Beban Berat Generasi ”Sandwich”
Sebanyak 56 juta warga Indonesia di usia produktif tergolong generasi ”sandwich”. Mereka mesti menghidupi anak sekaligus menopang kebutuhan generasi di atasnya.
JAKARTA, KOMPAS — Posisi generasi sandwich sebagai tulang punggung keluarga menempatkan mereka dalam tekanan dan impitan. Di satu sisi, mereka mesti memikul kebutuhan keluarganya, di sisi lain harus ikut menopang kehidupan generasi di atasnya, terutama orangtua. Sebagian dari mereka juga mesti membantu menutupi kebutuhan saudara kandung dan keluarga besar lainnya.
Dalam banyak kasus, mereka harus bekerja ekstrakeras tanpa memiliki ruang untuk merancang masa depan keluarganya sendiri yang lebih sejahtera.
Potret generasi sandwich Indonesia tertangkap dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 9-11 Agustus 2022 kepada 504 responden di 34 provinsi. Hasil jajak pendapat menunjukkan, 67 persen responden mengaku menanggung beban sebagai generasi sandwich. Jika diproporsikan dengan populasi usia produktif di Indonesia yang berjumlah 206 juta jiwa, diperkirakan ada 56 juta jiwa yang masuk kategori generasi sandwich.
Dari sisi usia, generasi sandwich Indonesia tersebar di semua generasi, mulai generasi Z, Y, X, dan baby boomers. Namun, proporsi terbesar ada di kelompok generasi Y (24-39 tahun), yakni 43,6 persen, diikuti generasi X (40-55 tahun) sebesar 32,6 persen. Generasi sandwich juga ditemukan sebesar 16,3 persen di kalangan generasi Z (kurang dari 24 tahun) yang merupakan pekerja muda.
Secara status sosial ekonomi generasi sandwich Indonesia paling banyak ditemukan pada kelas menengah-bawah, yakni 44,8 persen. Diikuti kelas bawah 36,2 persen. Bantuan ekonomi yang diberikan kepada keluarga besar umumnya untuk memenuhi kebutuhan pokok, yakni makan dan minum.
Baca juga: Akrobatik Generasi ”Sandwich”
Potret generasi sandwich ini, antara lain, ada pada diri Dedi Ardila (28) yang sehari-hari bekerja sebagai office boy alih daya di sebuah perusahaan di Jakarta dengan gaji Rp 4,4 juta. Setiap bulan ia mesti menyisihkan Rp 2,5 juta dari gajinya untuk kebutuhan makan sehari-hari enam orang di rumahnya, yakni istri dan anak, kedua mertua, kakak ipar, dan dirinya sendiri. Sisa gajinya dia pakai untuk membayar setoran ke perusahaan penyalur tenaga kerja alih daya, biaya transportasi dari rumah ke kantor, dan kebutuhan lainnya.
”Saya juga menyisihkan Rp 200.000 untuk orangtua saya. Pernah suatu ketika orangtua meminta uang Rp 500.000 untuk menebus gadai sepeda motornya. Uang bulanan saya langsung habis,” kisah Dedi, Senin (5/9/2022). Ketika ia kehabisan uang, Dedi terpaksa berutang kepada karyawan tetap di kantor tempatnya bekerja.
Beban sebagai generasi sandwich juga dirasakan Haidi (37), warga Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang servis telepon genggam dan laptop. Sebulan ia memperoleh penghasilan sekitar Rp 2,5 juta per bulan.
Uang itu ia gunakan untuk membayar uang sekolah anak, tagihan rekening listrik dan air, serta menopang kehidupan ibunya yang sudah renta. ”Penghasilan sebulan habis dipakai untuk sebulan, seperti gali lubang tutup lubang. Tidak bisa bisa menabung,” ujarnya.
Hal yang sama dirasakan Fahim (28), pedagang sayur di Kota Malang, Jawa Timur. Ia menanggung kebutuhan keluarga, membantu orangtua, dan mertuanya. Pria asal Pamekasan itu setiap hari mengantongi pendapatan Rp 150.000-Rp 200.000. ”Kebutuhan sehari-hari Rp 150.000-Rp 200.000 juga. Itu pun sayur sudah ambil dari barang yang saya jual,” ujarnya.
