Semesta Kegelapan Calonarang
Rasanya pertunjukan ini hadir di saat yang tepat di Jakarta. Kisah-kisah perilaku horor dari orang-orang yang seharusnya menegakkan hukum seperti tak pernah berkesudahan.
Calonarang tak pernah mati. Sosoknya yang seram hampir setiap saat mengintimidasi. Bahkan, sampai kini dia hidup sebagai memori kolektif orang Bali. Ia menyusup ke dalam struktur batin paling jauh dan membentuk semesta kegelapan. Itulah konon dunia leak, dunia yang diwarnai segala ilmu sihir; dunia yang mencabik-cabik ”realitas” kedamaian dan ketenteraman kita.
Barangkali inilah yang menyebabkan, setiap kali mendengar kata ”calonarang”, tubuhku selalu bergetar hebat. Kata ini ibarat mantra sakti, yang sering kali melambungkan ingatanku pada sebentuk teater yang pernah digelar Bapak di sebuah situs pabrik minyak kelapa terbengkalai. Hanya sekitar 200 meter dari rumah kami.
Waktu itu kira-kira di fase akhir tahun 1970-an. Aku masih duduk di bangku SMP. Entah mengapa, Bapak suka sekali menggambar sosok Rangda, yang menakutkan itu. Ia tak hanya menggambarnya di kertas, yang nantinya dijadikan poster pertunjukan teater Calonarang, tetapi juga di dinding papan pembatas antara kuda dan badan dokar kami. Karena lukisan itu membelakangi ekor kuda dan berada di sisi dalam, para penumpang dokar dengan sangat mudah bisa melihatnya. Seperti biasa, Ibu yang pertama-tama protes.
”Ini kan buat penumpang, kenapa menggambar Rangda, jadi serem, kok ndak pemandangan yang sejuk aja dilukis,” protes Ibu.
Ayah bergeming. Ia sudah memutuskan untuk menggambar Rangda.
”Biar takutnya hilang,” kata Bapak pendek.
”Kamu, Putu, takut ndak kalau lihat ini?” tanya Ibu kepadaku.
Setelah sejenak kaget oleh pertanyaan Ibu, dengan tergagap-gagap aku menjawab singkat, ”Sedikit….”
”Tuh, anakmu saja takut. Sudah hapus saja…,” tambah Ibu setengah memerintah.
Bapak telanjur ngeloyor pergi. Sore itu ia ada sangkep di banjar, semacam rembug desa, untuk membahas perihal renovasi Pura Dalem. Pura ini juga letaknya tak jauh dari rumah kami. Ia terletak di salah satu sudut perempatan, yang jaraknya hanya 50 meter dari rumah. Kalau terus menyusur ke timur, sekitar 100 meter, akan bertemu perempatan lainnya, sebelum tiba di pekuburan desa.
Sebagai upaya menggali dana untuk renovasi Pura Dalem, para pucuk pimpinan banjar sepakat menggelar pentas amal: drama gong dari Desa Yeh Kuning dengan lakon Calonarang. Sekadar tahu, pilihan lakon ini berhubungan dengan keberadaan Pura Dalem, sebagai tempat suci untuk memuja Dewa Siwa dalam manifestasinya sebagai Dewi Durga.
Dalam kepercayaan Durga Sraya, yang dianut oleh Sekte Durga, Dewi Uma telah dikutuk oleh suaminya sendiri Dewa Siwa, dalam wujud menakutkan sebagai Durga dan menghuni Setra Gandamayu. (Nah, untuk ini, kau mesti baca novelku berjudul: Gandamayu, yang telah pula dipentaskan oleh Teater Garasi tahun 2012 di Gedung Kesenian Jakarta).
Durga adalah dewi kegelapan, yang dipuja oleh Calonarang dan para penghayat ilmu sihir, seperti leak. Dalam praktik ritual keseharian, sosok Rangda sebagai representasi Durga juga dipuja oleh kebanyakan masyarakat di Bali bagian tengah dan timur, seperti Denpasar, Gianyar, Klungkung, dan Karangasem. Rangda bahkan distanakan (ditempatkan dalam ruang suci) di gedong penyimpanan yang disakralkan. Sosok ini dipuja masyarakat karena dipercaya sebagai pelindung desa dari segala mara bahaya, termasuk wabah.
Kepercayaan, sebagaimana juga agama, selalu menyisakan absurditas yang tak mudah dicerna secara logika biasa. Ia dogmatis, tetapi dianut secara keras kepala. Pertanyaan seperti, bagaimana mungkin Rangda dipuja oleh masyarakat banjar, sementara dalam waktu bersamaan dia juga ”distigma” sebagai perempuan perusak tatanan desa, tak mudah dijawab. Dalam babakan kisah Calonarang, seperti juga yang dipentaskan oleh Titimangsa dalam Sudamala, dari Epilog Calonarang, 10-11 September 2022 di Gedung Arsip Nasional RI, Calonarang tetap ditempatkan sebagai perempuan berperangai jahat.
Kelakuannya dengan menebar wabah, yang membuat sebagian besar rakyat di Kerajaan Daha (Kadiri) mati mendadak dilihat sebagai perbuatan bejat yang tak termaafkan. Raja Airlangga, yang memerintah Kadiri pada abad ke-12, memberi sabda Mpu Bharadah untuk membasmi Calonarang. Mpu Bharadah kemudian meminta Mpu Bahula, muridnya, untuk mengatur siasat dan mencuri pustaka rahasia yang membuat Calonarang sakti mandraguna.
Cuplikan kisah ini, senantiasa menempatkan Calonarang dalam posisi ”termarjinalkan”. Ia diberi julukan ”Walu Nateng Dirah” atau Janda dari Dirah, yang jahat dan mengancam keamanan rakyat. Posisinya sebagai musuh kerajaan membuat Bharadah sebagai pengemban ”kebaikan” dengan jemawa ingin memusnahkan Calonarang bersama seluruh sisya atau muridnya.
Bapak memang akhirnya berhasil menggelar drama gong Calonarang di bekas pabrik minyak bernama Sumber Urip itu. Desa pun berhasil pula merenovasi Pura Dalem, sebagaimana wujudnya seperti sekarang. Akan tetapi, ada hal yang menggantung bagi kami sekeluarga. Seusai pentas, Bapak sakit keras selama berbulan-bulan. Di Negara, kota kecil kami, belum banyak dokter, bahkan belum ada dokter spesialis. Meski sempat dirawat di rumah sakit, para dokter menyerah alias tak pernah bisa mendiagnosis penyakit Bapak. Terkadang ia mengeluh sakit kepala, terkadang pula sakit perut, tetapi selama itu kaki dan tangannya lumpuh.
Suatu malam di bulan ketiga, Bapak mengerang dengan keras. Ia bangkit seperti kesurupan, lalu menari seperti tarian tokoh Rangda. Sebagai remaja kemarin sore, aku ketakutan minta ampun. Ibu juga terlihat gugup, tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Dalam serba ketakutan itu, kami menangkap potongan-potongan kalimat dari Bapak, yang kira-kira bermakna, ”Kalau mau sembuh, tebus nyawa di bekas pabrik….”
Pagi harinya, Ibu bergegas membuat banten (sesaji) penebus dan kemudian dihaturkan di sebuah tempat suci kecil yang berlokasi di dinding belakang pabrik. Kami semua tak pernah menduga ada tempat suci, yang hanya terbuat dari kayu kasar yang diikat di dinding seng pembatas area pabrik. Setelah itu, kami juga bergegas menghaturkan sesaji guru piduka di Pura Dalem. Upacara ini tak lain semacam ritual permohonan maaf kepada Dewa Siwa, sebagai penguasa semesta kegelapan, atas segala kesalahan dan kesedihan yang telah terjadi.
Tak lama setelah itu, Bapak sembuh total. Ia kemudian bercerita bahwa sewaktu pergelaran drama gong Calonarang di bekas pabrik yang kosong itu, ia telah menggadaikan nyawanya kepada Bhtari Durga di Pura Dalem, lewat tempat suci di belakang. Semua itu ia lakukan untuk membantu para aktor Calonarang, yang kelabakan menghadapi serangan leak dari pesisir Pantai Sanur.
Baca Juga: Calon Arang Diadaptasi Jadi Pertunjukan Seni di Jakarta
Dalam babakan pentas Calonarang di Bali, hampir selalu disertai dengan ngundang leak. Pada babak ini para aktor teater dengan sengaja mengundang para ahli sihir dari seluruh negeri untuk mencoba kehebatannya. Apabila kesaktiannya belum bisa melampaui para pengundang, yang memosisikan diri sebagai penganut ilmu putih, maka ilmu hitam para leak itu harus dimusnahkan. Saat itu, kata Bapak, ratusan penyihir datang dari Sanur berupa api yang menyala-nyala di sekitar arena pentas. Waktu itu, Sanur memang terkenal sebagai wilayah yang dihuni oleh para leak sakti.
”Kalau tidak ditolong, pasti ada yang mati di panggung,” kata Bapak.
Kalimat ini membuatku bergidik. Selama pertunjukan aku duduk dekat sekali dengan panggung pertunjukan. Bisa kulihat dengan jelas bagaimana para aktor menjadi kebal, tak mempan oleh senjata. Mereka sepenuhnya berada dalam suasana trance setelah diberi sentuhan gaib oleh Barong (Banaspati) sebagai representasi dari Dewa Siwa.
Meski sudah bernuansa hiburan karena dikemas dalam struktur dramatik yang sesuai dengan kebutuhan pentas untuk publik awam, drama gong Calonarang dari Yeh Kuning tak pernah meninggalkan elemen-elemen ritualistik. Oleh sebab itu, pentas itu tetap memberi aura yang sakral, yang dipenuhi oleh berseliwerannya mantra-mantra sakti.
Pentas ini sebenarnya turunan dari apa yang pernah dipentaskan di Paris, Perancis, tahun 1931 ketika gelaran Exposition Coloniale Internationale de Paris. Saat itu, anjungan pemerintah kolonial Belanda yang menguasai tanah jajahan Hindia Belanda, antara lain, membawa teater Calonarang dari Bali. Belanda bahkan membangun anjungannya dengan candi bentar (gapura) dan meru, yang menyerupai tempat suci di Bali.
Para peneliti kemudian menganggap, inilah pertama kalinya kebudayaan Bali mengalami komodifikasi. Elemen-elemen ritual yang tadinya bernuansa sakral, seperti candi bentar, meru, dan teater Calonarang, ”direkayasa” untuk menjadi bagian sebuah ekspo dagang untuk mempromosikan tanah jajahan sebagai surga dari Timur. Bahkan, julukan-julukan, seperti Bali the Last Paradise atau Bali the Island of God, muncul setelah ekspo besar-besaran di Paris itu.
Para peneliti kemudian menganggap, inilah pertama kalinya kebudayaan Bali mengalami komodifikasi.
Hal yang di luar ekspektasi, dramawan terkemuka Perancis, Antonin Artaud, kemudian melahirkan karya seperti No More Masterpieces dan The Theatre and Plague. Kedua karya ini dianggap sebagai karya Artaud setelah terinspirasi oleh pertunjukan Calonarang di Paris. Artaud bahkan kemudian melahirkan teori teater yang disebut sebagai ”The Theater of Cruelty” atau Teater Kekejaman. Ia merespons tentang mitos, ritual, dan tubuh sebagai perjuangan melawan diskriminasi terhadap bahasa. Bahasa dalam tataran teks selama ini telah menjajah tubuh sehingga tidak bebas mengekspresikan dirinya.
Spirit ritual dalam teater Calonarang ditafsir Artaud sebagai proses penyembuhan dari segala trauma, yang telah diperoleh lewat perjalanan dan pengalaman hidup yang panjang. Sardono W Kusumo juga melakukan hal serupa dengan menciptakan Dongeng dari Dirah, yang juga pernah dipentaskan di Paris. Karya ini kemudian melahirkan penari penuh bakat, seperti Tapa Sudana dan I Ketut Rina. Keduanya kini mengembangkan bentuk teaternya sendiri-sendiri.
Pentas yang disutradarai Jero Mangku Serongga (I Made Mertanadi), seorang penari dan pemimpin umat di Bali, mengambil babak akhir dari kisah Calonarang yang panjang. Pada bagian epilog Calonarang, tokoh sentral kisah ini bertarung habis-habisan dengan Mpu Bharadah. Keduanya saling memperlihatkan kesaktian masing-masing. Di situlah, ajaran tentang rwa binneda memperoleh tempatnya yang paling kokoh. Orang Bali selalu berada dalam ketegangan, hitam dan putih, baik dan buruk, kanan dan kiri, untuk memperoleh harmoni.
Calonarang tidak benar-benar dilenyapkan dari bumi, tetapi diparisudha atau diruwat agar menjadi baik. Kunci pentas yang diproduseri Happy Salma dan Nicholas Saputra ini ada pada kata ”suddhamala”, yang bermakna pembersihan diri dari unsur-unsur kotor. Teminologi ini memang bisa membingungkan. Sebab, suddhamala sangat identik dengan kisah carangan dalam babakan epos Mahabharata. Dalam berbagai lontar, termasuk novel Gandamayu, kisah sudamala, membeber tentang ruwatan terhadap Dewi Durga kembali menjadi Dewi Uma, yang telah dikutuk Dewa Siwa dan menghuni Setra Gandamayu. Peruwatnya tak lain adalah ksatria bungsu Pandawa, Sahadewa.
Baca Juga: ”Ghosting” dan Amukan Calon Arang
Upaya mengembalikan Sudamala kepada otoritas teks sedikit banyak memang tampak berseberangan dengan apa yang telah dilakukan Artaud pada 1930-an di Eropa. Namun, apa pun itu, sampai kini Calonarang tetap dipercaya sebagai teks sastra yang menjadi sumber dari pembersihan pikiran dan batin manusia. Jika kau melihat para penari onying menusuk-nusuk tubuh mereka dengan keris, itu pertanda mereka menusuk memori buruk dan gelap, yang selama ini telah menghuni tataran paling dalam dari struktur kejiwaan mereka.
Rasanya pertunjukan ini hadir di saat yang tepat di Jakarta. Kisah-kisah perilaku horor dari orang-orang yang seharusnya menegakkan hukum seperti tak pernah berkesudahan. Siapa yang bisa menjamin kasus perilaku horor polisi seperti yang dilakukan Ferdy Sambo akan segera berakhir? Oleh sebab itu, senantiasa harus ada perimbangan lewat sastra agar unsur-unsur yang membentuk kosmos berada dalam tatanan yang harmoni.