Beban Generasi ”Sandwich” dan Peluang Bonus Demografi
Generasi ”sandwich” adalah kondisi tak ideal yang laten. Beban generasi ”sandwich” bisa jadi salah satu penghambat dalam optimalisasi peluang bonus demografi, selain secara langsung akan berdampak pada kualitas manusia.
Hasil jajak pendapat Kompas terkait beban berat generasi sandwich menarik untuk dicermati.
Dari definisi, generasi sandwich sering diasosiasikan dengan kelompok usia dewasa yang harus menanggung hidup tiga generasi, yaitu orangtuanya, diri sendiri, dan anaknya. Dalam realitasnya, tak jarang mereka juga harus menanggung hidup anggota keluarga besar lainnya, seperti saudara.
Jika dikaitkan dengan konteks bonus demografi, beban generasi sandwich bisa jadi salah satu penghambat dalam optimalisasi peluang bonus demografi, selain secara langsung akan berdampak pada kualitas manusia Indonesia. Di satu sisi, mereka ada pada kelompok usia produktif, tetapi di sisi lain mereka dapat terhambat menjadi produktif karena beban yang harus ditanggung.
Situasi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan sosial seperti yang disampaikan pada hasil jajak pendapat Litbang Kompas 2022, di mana kelompok terbesar ada pada kelompok ekonomi menengah bawah. Dampak besar beban generasi sandwich juga dapat dirasakan pada kehidupan sosial yang berat, seperti tingkat stres yang tinggi, yang kemudian dapat mengganggu produktivitas dari mereka yang ada di usia produktif.
Baca juga : Potret Generasi ”Sandwich” sebagai Tumpuan Hidup Keluarga
Baca juga : Beban Berat Generasi ”Sandwich”
Gambaran demografi
Terdapat beberapa indikator demografi yang dapat digunakan untuk mendekati gambaran generasi sandwich di Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk berusia 20-54 tahun yang merepresentasikan generasi sandwich ini mencapai 71.621.318 jiwa atau 26,5 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Penduduk rentang usia ini merupakan tulang punggung dari usia produktif di Indonesia.
Dilihat dari latar belakang pendidikan, berdasarkan data nasional, sebesar 10,8 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas tahun 2022 adalah tamatan perguruan tinggi. Tamatan SLTA 30,4 persen dan SMP 21,7 persen. Selebihnya, tamatan SD/tidak tamat SD.
Terkait preferensi menikah, dapat didekati dari data penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut status perkawinan sejak 2016 hingga 2018. Penduduk dengan status kawin pada 2016 sebesar 59,12 persen, kemudian meningkat menjadi 59,24 persen pada 2017, pada 2018 menjadi 59,49 persen. Dari data ini tak terlihat penurunan preferensi menikah bagi penduduk Indonesia.
Hal ini dimungkinkan karena adanya kepercayaan di masyarakat bahwa menikah bukanlah sebuah beban. Misalnya, kepercayaan bahwa setiap anak akan memiliki rezeki masing-masing. Lingkungan masyarakat turut mendorong budaya merasa malu jika tidak cepat-cepat mendapat jodoh.
Menurut BPS, rata-rata jumlah anggota rumah tangga (RT) tahun 2019 adalah empat orang. Dengan anggota RT sebanyak ini, dimungkinkan bagi generasi sandwich untuk kemudian menanggung kehidupan orangtua.
Kerentanan generasi sandwich terutama perlu dicermati pada kelompok kepala RT perempuan. Generasi sandwich yang berperan sebagai kepala RT akan memiliki persoalan lebih besar. Walaupun tidak dapat ditunjukkan dalam kelompok usia, jumlah kepala RT perempuan bisa memberikan gambaran. Menurut data BPS 2021, jumlah kepala RT perempuan sebesar 14,38 persen.
Menjaga keseimbangan beberapa faktor penting menjadi kunci untuk kita agar mampu memanfaatkan bonus demografi ini sebagai aset dan bukan justru menjadi beban.
Rasio ketergantungan
Indonesia sedang dalam perjalanan menyongsong Indonesia Emas sampai tahun 2045. Perjalanan dengan sebuah anugerah, yaitu bonus demografi. Bonus demografi adalah kondisi di mana penduduk yang berusia produktif lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif. Menjaga keseimbangan beberapa faktor penting menjadi kunci untuk kita agar mampu memanfaatkan bonus demografi ini sebagai aset dan bukan justru menjadi beban.
Jika tidak disikapi dan disiapkan dengan baik, bonus demografi dapat menimbulkan kesenjangan dan berdampak pada kemiskinan. Kondisi ini, misalnya, bisa muncul karena ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan lapangan pekerjaan yang tersedia, jumlah pangan dan nutrisi, serta kesempatan menempuh pendidikan yang tidak merata.
Bonus demografi dapat dilihat dari angka rasio ketergantungan (dependency ratio). Rasio ketergantungan adalah perbandingan antara jumlah penduduk umur 0-14 tahun, ditambah jumlah penduduk 65 tahun ke atas—keduanya disebut ”bukan angkatan kerja”—dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun atau angkatan kerja.
