guna mewujudkan nation building. Ada baiknya menyimak perjuangan Mohammad Husni Thamrin yang menjadikan sepak bola sebagai alat perjuangan dan pemantik kebangsaan. Artikel Hendaru Tri Hanggoro, ”Perjuangan MH Thamrin Lewat Sepak Bola” (2019), menegaskan bagaimana kala itu politik rasisme berkelindan di antara klub sepak bola pribumi dan sepak bola Belanda. Melalui alat perjuangan Voetball Bond Boemipoetra (VBB), Thamrin menggelorakan sepak bola sebagai alat perjuangan kebangsaan.
Thamrin hanyalah salah satu tokoh pergerakan yang memandang artikulasi penting dari olahraga permainan sepak bola bagi kepentingan kebangsaan. Selain itu, terdapat nama Presiden Soekarno yang meletakkan dasar olahraga sebagai alat kepentingan nasional, terlebih sepak bola yang dinilainya dapat menggerakkan nationalism based on mass. Betapa pentingnya peran sepak bola dalam jargon politik Soekarno, samenbundeling van alle krachten van de natie, dibuktikan dengan pesan pidato Soekarno saat peringatan Lustrum ke-7 PSSI di Istana Negara 1965.
”Saja jakin PSSI akan tetap berada di depan dalam melaksanakan program revolusi bersama-sama ormas lainnja guna mewujudkan tiga kerangka revolusi kita.”
KOMPAS/RIZA FATHONI
Kegiatan Festival 125 Tahun MH Thamrin yang berlangsung di Stadion VIJ di kawasan Cideng, Jakarta Pusat, Sabtu (16/2/2019). Stadion VIJ yang dibangun oleh pendiri Persija, Mohammad Husni Thamrin, merupakan stadion sepak bola yang digunakan oleh klub sepak bola Hindia Belanda Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ), yang didirikan pada 1928. Klub sepak bola tersebut berganti nama menjadi Persija Jakarta pada 1950.
Dengan mengambil periode tahun 1950-1965, penulis buku ini menganalisis dinamika perkembangan politik olahraga, khususnya sepak bola. Disamping itu, juga untuk memahami tonggak-tonggak penting bagaimana suasana dekolonisasi dan perjalanan sebuah bangsa yang tetap berproses pada tatanan identitas bangsa. Khususnya saat memasuki fase Demokrasi Terpimpin, yakni ketika posisi kekuasaan Soekarno sangat kokoh di tengah meningkatnya turbulensi politik di dalam negeri dan kondisi politik internasional kala itu.
Polarisasi kekuatan Blok Barat dan Blok Timur yang mengarah pada titik Perang Dingin serta ancaman bahaya ”kuning” (dominasi RRT) menjadi penting untuk disimak, yang berpengaruh dalam dinamika internal Indonesia, termasuk arah pendulum kebijakan olahragadus kepentingan nasional.
Ketegangan politik global berpengaruh pula pada penyelenggaraan ajang olahraga. Terkait dengan ini, Soekarno menggagas hajat olahraga internasional berlabel Games of the New Emerging Forces (Ganefo) tahun 1962. Ganefo merupakan jawaban Soekarno kepada Komite Olimpiade Internasional (KOI) saat lembaga ini menjatuhkan sanksi kepada Indonesia dalam penyelenggaraan Asian Games 1962, yang tidak mengundang Israel dan Taiwan yang bersifat politis. Sanksi pun dijatuhkan dengan tidak memperbolehkan Indonesia mengikuti Olimpiade Musim Panas di Tokyo, Jepang, 1964.
IPPHOS
Upacara pembukaan Ganefo I di Stadion Utama Senayan, Jakarta, Kamis (10/11/1963).
Ganefo merupakan ajang negara-negara yang disebut Soekarno sebagai New Emerging Forces (Nefo) untuk melawan kekuatan Old Emerging Forces (Oldefo). Tak bisa dimungkiri, situasi demikian berpengaruh pada dinamika politik dalam negeri Indonesia. Indonesia membutuhkan simpatik dan membentuk opini internasional dalam melakukan politik diplomasi melalui lini mana pun. Tanpa terkecuali olahraga, khususnya sepak bola.
Warisan olahraga permainan kolonial
Untuk memahami konteks substansi buku ini, Bayu Aji menguraikan asal muasal dikenalnya sepak bola di Hindia Belanda (Indonesia). Perkumpulan sepak bola pertama di Hindia Belanda, berdiri 28 September 1893 dengan nama Bataviasche Cricket Football Club Rod Wit. Memasuki awal abad XX telah berdiri klub-klub sepak bola di kota-kota besar, seperti West Java Voetbal Bond (Batavia), Soerabajasche Voetbal Bond (Surabaya), Bandoeng Voetbal Bond (Bandung) dan Semarang Voetbal Bond (Semarang).
Perkembangan selanjutnya ialah terbentuknya asosiasi persatuan sepak bola yang mewadahi klub-klub sepak bola yang dalam kenyataannya didasarkan pada etnik atau ras. Di antaranya Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang mewadahi klub-klub sepak bola Belanda, Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB), yang beranggotakan klub-klub sepak bola peranakan Tionghoa. Sementara warga pribumi mendirikan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI).
