Konflik Papua dan Kegagalan Perlindungan Warga Sipil
Selama tujuh tahun terakhir, konflik di Papua memakan korban 503 orang, terdiri warga sipil, anggota TPNPB, dan aparat keamanan. Penting di sini, mengapa TNI/Polri gagal melindungi masyarakat sipil di tengah konflik?
Kasus mutilasi empat warga sipil di Kabupaten Mimika yang dilakukan enam prajurit TNI AD dengan melibatkan tiga warga sipil baru-baru ini menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Bermacam data berhasil memotret eskalasi konflik yang semakin banyak memakan korban warga sipil. Data dari Armed Conflict Location and Event Dataset, yang diolah CSIS, menggambarkan pada 2021 terjadi 319 insiden konflik.
Selama tujuh tahun terakhir, konflik di Papua memakan korban 503 orang, terdiri dari warga sipil, anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), dan dari aparat keamanan. Data IPAC (2022) menunjukkan peningkatan jumlah korban warga sipil dari 53 pada 2017 menjadi 125 pada 2018 dan 2021.
Pertanyaan penting di sini, mengapa TNI/Polri gagal melindungi masyarakat sipil di tengah konflik? Aparat justru cenderung menggunakan kekerasan yang berlebihan sehingga mengakibatkan kekerasan dan pembunuhan keluar dari jalur hukum. Kasus-kasus kekerasan jangan sampai dibingkai dalam konteks kriminalitas semata karena sudah mengarah ke hal yang lebih sistemik.
Pertanyaan penting di sini, mengapa TNI/Polri gagal melindungi masyarakat sipil di tengah konflik?
Perlindungan terhadap warga sipil adalah isu yang sering kali lepas dari perhatian dalam upaya pencegahan, penyelesaian, dan mitigasi konflik. Korban warga sipil dilihat sebagai bentuk dari collateral damage dalam situasi konflik tanpa ada upaya untuk melindunginya.
Dalam hal ini, setiap kebijakan keamanan seharusnya mempertimbangkan risiko yang dapat menimpa warga sipil dalam operasinya. Kegagalan melindungi warga sipil bisa bermuara dari aspek regulasi TNI dan Polri yang lemah implementasinya, juga bisa disebabkan faktor-faktor lain.
Tulisan ini membahas faktor-faktor yang mengakibatkan gagalnya aparat keamanan melindungi warga sipil dalam konflik dan bentuk engagement seperti terjadi antara aparat keamanan dan warga sipil dalam konteks konflik di Papua?
Baca juga : Jumlah Korban Warga Sipil Bertambah, Kecaman terhadap Aksi KKB Semakin Meluas
Baca juga : Papua dan Pemerintahan Teralienasi
Berbagai hambatan
Studi Imparsial (2011, 2014) dan CSIS (2022) mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kegagalan aparat keamanan dalam melindungi masyarakat sipil. Ada tiga hambatan: kultural, struktural, dan instrumental.
Dari dimensi kultural, upaya melindungi masyarakat sipil dihambat pola pikir (mindset) bahwa ”semua” orang Papua cenderung dianggap anggota atau pendukung TPNPB, apalagi kalau mereka menentang kebijakan pemerintah. Hambatan kultural berikutnya adalah lemahnya pemahaman aparat keamanan tentang HAM. Beberapa kasus juga menunjukkan, selama mengenyam pendidikan, mereka sudah terbiasa dengan budaya kekerasan.
Untuk aspek instrumental, kondisi kultural di atas diperparah dengan pembentukan pola pikir oleh negara bahwa Papua merupakan daerah perang sehingga menimbulkan rasa takut dan paranoia.
Di sisi lain, aparat keamanan juga lekat dengan memori kekerasan oleh TPNPB sehingga hidupnya merasa terancam. Dari hasil wawancara dengan generasi muda Papua, mereka melihat aparat keamanan cenderung dengan cepat dan mudah menembak siapa saja karena tidak ingin mengambil risiko menghadapi TPNPB dan apa yang dilakukan dibenarkan dengan dalih sebagai bentuk upaya untuk ”menyelamatkan diri”.
Dari aspek struktural, ada tiga penyebab. Pertama, rotasi yang cepat aparat keamanan selama penempatan. Dari laporan IPAC (2022), aparat keamanan biasanya hanya ditempatkan di Papua selama 6-9 bulan, sebelum dipindahkan ke daerah lain. Waktu yang sangat terbatas sehingga tak cukup bagi aparat keamanan untuk memahami budaya dan konteks lokal masyarakat di Papua.
Kedua, sudah ”mendarah daging” wacana pelanggaran HAM karena budaya impunitas. Budaya ini diperparah dengan lemahnya aspek penegakan hukum sehingga membentuk persepsi bahwa melakukan kekerasan atau bentuk pelanggaran HAM bukan dianggap sebagai suatu kejahatan. Selain itu, kepemimpinan aparat keamanan yang lemah dan buruk memperparah keadaan. Seorang pemimpin cenderung akan melindungi anak buahnya yang melakukan pelanggaran.
Ketiga, terkait keterlibatan aparat keamanan di dunia bisnis, yang sering kali dilatarbelakangi aspek kesejahteraan. Dalam kondisi ini, seorang pemimpin sering kali juga tidak dapat memonitor kegiatan anak buahnya yang melakukan kegiatan bisnis secara ilegal, termasuk perdagangan senjata.
Di sisi lain, aparat keamanan juga lekat dengan memori kekerasan oleh TPNPB sehingga hidupnya merasa terancam.
