Memajukan pilkada serentak 2024 dari semula November menjadi September 2024 yang diwacanakan Ketua KPU relevan untuk memuluskan stabilitas demokrasi nasional dan daerah.
Oleh
AGUS RIEWANTO
·5 menit baca
Belum lama ini, Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari mewacanakan agar pilkada serentak 2024, baik di level kota, kabupaten, maupun provinsi, dimajukan ke September 2024 (Kompas, 25/8/2022).
Sesuai ketentuan Pasal 201 Ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, Pilkada 2024 digelar pada November 2024. Kesepakatan informal antara KPU, pemerintah, dan DPR pada 24 Januari lalu pun menyetujui Pilkada 2024 diselenggarakan pada 27 November 2024. Tak pelak lagi, wacana yang dilontarkan Ketua KPU mendapat respons beragam dari elite politik tak terkecuali Komisi II DPR menolaknya (Kompas, 31/8/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Gagasan memajukan Pilkada 2024 ini menarik dan penting untuk dielaborasi lebih dalam karena menyangkut upaya penyempurnaan agenda ketatanegaraan, terutama terkait dengan berjalannya pemerintahan pusat yang stabil dan pemerintahan daerah yang efektif. Sebagaimana dinyatakan Aurel Croissant (2002) dalam Election and Politics in Southeas and East Asia, salah satu tujuan pemilu adalah kemampuan memerintah (governability) dan membentuk pemerintahan yang efektif dan stabilitas politik.
Jika tetap dilaksanakan pada November 2024, pilkada akan berpotensi menganggu sejumlah agenda ketatanegaraan serta gagal mewujudkan pemerintahan yang efektif dan stabilitas politik. Argumentasi perspektif hukum tata negara berikut ini akan menjelaskannya.
Menghilangkan makna keserentakan
Pertama, jika pilkada serentak 2024 tetap dilaksanakan pada November 2024, maka berpotensi menghilangkan makna ”keserentakan” pergantian kepala daerah. Ini karena tujuan pilkada serentak adalah mewujudkan pergantian kepala daerah secara serentak, bukan serentak dalam waktu pemungutan suara saja. Seharusnya pergantian kepala daerah yang terpilih pada pilkada serentak 2017, 2018, dan 2020 itu pada Desember 2024.
Itulah sebabnya mengapa kepala daerah yang terpilih dalam durasi itu ada yang dimundurkan, dimajukan, dan digantikan dengan penjabat kepala daerah, semata-mata untuk mengejar keserentakan pergantiannya. Namun, agenda ini sirna jika hasil pilkada November 2024 digugat oleh para pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena terjadi perselisihan hasil penghitungan KPU dengan calon yang kalah dalam pilkada. Pelantikan calon terpilih harus menunggu putusan MK.
Tujuan pilkada serentak adalah mewujudkan pergantian kepala daerah secara serentak, bukan serentak dalam waktu pemungutan suara saja.
Konsekuensinya pun berbeda, ada yang harus pemungutan suara ulang di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) dan penghitungan suara ulang di seluruh atau sebagian TPS, tentu saja memakan waktu hingga Februari 2025. Maka, kepala daerah terpilih baru bisa dilantik pada Maret 2025. Sirnalah harapan untuk pelantikan serentak kepala daerah pada 31 Desember 2024.
Pemerintah pusat tak stabil
Kedua, berpotensi mengganggu stabilitas pemerintah pusat sebab pada 20 Otober 2024 presiden dan wakil presiden hasil Pemilu 2024 baru satu bulan dilantik. Maka, otomatis baru sebulan menjalankan pemerintahan barunya. Belum tentu dalam sebulan itu presiden terpilih telah selesai membentuk susunan kabinet berikut mengisi jabatan-jabatan strategis lainnya, seperti kapolri, panglima TNI, dan para pemimpin di lembaga nonstruktual lainnya.
Sangat berisiko menyerahkan aneka konflik pilkada serentak November 2024 kepada presiden baru yang pemerintahannya belum berjalan efektif. Padahal, berdasar pengalaman pilkada serentak sebelumnya (2017, 2018, 2020), diperlukan ”campur tangan” pemerintah pusat dalam mengurai aneka eskalasi konflik politik dan turunannya akibat kompetisi pilkada yang keras di beberapa daerah yang rawan konflik.
Kerja parlemen terganggu
Ketiga, berpotensi mengganggu konsentrasi kerja anggota DPR dan DPD karena baru dilantik pada 1 Oktober 2024. Sementara pada September 2024 anggota DPRD provinsi dilantik dan Agustus 2024 anggota DPRD kabupaten/kota dilantik. Artinya, jika pilkada serentak tetap dilaksanakan pada November 2024, dipastikan akan merugikan elite partai politik yang akan mencalonkan kader terbaiknya yang biasanya merupakan anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota karena baru sebulan menjabat.
Jika hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah, harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Sebaliknya, jika pilkada serentak pada 24 September 2024, maka para anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi yang mencalonkan diri dalam pilkada masih berstatus calon terpilih anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi sehingga tak perlu mengundurkan diri dari jabatannya.
Wacana memajukan pilkada serentak 2024 dari semula November menjadi September 2024 relevan untuk memuluskan stabilitas demokrasi nasional dan daerah.
Bahkan, jika tak terpilih dalam pilkada, dapat tetap dilantik menjadi anggota DPR dan DPD pada 1 Oktober 2024 dan menjadi DPRD provinsi pada September 2024. Terlalu berisiko jika parlemen nasional dan lokal baru satu bulan bekerja harus diminta menyiapkan agenda politik pada pilkada serentak November 2024.
Oleh karena itu, wacana memajukan pilkada serentak 2024 dari semula November menjadi September 2024 relevan untuk memuluskan stabilitas demokrasi nasional dan daerah. Dengan kata lain, kepandaian mengolah dan menetapkan waktu pemilu dapat menjadi instrumen penting dalam menjaga keajegan agenda ketatanegaraan dan jalannya pemerintahan efektif.
Perppu dan formula baru
Mewujudkan wacana ini masih memerlukan instrumen dengan mengubah norma Pasal 201 Ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, padahal DPR dan pemerintah telah bersepakat untuk tak mengubah UU Pilkada. Maka, menerbitkan peraturan pemerintah penggati undang-undang (perpu) dapat menjadi solusi alternatif.
Lebih dari itu, beban kerja penyelengagara pemilu (KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan KPPS) akan bertambah ekstra berat karena harus mampu melaksanakan tahapan Pemilu 2024 dan pilkada serentak 2024 yang beririsan dan berimpitan. Maka, diperlukan aneka strategi dan formula yang tepat, terutama kebesaran hati dan kesepakatan antarelite politik (DPR, pemerintah, dan KPU) untuk mewujudkan agenda memajukan waktu pelaksanaan pilkada serentak ini demi stabilitas agenda kenegaraan.
Agus Riewanto, Assosiate Professor Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret dan Ketua Departemen Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Admnistrasi Negara Indonesia (APHTN-HAN)