Selain itu, ia mesti membayar biaya bulanan berupa sewa kamar kos Rp 750.000 per bulan. Ia juga rutin mengirimkan uang kepada orangtua dan mertuanya di kampung masing-masing Rp 300.000-Rp 500.000 per bulan.
Baca juga: Generasi ”Sandwich”, Naik di Sini Tekan di Sana
Lita Susilawati (48) juga menanggung beban sebagai generasi sandwich. Perempuan yang mengelola warung jus dan mi instan di kawasan Palmerah, Jakarta, ini mesti menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal tahun 2003. Ia menghidupi ibu dan ketujuh adiknya hingga mereka lulus kuliah dan menikah.
”Dulu sebelum pandemi, setiap minggu ngirim ke mamah Rp 1 juta–Rp 2 juta. Nanti mamah yang atur buat keperluannya dan adik-adik,” tutur Lita yang juga mesti membiayai kehidupan keluarganya sendiri bersama suaminya.
Namun, setelah pandemi Covid-19 melanda, pemasukan dari warungnya turun drastis. Akibatnya, ia tidak bisa lagi memenuhi semua kebutuhan adik-adik dan ibunya.
Perencana keuangan Ike Noorhayati Hamdan mengatakan, idealnya pengeluaran keluarga diatur dengan skema 40 persen untuk biaya hidup keluarga, 30 persen untuk pengeluaran produktif dan konsumtif, 20 persen untuk investasi, dan 10 persen untuk pengeluaran lain-lain, termasuk membantu orangtua dan keluarga besar.
”Tapi skema itu tidak bisa diterapkan untuk orang dengan penghasilan sangat rendah. Apanya yang mau direncanakan, uangnya saja tidak ada. Yang bisa dilakukan paling hanya menekan pengeluaran seminim mungkin dan berusaha menaikkan pendapatan, misalnya dari kerja sampingan."
Frustrasi sosial
Tantan Hermansah, sosiolog dari Universitas Islam Negeri Jakarta, mengatakan, nasib generasi sandwich di Indonesia, terutama yang berpendapatan rendah, amat memprihatinkan. Mereka dipaksa keadaan untuk bekerja keras tanpa pernah mencapai tingkat kesejahteraan yang memadai.
Penghasilan mereka habis untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan keluarga besarnya. Mereka tidak punya ruang untuk menabung atau berinvestasi. Bahkan, sebagian dari mereka tidak punya dana rekreasi untuk lari sekejap dari kepenatan hidup. Tekanan hidup yang mereka hadapi kini semakin kuat dengan naiknya harga bahan bakar minyak.
Pada saat yang sama, mereka menyaksikan pameran gaya hidup di media sosial. Mereka juga pasti punya mimpi untuk mencicipi atau mengikuti gaya hidup seperti itu, tetapi antara mimpi dan realitas hidup jaraknya amat jauh.
”Bayangkan, generasi yang terjepit ini jumlahnya banyak sekali. Mereka kemungkinan tidak bahagia. Kerja terus, tapi tidak sejahtera, seperti mesin saja. Mau cari hiburan tidak punya dana. Saya khawatir akumulasi tekanan yang dialami oleh generasi sandwich bisa meledak menjadi frustrasi sosial,” tambahnya.
Tantan mengatakan, saat ini mulai banyak anak muda yang berpikir keras sebelum memutuskan berkeluarga karena khawatir dengan beban ekonomi yang mesti ditanggung. Jika mereka menunda perkawinan terlalu lama, dampak sosialnya akan terasa di masa depan.
”Mereka yang menikah di usia yang sudah tua, ketika membesarkan anak, usianya sudah kurang produktif. Nanti mereka mengandalkan kehidupannya pada anaknya. Maka beban sebagai generasi sandwich akan berpindah ke anaknya. Kalau miskin, kemiskinan itu akan berlanjut,” katanya.
Tantan berharap, isu generasi sandwich mendapat perhatian. Selama ini, isu tersebut hanya ramai dibahas di media sosial.