Jumlah Korban Warga Sipil Bertambah, Kecaman terhadap Aksi KKB Semakin Meluas
Pemerintah didorong melakukan upaya pencegahan agar pembunuhan warga sipil tak terulang lagi. Selain dialog politik dengan pihak-pihak yang pro-kemerdekaan Papua, juga membuat klasifikasi wilayah rawan cegah kekerasan.
Evakuasi salah satu dari 10 jenazah korban kelompok kriminal bersenjata di Timika, Kabupaten Mimika, Papua, Sabtu (16/7/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kecaman terhadap tindakan kelompok kriminal bersenjata yang membunuh 11 warga sipil di Kampung Nogolait, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua, semakin meluas. Pemerintah didorong melakukan upaya pencegahan agar kasus itu tak terulang kembali, mulai dari menggagas dialog politik dengan pihak-pihak yang pro terhadap kemerdekaan Papua hingga membuat klasifikasi berdasarkan situasi keamanan di wilayah tersebut. Pengklasifikasian wilayah ini sangat penting agar penanganan konflik dapat lebih terukur dan tidak lagi memakan korban.
Setidaknya 10 orang tewas dan dua lainnya terluka akibat serangan KKB pimpinan Egianus Kogoya, Sabtu lalu. Pada Senin (18/7/2022), Polda Papua melaporkan ada penambahan satu korban tewas akibat aksi KKB di Kampung Nogolait sehingga total menjadi 11 orang. Insiden ini menambah panjang rangkaian serangan yang dilakukan KKB di Papua. Berdasarkan catatan Kompas, sepanjang 2022 sudah terjadi 45 kali serangan KKB di bumi Papua.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani melalui keterangan tertulis mengecam tindak pidana yang dilakukan KKB. Ia menyampaikan, aparat keamanan akan memproses insiden tersebut secara cepat dan terukur. Pelaku juga akan diproses secara hukum.
”Penegakan hukum dan optimalisasi institusi keamanan akan terus dikedepankan untuk menindak siapa pun yang berupaya menyebar teror, mengganggu ketertiban, dan keamanan masyarakat, terlebih menimbulkan korban jiwa di tanah Papua,” ujar Jaleswari.
Secara terpisah, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) juga mengecam kejadian ini. Dalam peristiwa tersebut, satu dari sepuluh korban meninggal adalah pendeta dari Gereja Kemah Injil Indonesia, Eliaser Baner (54).
Baca juga : 10 Orang Tewas akibat Serangan KKB di Nduga, Papua
Sekretaris Eksekutif PGI Henrek Lokra meminta supaya pemerintah membentuk tim investigasi independen untuk menginvestigasi secara komprehensif kejadian pembunuhan masyarakat sipil di Kampung Nogolait. TNI dan Polri juga diminta melakukan upaya pencegahan atas kemungkinan terjadinya pembunuhan serupa ke depan.
”Kami juga mendorong gereja–gereja di Tanah Papua untuk terus melakukan upaya kemanusiaan sebagaimana perlu untuk masyarakat Kampung Nogolait dan sekitarnya. ”
Pendekatan kultural semestinya didorong ke depan bersama seluruh elemen masyarakat untuk menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. ”Kami juga mendorong gereja–gereja di Tanah Papua untuk terus melakukan upaya kemanusiaan sebagaimana perlu untuk masyarakat Kampung Nogolait dan sekitarnya,” tambah Lokra.
Dialog politik
Peneliti Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Arie Ruhyanto, menambahkan, serangan KKB yang terjadi berulang kali di Papua semakin menunjukan persoalan di sana bukan hanya problem pembangunan dan kesejahteraan, melainkan ada isu poitik yang belum terselesaikan sampai sekarang. Untuk itu, Arie mendorong agar pemerintah menggagas dialog politik dengan pihak-pihak yang pro terhadap kemerdekaan Papua.
Dialog politik seperti ini pernah terealisasi pada 1999. Saat itu, 100 tokoh Papua bertemu dengan Presiden ke-3 RI BJ Habibie. Namun, dialog politik itu belum pernah terjadi lagi hingga sekarang. Sejauh ini, dialog yang digagas adalah dialog sektoral, di mana pembicaraan hanya sebatas persoalan pelayanan publik, penegakan hukum, dan penyelenggaraan pemerintahan.
”Itu lagi-lagi dalam konteks pembangunan kesejahteraan. Belum bicara soal politik. Nah, mau sampai kapan begini? Kalau tidak ada dialog politik, selamanya, hal ini akan terus terjadi secara sporadis meski pemerintah bangun ini dan itu, kelompok yang pegang senjata juga tetap bergerak. ”
"Itu lagi-lagi dalam konteks pembangunan kesejahteraan. Belum bicara soal politik. Nah, mau sampai kapan begini? Kalau tidak ada dialog politik, selamanya, hal ini akan terus terjadi secara sporadis, meski pemerintah bangun ini dan itu, kelompok yang pegang senjata juga tetap bergerak,” ucap Arie.
Arie berharap ada strategi yang lebih komprhensif dalam penanganan masalah di Papua. Dialog politik menjadi kunci penting. Dialog di antara kedua belah pihak yang bersengketa, yakni pemerintah dan pihak pro-kemerdekaan Papua, harus sampai pada titik kesepakatan.
”Kalau sekarang pemerintah melakukan macam-macam inisiatif, seperti pemekaran Papua dan perpanjangan otonomi khusus itu, kan, bukan hasil kesepakatan dengan pihak yang bertikai. Jadi, mereka tak ada kewajiban untuk menghormati apa yang pemerintah lakukan. Justru, mereka merasa semakin terdesak, militer semakin banyak ke sana. Jadi, semakin panas situasinya. Permasalahan juga tidak akan selesai,” kata Arie.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, pembunuhan di luar hukum terhadap sepuluh warga sipil di Nduga benar-benar keji dan tidak bisa dibenarkan. Amnesty International pun mendesak aparat untuk mengusut tuntas pelakunya.
”Sudah saatnya negara menghentikan siklus kekerasan di Papua. Saat ini telah terjadi krisis hak asasi manusia di Papua, di mana hampir setiap hari terjadi kekerasan dengan korban dan pelaku dari berbagai kelompok,” tutur Usman.
Usman menggarisbawahi agar negara mengevaluasi pendekatan keamanan yang selama ini dilakukan. Pendekatan keamanan nyatanya tidak berhasil menghentikan pelanggaran HAM di sana dan malah menimbulkan korban sipil yang semakin banyak.
”Negara juga harus melakukan koreksi atas pendekatan kebijakan secara keseluruhan, mulai dari labelisasi separatis dan terorisme hingga kebijakan yang sentralistik, seperti daerah otonomi baru dan otonomi khusus yang dilakukan tanpa partisipasi bermakna orang asli Papua,” kata Usman.
Klasifikasi wilayah rawan konflik
Untuk jangka menengah, Arie melihat, perlu segera ada resolusi konflik atau penghentian konflik di Papua. Hal itu bisa dilakukan dengan membuat instrumen hukum yang menjadi landasan bagi penegakan keamanan di kawasan Papua. Ini juga guna menghindari korban dari pihak sipil akibat serangan KKB.
Menurut Arie, sejauh ini pemerintah hanya mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaaan Bahaya. Setidaknya ada empat tingkatan keadaan bahaya yang disebutkan di dalam perppu tersebut, yakni tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, dan keadaan perang.
Padahal, jika melihat situasi di Nduga dan Pegungungan Intan Jaya, itu cukup layak dijadikan sebagai wilayah darurat sipil. Sebab, praktis, di sana pemerintahan sipil tidak berfungsi, pelayanan publik terhenti, dan kekerasan atau penembakan pun terus terjadi secara sporadis.