Menurut data BPS, angka rasio ketergantungan pada 2020 adalah 47,7 persen. Artinya, 100 penduduk usia produktif akan menanggung 48 penduduk usia tidak produktif. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2020, proyeksi rasio ketergantungan pada 2025 adalah sebesar 47,2 persen, kemudian turun menjadi 46,9 persen pada 2030, dan naik lagi menjadi 47,3 persen pada 2035.
Rasio ketergantungan sampai 2035 merupakan sebuah peluang besar untuk produktivitas yang lebih tinggi dari penduduk Indonesia. Namun, peluang besar dari bonus demografi dapat terhambat oleh besarnya beban generasi sandwich. Tingkat produktivitas yang diharapkan dari bonus demografi bisa tertahan oleh berbagai masalah yang muncul dari dampak beban generasi sandwich.
Kearifan lokal dan budaya kekeluargaan
Indonesia memiliki kearifan lokal dan budaya kekeluargaan yang kuat. Konteks kehadiran anak dan orangtua, bahkan sanak saudara, dalam sebuah keluarga masih dirasakan bukan sebagai beban, melainkan justru anugerah dan kebahagiaan.
Budaya menghormati orangtua dan membalas jasa/berbakti menjadi nilai yang dianut dan diajarkan sejak kecil. Orangtua memiliki posisi lebih tinggi dan dihormati dalam keluarga.
Dalam berbagai tradisi dan budaya di Nusantara, orangtua masih mengambil peran besar bagi kehidupan anak-anaknya. Ini jadi karakteristik tersendiri bagi generasi sandwich kita. Kondisi ini juga terkonfirmasi pada jajak pendapat Litbang Kompas yang menyebutkan responden tak keberatan mengurus orangtua.
Konteks kehadiran anak dan orangtua, bahkan sanak saudara, dalam sebuah keluarga masih dirasakan bukan sebagai beban, tapi justru anugerah dan kebahagiaan.
Pilar penopang
Terlepas dari budaya dan kearifan lokal tersebut, penting untuk mencermati situasi yang dihadapi generasi sandwich di Indonesia. Meski dampak psikis dari beban yang ditanggung mungkin tak terlalu terlihat, secara kesejahteraan, generasi sandwich perlu ditopang. Hal ini untuk mengupayakan kualitas hidup penduduk Indonesia yang lebih tinggi.
Generasi sandwich adalah kondisi tak ideal yang laten. Tak langsung terlihat dengan jelas, tetapi dapat menjadi pendorong munculnya masalah lain.
Memutus rantai persoalan generasi sandwich akan mengurangi potensi permasalahan sekaligus bisa mendorong peluang positif bonus demografi. Dengan usia produktif yang meningkat, diharapkan sebuah lompatan besar dalam pembangunan dan kemajuan bisa dicapai. Namun, beban berat generasi sandwich menjadi penghambat terwujudnya SDM berkualitas yang seharusnya terbentuk saat berlangsungnya bonus demografi.
Mengupayakan putusnya rantai generasi sandwich sekaligus menjaga kualitas SDM menjadi penting di sini. Memutus rantai generasi sandwich ini menjadi tanggung jawab bersama, baik individu, keluarga, masyarakat, maupun pemerintah. Individu dan keluarga membutuhkan lingkungan yang mendukung agar mampu keluar dari beban yang ada.
Bagi masyarakat, membangun solidaritas dan kekuatan sosial penting untuk dilakukan. Pemerintah sendiri membutuhkan penajaman atas program pembangunan yang dilaksanakan.
Dari sisi individu dan lingkungan keluarga, perlu dibangkitkan pemahaman bahwa beban generasi sandwich merupakan kondisi yang harus segera dituntaskan. Perubahan pandangan dan pemahaman terhadap pola hidup, pola asuh, dan kekuatan untuk jadi kreatif dalam mencari sumber pendapatan diharapkan bisa membantu generasi sandwich keluar dari jepitan berat. Pola hidup tak konsumtif, tak terjebak tren hidup yang tak sesuai kondisi, dan mengelola kebutuhan dengan baik menjadi penting.
Bagi pemerintah, generasi sandwich adalah salah satu titik sasaran yang harus dijangkau dalam proses pembangunan. Memutus rantai generasi sandwich penting untuk mengurangi problem sosial, seperti kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan rendah. Perhatian pemerintah terhadap pelayanan bagi lansia, khususnya di bidang kesehatan, sudah cukup membantu mengurangi beban bagi generasi sandwich.
Beban generasi sandwich juga dapat berkurang jika ada dukungan dari pemerintah pada anak-anak yang ditanggung, seperti bidang kesehatan, pendidikan. Beasiswa khusus bagi anak dari keluarga generasi sandwich dapat diprioritaskan. Program-program pemberdayaan ekonomi dapat pula ditujukan pada mereka agar mampu memiliki sumber penghasilan lebih baik. Generasi sandwich dari kelompok ekonomi menengah ke bawah harus jadi prioritas.
Margaretha Ari Anggorowati, Dosen Politeknik Statistika STIS