“Ghosting” dan Amukan Calon Arang
Dalam kisah Calon Arang terdapat peristiwa "ghosting" bahkan sampai berulang dua kali. Belakangan soal "ghosting" muncul kembali. Biasanya, kalau kisah itu berupa tautan asmara "an sich" maka ia akan reda seturut waktu.

Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas
Kecantikan Ratna Manggali mengalahkan mawar yang sedang mekar. Selain kulitnya yang bersih, harum tubuhnya semerbak meruntuhkan hati para lelaki. Putri semata wayang Calon Arang dari Desa Girah ini, pernah sekali berpacaran dengan seorang pemuda desa.
Entah kenapa, setelah hubungan terjalin beberapa tahun, pemuda desa itu menghilang tanpa pesan. Perempuan yang sedang ranum itu, seperti mengulangi kisah ibundanya. Keduanya disergap angin ghosting yang membuat mereka terlunta-lunta dan sakit hati.
Dulu Calon Arang ditinggal pergi begitu saja oleh Mpu Kuturan, suaminya yang lebih memilih menyebarkan agama ke Bali. Kepergian Kuturan menuju arah Timur dari Kerajaan Daha di Jawa Timur, benar-benar meninggalkan luka yang dalam.
Orang yang dianggap suci itu, tanpa diduga meninggalkan Calon Arang tanpa kejelasan hubungan di antara mereka. Sejak kepergian suaminya, Calon Arang mengasuh Ratna Manggali seorang diri, dan sejak itu pulalah ia dicap sebagai janda penyihir berhati keji.
Orang yang dianggap suci itu, tanpa diduga meninggalkan Calon Arang tanpa kejelasan hubungan di antara mereka.
Kenyataan pahit itu kini seperti “terwariskan” pada Ratna Manggali. Perempuan berambut panjang dengan bulu mata lentik itu, frustrasi selama berhari-hari. Kecantikannya pelan-pelan memudar, karena ia jadi malas mengurus diri. Tak ada guna lagi menunjukkan kecantikan, ketika tak seorang pun peduli, apalagi memberi harapan untuk hidup bersama.
Sebagai ibu yang bijak, Calon Arang mencoba mencari tahu lewat para muridnya, mengapa si pemuda desa itu pergi tanpa pesan. Isu yang beredar sungguh membuatnya terkejut, lelaki yang dia pikir akan menjadi pendamping hidup putrinya itu, konon takut jika Ratna Manggali menjadi seperti ibunya.

Pentas drama tari "Calon Arang" oleh Sanggar Gita Lestari di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (21/7/2001). Cerita Calon Arang berlatar zaman Kerajaan Kediri yang bertemakan pertentangan kejahatan melawan kebaikan.
Desas-desus beredar, kalau Calon Arang adalah penyihir terkejam di Tanah Jawa. Ilmu pengeleakan (ilmu hitam) yang ia miliki sangat menakutkan, bisa membunuh siapa pun. Balian (dukun) paling sakti pun takkan mampu menandinginya.
Sejak peristiwa itu, tak seorang lelaki pun berani mendekati Ratna Manggali. Ibunya, janda tua bertubuh bongkok dengan wajah tirus dan rambut putih terurai, menjadi sosok yang amat mengerikan. Situasi ini membuat Calon Arang semakin geram, kemarahannya kepada rakyat Desa Girah makin memuncak.
Suatu malam bersama para muridnya ia menghadap Dewi Durga di kuburan. Calon Arang ingin minta restu kepada Durga untuk menebar wabah ke seluruh desa.
Baca juga: Meditasi Semesta
“Apa yang kau inginkan?” tanya Dewi Durga.
“Aku ingin membalaskan sakit hati,” jawab Calon Arang.
“Apa yang membuatmu sakit hati, anakku?”
“Tak seorang pemuda pun berani mendekati Ratna Manggali. Aku khawatir ia jadi perawan tua.”
“Itu sajakah yang membuatmu sakit hati?”
“Tentu tidak, Ibu…”
“Apalagi anakku?”
“Aku menjanda sejak suamiku pergi tanpa pesan. Ya aku memang janda, tetapi apakah dengan begitu bisa dianggap selalu membuat masalah?”
“Tak mudah menjadi orang terkutuk seperti diriku di kuburan ini,” ujar Dewi Durga.
“Izinkan aku menebar wabah ke seluruh Daha untuk membalaskan sakit hatiku,” pinta Calon Arang.

Pentas Calonarang yang menggabungkan tari bedaya dari Jawa yang dimainkan kelompok tari Padnecwara dan legong dari Bali pimpinan Ayu Bulantrisna Djelantik (kini almarhumah) mendapat sambutan meriah dan antusias dari 1.000 penonton yang memadati Esplanade Theater, Singapura, hari Sabtu (10/2/2007).
Dalam sekejap, Calon Arang dan para muridnya, menggelar ritual ngereh di area kuburan. Ngereh tak lain adalah membaca mantra-mantra hitam untuk menebar teluh kepada orang-orang yang dibenci.
Biasanya, para murid atau sisya, menari dengan menengkleng (berjingkat-jingkat) dengan wajah mereka ditutup kain putih bertuliskan rerajahan (huruf-huruf berisi mantra).
Kalau kau ingin memastikan seperti apa ritual ini, suatu hari sempatkan menyaksikan pertunjukan lakon Calon Arang di Bali. Pertunjukan itu biasanya dilengkapi dengan mengundang leak (siluman perempuan) dari seluruh negeri.
Baca juga: Biyang Bulan Meniti Misteri
Inilah adegan yang paling ditunggu, sekaligus paling mengerikan. Seorang aktor (biasanya dukun) di panggung akan mengintip dan menangkap para leak yang sedang ngereh. Lalu akan ditanya, siapakah yang berubah menjadi siluman leak malam itu.
Desaku pernah heboh, ketika Bapak bersama perangkat Desa Lelateng mengundang drama gong Calon Arang dari Yeh Kuning untuk pentas di bekas pabrik minyak dekat rumahku. Pada adegan penangkapan para leak, muncullah nama dua orang perempuan di seberang rumah kami.
Perempuan pertama sudah tua, sering dipanggil Dadong dan perempuan lainnya lebih muda bernama Nyoman, yang tak lain adalah keponakannya. Dua perempuan ini lebih dikenal sebagai pedagang jajan tradisional Bali. Aku termasuk yang sering ke rumahnya pagi-pagi untuk membeli jajan laklak (sejenis serabi yang ditaburi parutan kelapa dan gula merah).

Penari membawakan tarian Bali pada pementasan sendratari Calonarang di Pura Samuan Tiga, Gianyar, Bali, 2016.
Penyebutan dua nama perempuan itu membuat gaduh seisi desa. Mereka serentak menjauhi rumah Dadong dan Nyoman. Ujung-ujungnya tak ada seorang pun yang berani membeli kue, termasuk aku.
Ibuku selalu bilang, jangan pernah lagi membeli kue pada Dadong, “Kau bisa dileakin nanti.” Aku sama sekali tak menduga akhir kisah pentas panggung akan berujung pada pengucilan secara sosial terhadap Dadong dan Nyoman.
Calon Arang dan Ratna Manggali mengalami kisah serupa. Dalam naskah Calon Arang yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof Dr Poerbatjaraka (1926), Calon Arang hidup saat pemerintahan Raja Airlangga di Daha (1006-1042) Masehi, keduanya “dikucilkan” oleh penduduk Desa Girah. Mereka dicap sebagai penyihir berwajah mengerikan dengan hati yang bengis.
Baca juga: Kontroversi Kiblat Sebuah Kota
Suatu hari satu per satu penduduk Girah terserang wabah aneh. Mereka yang tadinya menguburkan sanak saudaranya di pagi hari, pada sore hari merekalah yang ganti dikuburkan. Banyak penduduk mengalami demam dan muntah-muntah, kemudian berselang beberapa jam mereka ditemukan sudah tak bernyawa lagi. Kenyataan ini membuat Desa Girah mencekam, sampai kemudian didengar oleh Airlangga.
Raja yang kemudian dikenal melahirkan silsilah raja-raja besar di Singosari dan Majapahit ini, tak berdaya menghadapi kesaktian Calon Arang. Wabah bahkan kini tak hanya melanda Desa Girah. Penduduk di ibukota Kerajaan Daha pun mulai dilanda kecemasan dan panik. Dalam waktu singkat, kota Daha mencekam, mayat-mayat bergelimpangan di jalan, selokan, atau rumah-rumah penduduk.
Kisah tentang wabah besar yang melanda Kerajaan Daha ini dianggap sebagai catatan pertama mengenai wabah penyakit. Meski tidak serta merta bisa dianggap sebagai kebenaran faktual, karena naskah Calon Arang, digolongkan ke dalam cerita rakyat yang seringkali dicap “fiktif”, tetapi setidaknya dia menjadi petunjuk awal bahwa pada suatu massa telah dikenal yang namanya wabah. Pada masa itu sudah muncul sebutan seperti pageblug atau gerubug di Jawa dan Bali.

Ilustrasi dokter tengah memeriksa urin dan nadi pasien penyakit pes dalam kondisi masyarakat diserang wabah pes pada abad ke-15.
Sejarah mencatat, wabah pes pertama terjadi 541-542 Masehi yang melanda Kekaisaran Bizantium dan kota-kota pelabuhan Mediterania. Tak kurang dari 30-50 juta manusia tewas atau sekitar 10 persen dari populasi Konstantinopel. Wabah yang sama kemudian merajarela di Eropa antara 1346-1353, yang dikenal dengan sebutan black death. Wabah pes ini telah menyebabkan 25 juta jiwa meninggal dunia di tiga benua sekligus: Eropa, Asia, dan Afrika.
Rupanya pada abad ke-11 sampai ke-12 di Jawa telah dikenal pula wabah penyakit, meskipun dengan tudingan yang berbeda. Jika di Eropa para budak yang hidup di lingkungan kumuh dituduh menjadi penyebab wabah pes, di Daha perempuan janda dikambinghitamkan menjadi penyebab kematian yang beruntun-runtun.
Bukan tidak mungkin tudingan kepada Calon Arang sesungguhnya hanyalah pengalihan isu dari ketidakmampuan kerajaan mengendalikan wabah yang meluluh-lantakkan kehidupan rakyat. Buktinya, Airlangga akhirnya meminta tolong kepada Mpu Baradah, yang tak lain adalah adik dari Mpu Kuturan, suami Calon Arang.
Baca juga: Lawar Penawar Lapar
Pada akhirnya konspirasi politiklah yang “mengalahkan” Calon Arang. Mpu Baradah mengirim anaknya Bahula, untuk menyunting sepupunya, Ratna Manggali. Pernikahan hanyalah alasan untuk menemukan kelemahan Calon Arang.
Karena kisah ini berbau mitologis, maka sekarang kita menerimanya sebagai cerita fiktif belaka. Intinya, bukan pemecahan penyebab terjadinya wabah, tetapi pertarungan sekte kepercayaan yang hidup di masa pemerintah Airlangga. Raja Daha, dan kemudian Kediri itu, cenderungan menganut Waisnawa, di mana Dewa Wisnu menjadi dewa utamanya.
Airlangga bahkan dianggap sebagai raja-dewa, Wisnu yang menjelma ke dunia. Dalam publikasi yang beredar senantiasa menampakkan Airlangga sedang duduk di punggung Garuda, sebagaimana juga menjadi ciri utama Dewa Wisnu.

Sebuah adegan dalam Barong Telek dari Kabupaten Klungkung, yang disuguhkan pada Pesta Kesenian Bali XIV. Adegan ini menggambarkan para dewata turun dengan topeng putih dengan tujuan menghalau wabah yang disebarkan Dewi Durga.
Sementara itu, sekte besar lain yang berkembang saat itu adalah Bhairawa, yang menjadikan Dewi Durga sebagai dewi utamanya. Para penganut sekte ini sebagian besar adalah perempuan, seperti Calon Arang dan para muridnya.
Persaingan ini, tidak berujung pada dominasi satu terhadap yang lainnya. Ia bermuara pada ajaran rwa bhineda, dua yang selalu berbeda, tetapi selalu bersama-sama untuk mewujudkan harmoni.
Pada akhir kisah, Calon Arang tidak dibunuh melainkan disomya oleh Mpu Baradah, disucikan agar memiliki sifat-sifat kebaikan. Bukankah hal yang sama juga terjadi pada Dewi Durga?
Kau harus membaca novelku Gandamayu (2012), di mana Durga diruwat oleh Siwa melalui Sahadewa untuk menjadi dewi cantik rupawan, Dewi Uma dan kembali hidup di Kahyangan. Meski demikian, bukan berarti Dewi Durga lantas lenyap. Ia tetap menjadi penguasa kuburan sebagaimana kini dianut oleh seluruh masyarakat Hindu di Bali.
Bahwa dalam kisah Calon Arang terdapat peristiwa ghosting, sampai berulang dua kali, demikianlah selalu jika kita memasuki kisah kasih asmara. Jika dalam beberapa pekan terakhir soal-soal ghosting itu mencuat kembali, terutama dalam penceritaan di dunia media sosial, dia menjadi perulangan dari kisah-kisah lama yang pernah menimpa manusia di masa lalu.
Biasanya, kalau kisah itu berupa tautan asmara an sich, tanpa pertarungan dominasi sekte atau ideologi, maka ia akan reda seturut waktu. Kisah Kuturan dengan Calon Arang, tak pernah kita tahu kelanjutannya.

Penari membawakan tarian Bali pada pementasan sendratari Calonarang di Pura Samuan Tiga, Gianyar, Bali, 2016.
Keduanya memilih jalan berbeda, walaupun dua-duanya meninggalkan ajaran-ajaran yang dianut oleh para pengikutnya sampai kini. Kuturan dikenang jasanya karena dialah yang pertama-tama menegakkan nilai-nilai kehinduan di Bali.
Jadi, di mana kebaikan dan keburukan itu berumah? Jawabnya, di hati kita masing-masing.
Sementara Calon Arang, dicatat karena telah “bersedia” menjadi kutub lain dari kebaikan. Ia secara sadar menjerumuskan dirinya sebagai penganut ilmi pengeleakan, yang diturunkan oleh Dewi Durga. Bukankah Durga, tak lain representasi dari Dewa Siwa?
Jadi, di mana kebaikan dan keburukan itu berumah? Jawabnya, di hati kita masing-masing. Mari mulai hari ini kita periksa, keburukan apa yang saja telah kita lakukan, agar di kemudian hari kita bisa mereparasinya menjadi kebaikan!