Potret Generasi ”Sandwich” sebagai Tumpuan Hidup Keluarga
Generasi ”sandwich” menjadi tumpuan hidup orangtua, saudara kandung, hingga keluarganya. Hal ini mendorong pengorbanan lebih besar dengan menyisihkan pendapatan hingga melakukan pekerjaan tambahan.
Oleh
Debora Laksmi Indraswari
·6 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Para pekerja berhamburan keluar dari Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, menuju tempat kerja masing-masing, Jumat (19/11/2021). Tidak sedikit para pekerja di Jakarta adalah generasi sandwich, Yyitu mereka yang harus bekerja untuk menghidupi keluarga dan di waktu bersamaan harus menopang ekonomi orangtua.
Generasi sandwich memikul tanggung jawab besar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sekaligus keperluan hidup keluarga besarnya. Berbagai strategi pun dilakukan untuk memenuhi seluruh kebutuhan itu. Kendati demikian, strategi jangka panjang juga perlu dipersiapkan demi memutus rantai generasi sandwich.
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep generasi sandwich mulai dikenal masyarakat khususnya kaum milenial dan generasi Z. Media sosial dan para influencer membuatnya menjadi lebih populer dari sebelumnya. Tentunya karena kondisi generasi sandwich ini relevan dengan situasi sehari-hari masyarakat.
Hal itu diperkuat dengan hasil jajak pendapat Kompas pada 9-11 Agustus 2022 kepada 504 responden di 34 provinsi di Indonesia. Dari data tersebut ditemukan 67 persen responden yang termasuk dalam generasi sandwich. Uniknya, kelompok responden generasi sandwich ini tersebar pada generasi Z hingga baby boomers. Selain itu, terjadi pada berbagai tingkatan kelompok ekonomi mulai yang terbawah hingga tertinggi. Artinya, kondisi generasi sandwich ini cukup umum dialami masyarakat.
Generasi sandwich merupakan kelompok usia produktif yang terimpit dua tanggung jawab utama, yaitu menanggung kebutuhan orangtua dan membesarkan anak-anak mereka. Tidak jarang pula tanggung jawab itu melebar hingga harus merawat dan memenuhi kebutuhan keluarga besarnya, seperti saudara kandung, kakek, nenek, paman, bibi, hingga ponakan.
Gambaran seperti roti lapis sandwich itulah yang sangat cocok menggambarkan kelompok generasi yang terimpit dua tanggung jawab generasi sebelum dan sesudahnya. Konsep tentang generasi sandwich sebenarnya sudah dikenal sejak 1981 dalam artikel jurnal yang ditulis Elaine Brody dan Dorothy Miller. Dalam artikelnya, Miller menyoroti tekanan yang harus dihadapi generasi itu.
Di Indonesia sendiri, keberadaan generasi sandwich bukanlah hal yang baru. Dalam konteks budaya, agama, dan sosial masyarakat, konsep generasi sandwich ini sebenarnya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Memberikan bantuan ekonomi untuk orangtua, saudara kandung, dan keluarga besar dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. Bahkan, di sebagian kalangan masyarakat menjadi sebuah kewajiban. Rasa balas budi dan berbakti kepada orangtua karena sudah membesarkan dan merawatnya mendorong generasi sandwich untuk memberikan bantuan ekonomi kepada orangtua dan keluarga besar.
Oleh sebab itu, dalam percakapan tentang generasi sandwich di media sosial, respons masyarakat khususnya yang termasuk dalam kelompok generasi sandwich terbelah. Ada yang merasa hal itu bukan menjadi masalah karena alasan moral. Sebagian lagi ada yang merasa terbebani karena hal itu membuatnya harus mengorbankan pendapatan, pekerjaan, hingga mimpi-mimpinya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Bantuan ekonomi
Dua sudut pandang tersebut tidak perlu dipertentangkan karena nyatanya generasi sandwich menjalankan ”tanggung jawabnya” kepada keluarga. Hal ini dapat dilihat dari pola dan kebiasaan memberi bantuan ekonomi kepada orangtua, saudara kandung, dan anggota keluarga besar lainnya seperti yang terekam dalam hasil jajakpPendapat Kompas.
Dari hasil jajak pendapat ditemukan bahwa responden generasi sandwich ternyata tidak hanya membantu satu pihak saja. Sebanyak 28,1 persen membantu dua pihak, bahkan 43,8 persen membantu tiga pihak. Sisanya, sebanyak 28,1 persen, membantu satu pihak saja. Data ini menunjukkan bahwa para generasi sandwich memikul tanggung jawab besar atas keluarga besarnya.
Orangtua memang menjadi pihak utama yang dibantu oleh generasi sandwich. Namun, ada hampir separuh responden yang mengaku masih memberi bantuan ekonomi untuk saudara kandung dan anggota keluarga lainnya, seperti kakek-nenek, paman-bibi, sepupu, dan keponakan.
Dilihat dari nilai bantuan ekonomi yang diberikan, mayoritas memberikan kurang dari Rp 1 juta. Seperempat responden generasi sandwich memberikan bantuan berkisar Rp 1 juta-Rp 3 juta. Sebanyak 3 persen responden memberikan lebih dari Rp 3 juta.
Ike Noorhayati Hamdan, seorang financial planner atau perencana keuangan, bekerja dari tempat usaha suaminya di bilangan Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/11/2021). Ike tertarik belajar menjadi perencana keuangan karena dulu mesti akrobatik mengatur keuangan keluarga, termasuk menyokong orangtua dan membiayai adiknya. Kini sebagian besar klien Ike adalah generasi sandwich yang memiliki persoalan yang kurang lebih sama yang dia alami dulu.
Meski secara nilai relatif tidak besar, bisa jadi sewaktu-waktu permintaan bantuan uang dari pihak keluarga besar dapat membebani perekonomian generasi sandwich. Responden generasi sandwich paling sering memberikan bantuan ekonomi ketika ada permintaan atau sesuai kebutuhan keluarga besarnya. Namun, ada pula yang sudah rutin memberikan bantuan ekonomi setiap bulannya.
Secara umum, bantuan berupa uang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, seperti pangan, listrik, air, dan bahan bakar. Selain itu, kebutuhan keluarga yang perlu ditanggung generasi sandwich adalah biaya pendidikan dan biaya kesehatan. Secara khusus, generasi sandwich sangat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan mendadak, seperti ketika terjadi kondisi darurat seperti sakit, kecelakaan, atau bencana.
Strategi
Menyadari akan tanggung jawab besar itu, para generasi sandwich setidaknya harus berkorban lebih banyak lagi guna mencukupi kebutuhan keluarga besar dan keluarga intinya. Pengorbanan tersebut juga menjadi strategi khusus agar semua kebutuhan itu tercukupi.
Salah satu strateginya, mayoritas responden mengatur keuangan pribadinya untuk memenuhi berbagai kebutuhan itu. Sebanyak 41,7 persen responden menyisihkan pendapatannya, khusus untuk membiayai kebutuhan keluarga besar. Dana yang disisihkan ini biasanya sudah dianggarkan khusus dan diberikan rutin setiap bulan. Ada pula yang menyimpan dana khusus ini sebagai bagian dana darurat untuk berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ada kebutuhan mendadak.
Selain itu, sebesar 18,5 persen responden bertahan dengan menekan atau mengurangi pengeluaran pribadinya. Sebanyak 3 dari 10 responden generasi sandwich berusaha menambah pendapatannya dengan mengerjakan pekerjaan sampingan.
Namun, tidak sedikit pula yang tidak memiliki strategi khusus. Sebanyak 19,9 persen responden generasi sandwich tidak memiliki rencana tertentu untuk memenuhi kebutuhan keluarga inti dan keluarga besarnya. Hal demikian diungkapkan secara mayoritas oleh responden dari kelas ekonomi bawah dan menengah bawah.
Melihat kondisi perekonomian yang sangat terbatas, kelompok ini sulit untuk mengatur pendapatan untuk berbagai kebutuhan. Jangankan untuk menyisihkan pendapatan, terkadang untuk memenuhi kebutuhan hari ini saja masih sangat sulit. Apalagi, mayoritas bekerja pada sektor informal yang pendapatannya tidak menentu. Uang yang didapat seadanya langsung digunakan untuk kebutuhan yang paling mendesak.
Bagaimanapun, beragam upaya telah dilakukan oleh generasi sandwich untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga besarnya bahkan hingga mengorbankan kebutuhannya sendiri. Lelah, penat, stres, dan depresi tidak jarang dialami generasi terimpit ini karena beratnya tanggung jawab yang harus ditanggung.
Situasi tersebut memang tidak dapat dihindari. Berlangsung terus dan turun-temurun. Namun, generasi sandwich saat ini dapat secara perlahan merencanakan masa depannya agar hal itu tidak terjadi lagi pada generasi berikutnya. Sebab, fenomena generasi sandwich ini saling berkaitan antargenerasi. Apabila satu generasi tidak memiliki persiapan matang untuk hari tuanya, generasi berikutnya yang akan menanggung semuanya.
Kondisi tersebut sangat nyata terjadi di Indonesia. Seperti disebutkan dalam Statistik Penduduk Lanjut Usia 2021, sumber pembiayaan terbesar rumah tangga lansia berasal dari anggota rumah tangga yang bekerja. Hal ini terjadi pada 79,4 persen rumah tangga lansia. Hanya 5,48 persen rumah tangga yang mengandalkan dana pensiun dan 0,6 persen rumah tangga yang menggunakan dana dari investasi untuk membiayai hidup sehari-harinya.
Data tersebut menunjukkan sangat sedikit rumah tangga lansia yang mampu memenuhi kebutuhannya tanpa harus bergantung pada kelompok usia produktif. Inilah yang membuat generasi sandwich berlangsung turun-temurun.
Oleh karena itu, perencanaan finansial untuk hari tua menjadi penting agar tidak membebani generasi selanjutnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mulai menyisihkan pendapatan untuk dana pensiun. Bentuknya bisa beragam, mulai dari tabungan, aset, atau berbagai jenis investasi. Persiapan juga dapat dilakukan dengan mengikuti asuransi kesehatan baik untuk diri sendiri maupun anggota keluarga lainnya. Sebab, biaya kesehatan termasuk dalam pembiayaan terbesar yang harus dibayarkan generasi sandwich. (LITBANG KOMPAS)