YOHANES KRISNAWAN
Foto salah satu bagian buku Politik Nasionalisme Sepak Bola Indonesia: Era Soekarno 1950-1965 (Kendi, 2022: 208-209)
PSSI didukung oleh beberapa klub sepak bola yang tersebar di beberapa kota, di antaranya Jakarta Indonesische Voetbal, Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond, Persatoean Sepakbola Mataram Yogyakarta, Voerlandsche Voetbal Solo, Madioensche Voetbal Bond, Indonesische Voetbalbond Magelang, dan Soerabajasche Indoneische Voetbalbond.
Tanggal 19 April 1930 resmi berdiri PSSI dengan ketua terpilih Soeratin (hlm 38). Soeratin identik dengan perjuangan MH Thamrin soal pandangan sepak bola dapat menjadi alat perjuangan rakyat dan sebagai pengejawentahan momentum Sumpah Pemuda soal entitas kebangsaan (hlm 39). Dari semangat alat perjuangan itulah, Soeratin melawan superioritas Barat, sepadan melawan bagaimana NIVB dengan tegas melarang anggotanya melakukan pertandingan atau berkumpul dengan inlander (hlm 37).
Soekarno dan gelegar nasionalisme sepak bola
Pentingnya sepak bola sebagai panggung dan alat perjuangan politik digelorakan kembali Soekarno. Bahkan, dengan tegas Soekarno menyatakan, olahraga didasarkan pada landasan revolusi, Manipol dan Usdek sebagai pilar perjuangan politik. Ia meyakini olahraga dan sepak bola khususnya menjadi basis pembentukan dan penerapan nasionalisme serta para olahragawan merepresentasikan wakil-wakil bangsa dan negara (hlm 108). Saat dikeluarkan dari keanggotaan Komite Olimpiade Internasional, Soekarno menanggapi melalui pernyataan politiknya, ”sports has something to do with politics, Indonesia proposes now to mix sports with politics” (hlm 109).
KOMPAS/ PRIYOMBODO
Suporter Indonesia yang hadir di Stadion Shah Alam, Selangor, Malaysia, untuk mendukung Timnas sepak bola Indonesia U-22 saat menghadapi tuan rumah Malaysia di semi final SEA Games Kuala Lumpur, Malaysia, Sabtu (27/8/2017).
Namun, kita ketahui propaganda Soekarno melalui dunia olahraga khususnya sepak bola sejalan dengan sikap plus garis politiknya. Melalui sepak bola pun Soekarno mendekatkan haluan Poros Indonesia-Eropa Timur, seperti yang dilakukan melalui titian muhibah pertandingan persahabatan PSSI ke negara-negara Eropa Timur. Titian muhibah itu berlangsung dari 15 Agustus 1956 hingga 26 September 1956. Beberapa negara Eropa Timur yang disinggahi antara lain Rusia, Yugoslavia, Chekoslovakia, dan Jerman Timur. Selain itu, Indonesia pernah mendatangkan pelatih dari Yugoslavia, Tony Pogacnik ,menguatkan relasi hubungan diplomatik dan sikap politik Soekarno dengan pimpinan kharismatik Yugoslavia, Joseph Broz Tito.
Sepak bola memang menjadikan dunia antusias sekaligus mengintegrasikan serta melampaui batas-batas geografis kenegaraan walaupun dalam beberapa hal menimbulkan ironi, seperti sentimentalis sikap hooligan para supporter dan persoalan rasisme. Seperti yang diungkapkan studi Franklin Foer yang telah diterjemahkan, Memahami Dunia Lewat Sepakbola (2017) pada kasus antisemitisme yang terjadi pada klub-klub sepak bola Eropa tahun 1936.
Rivalitas, kontestasi, fair play, dan prestise membuat sepak bola tak hanya dipahami sebagai olahraga belaka. Pada perspektif inilah Soekarno dengan jenial memainkan pentas politik dengan jurus yang membuat panggung olah raga layaknya gimmick politik. Melalui buku ini, pembaca diberikan pengayaan soal strategisnya dunia olahraga, khususnya sepak bola pada penguatan sikap nasionalisme dan citra Indonesia di pentas politik internasional.
Soekarno meneruskan perlawanan yang telah dilakukan MH Thamrin, Tan Malaka, dan Sjahrir yang sama-sama mencintai dunia sepak bola dengan sentuhan yang berbeda.
Alhasil, buku yang semula merupakan kajian tesis pada pascasarjana UGM Yogyakarta ini menawarkan eksplorasi kajian historiografi (penulisan sejarah) olahraga yang bersinggung dengan dinamika sosial politik. Tesis olahraga mampu menggerakkan identitas kebangsaan dan penguatan nasionalisme telah dibuktikan oleh Soekarno. Gelanggang olahraga dimainkan Soekarno sebagai gimmick politiknya di jalur panggung internasional di tengah-tengah politik perkubuan Blok Barat dengan Blok Timur.
Soekarno meneruskan perlawanan yang telah dilakukan MH Thamrin, Tan Malaka, dan Sjahrir yang sama-sama mencintai dunia sepak bola dengan sentuhan yang berbeda. Daya gugah itu ia buktikan dengan menggelar acara olahraga ”olimpiade tandingan” Ganefo yang diikuti sejumlah negara New Emerging Forces atau yang kemudian dinamakan kawasan Nonblok.
(Wijanarto, penulis, bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes)
YOHANES KRISNAWAN
Sampul buku Politik Nasionalisme Sepak Bola Indonesia: Era Soekarno 1950-1965 (Kendi, 2022)
Judul Buku: Politik Nasionalisme Sepak Bola Indonesia Era Soekarno 1950-1965