Namun, jika dikategorikan sebagai daerah darurat sipil, hal itu akan menimbulkan komplikasi politik yang cukup kuat, seperti pembatasan akses komunikasi, penyadapan alat komunikasi, pembatasan mobilisasi penduduk, serta dibolehkannya dilakukan penggeledahan tempat-tempat yang dicurigai oleh aparat dengan persetujuan pemegang otoritas darurat sipil.
Hal-hal semacam itu tentu akan menimbulkan kegaduhan politik. Namun, faktanya, ada kondisi sipil yang darurat wilayah tersebut, yang memerlukan penanganan ekstra atau tidak biasa-biasa saja.
”Klasifikasi baru perlu dimunculkan. Dengan demikian, jika darurat sipil terlalu ekstrem dan tertib sipil dianggap tidak sesuai, dibutuhkan kategori lain di antara dua jenis keadaan itu. Dengan begitu, ada gradasi level keamanan daerah yang lebih kontekstual dan lebih rinci. ”
Karena itu, barangkali, lanjut Arie, klasifikasi baru perlu dimunculkan. Dengan demikian, jika darurat sipil terlalu ekstrem dan tertib sipil dianggap tidak sesuai, dibutuhkan kategori lain di antara dua jenis keadaan itu. Dengan begitu, ada gradasi level keamanan daerah yang lebih kontekstual dan lebih rinci.
”Itu yang harus dirumuskan, sementara di regulasi belum ada untuk mengisi kekosongan di antara dua jenis keadaan itu,” kata Arie.
Anggota Komisi I DPR, Yan Permenas Mandenas, sependapat dengan Arie. Menurut dia, perlu ada klasifikasi dalam pola penanganan konflik di Papua. Dengan begitu, penetapan kebijakannya pun akan lebih tepat sasaran dan terukur.
Ia mengusulkan, setidaknya ada tiga klasifikasi. Klasifikasi pertama adalah wilayah yang rawan konflik. Wilayah ini tentu harus ditangani dengan operasi penegakan hukum yang tegas oleh aparat keamanan.
Klasifikasi kedua adalah daerah yang cukup membutuhkan operasi pencegahan keamanan. Klasifikasi ketiga adalah daerah yang relatif kondusif sehinga pendekatan yang digunakan lebih mengedepankan pembinaan masyarakat dan tetap menunjung tinggi HAM.
Baca juga : Otak Penembakan di Nduga, Papua Diduga Kelompok Egianus Kogoya
”Dengan ada pengklasifikasian tersebut, aparat akan lebih mudah dalam menangani konflik di suatu daerah. Penanganan tersebut tentu disesuaikan dengan kelompok yang ada di daerah tersebut. ”
Yan menambahkan, dengan ada pengklasifikasian tersebut, aparat akan lebih mudah dalam menangani konflik di suatu daerah. Penanganan tersebut tentu disesuaikan dengan kelompok yang ada di daerah tersebut.
”Tidak semua tempat disamakan seperti saat ini. Dengan begitu, kebijakan teritorial Panglima TNI akan relevan dengan situasi di Papua berdasarkan klasifikasi. Kalau tidak dilakukan dengan sedemikian rupa, terus-menerus akan terjadi aksi kekerasan di Papua, tidak akan selesai, dan tidak akan berangsur pulih,” ujar Yan.
Terakhir, Yan berharap Panglima TNI lebih mengdepankan operasi terpadu di Papua. Artinya, tak hanya melibatkan TNI AD, tetapi berkolaborasi juga dengan TNI AL dan TNI AU. Sebab, perlu ada pengawasan di jalur udara dan akses di bandara. Lalu, perlu juga pengawasan di wilayah perairan untuk menghindari penyelundupan logistik atau amunisi yang akan dimanfaatkan oleh KKB.
”KKB sampai saat ini masih bisa eksis akibat penyelundupan amunisi dan senjata yang terus-menerus disuplai. Rantai ini harus diputus,” ucap Yan.