Sudah banyak kasus warga sipil menjadi korban dari kegiatan bisnis ilegal, yang melibatkan aparat keamanan. Masalah struktural juga dibarengi dengan lemahnya transparansi dan pemonitoran terhadap aktivitas aparat keamanan. Apalagi, kebijakan keamanan di Papua sangat ’tertutup’ serta tidak transparan dan akuntabel sehingga sulit di pantau publik.
Strategi warga sipil-aparat keamanan
Dari masalah kompleks di atas, upaya membangun hubungan (engagement) antara aparat keamanan dan warga sipil merupakan keniscayaan. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa pernah mengatakan, pendekatan di Papua perlu dilakukan dengan lebih humanis. Ironisnya, pernyataan ini belum bisa mengubah pemikiran masyarakat di Papua yang masih negatif dan trauma terhadap figur aparat keamanan.
Dari hasil studi CSIS, di tengah konflik ini, warga sipil berada dalam posisi yang sulit dan merasakan tidak memiliki ’pelindung’. Strategi bertahan hidup dalam konflik hanya bisa dilakukan dengan lari, sembunyi, atau berdiam di rumah. Peran pemerintah daerah ataupun tokoh-tokoh adat dan agama juga dianggap minim. Memosisikan warga sipil ’dekat’ dengan aparat keamanan ataupun TPNPB juga dilematis karena bisa dianggap sebagai ’pengkhianat’ oleh kedua belah pihak.
Pendekatan aparat keamanan yang humanis harus berakar pada upaya membangun rasa percaya. Seorang narasumber dari Kabupaten Maybrat menceritakan analisisnya bahwa apabila seorang aparat keamanan tinggal lebih lama di sebuah lokasi dan secara intens berkomunikasi dengan masyarakat, secara otomatis akan terbangun rasa saling percaya sehingga jauh dari rasa curiga.
Aparat keamanan seperti ini yang bisa menjalankan fungsinya sebagai ’mediator’ dan dapat memberi informasi terkait kultur dan konteks masyarakat setempat ke petugas keamanan yang baru ditempatkan.
Jika pemahaman terkait kultur dan konteks masyarakat memadai, aparat bisa mengurangi ’kesewenang-wenangan’ dalam menghadapi konflik sehingga tercipta perlindungan kepada warga sipil.
Pendekatan aparat keamanan yang humanis harus berakar pada upaya membangun rasa percaya.
Sementara itu, narasumber dari Intan Jaya menjelaskan, upaya membangun komunikasi antara aparat keamanan dan masyarakat di sana dilakukan dengan memberikan arahan agar masyarakat sipil mencari perlindungan di gereja atau markas militer apabila terjadi konflik dengan TPNPB.
Sebaliknya, warga sipil memberi izin aparat keamanan berjaga-jaga di sekitar rumah agar tak lagi distigmatisasi sebagai bagian dari TPNPB. Warga sipil sekarang juga banyak direkrut untuk menjadi bagian dari TNI/Polri.
Program dari kepolisian berupa Binmas Noken yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat kehidupan rakyat Papua dan menjalankan misi atau operasi polisi yang berkemanusiaan, seperti ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, khususnya di daerah pegunungan di Papua, patut didukung.
Meski positif, upaya tersebut tidak akan efektif dalam membangun kepercayaan masyarakat apabila terus terjadi kekerasan oleh aparat.
Penyelesaian terintegrasi
Situasi keamanan di Papua yang kompleks mengharuskan upaya penyelesaian yang terintegrasi. Pertama, perlu meningkatkan secara intensif pemahaman aparat keamanan terkait HAM selama menjalani pendidikan sebagai syarat kelulusan yang ketat. Kedua, pemerintah perlu mengakhiri impunitas bagi aparat keamanan atas pelanggaran HAM.
Apabila terjadi pelanggaran, perlu diadili melalui mekanisme pengadilan etik militer/polisi yang menjunjung transparansi dan akuntabel terhadap publik.
Kepemimpinan keamanan di sana harus diperkuat dengan menjunjung tinggi aspek hukum dan keadilan. Ketiga, pemerintah perlu mengubah aturan sistem rotasi yang cepat bagi aparat keamanan yang bertugas di Papua untuk meningkatkan pemahaman mereka pada budaya Papua.
Situasi keamanan di Papua yang kompleks mengharuskan upaya penyelesaian yang terintegrasi.
Keempat, prosedur standar operasi (SOP) untuk mengidentifikasi dan membedakan antara TPNPB dan warga sipil, atau langkah yang perlu dilakukan apabila proses pembedaan sulit dilaksanakan perlu dievaluasi efektivitasnya dan disempurnakan. Kelima, upaya meningkatkan resiliensi warga sipil di tengah konflik perlu terus digalakkan dengan melibatkan lintas pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah.
Selain rekomendasi di atas, perlu juga memperkuat pengawasan oleh DPR, Kompolnas, yang dibantu publik, terhadap aktivitas keamanan. Evaluasi untuk peningkatan akuntabilitas internal TNI ataupun Polri juga perlu agar lebih efektif.
Terakhir, mekanisme keluhan di tingkat akar rumput terhadap kekerasan yang dialami warga sipil dan pelanggaran HAM oleh aparat perlu dilembagakan dengan difasilitasi masyarakat sipil dan bekerja sama dengan lembaga negara, seperti Komnas HAM, agar penanganannya lebih cepat.
Apabila upaya-upaya tersebut dapat dijalankan secara terintegrasi, warga sipil dapat dijamin keamanannya.
(Vidhyandika D Perkasa, Peneliti Senior Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta )