Ratu Elizabeth II bertakhta ketika dunia sedang dalam perubahan. Inggris harus bangkit pasca-Perang Dunia II dan menghadapi gelombang demokratisasi melawan peran kerajaan.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Ketika massa mulai berkerumun di Istana Buckingham—begitu mendengar Ratu Elizabeth II meninggal—tampak pelangi melengkung indah di atas istana.
Alam rupanya punya cara untuk menyampaikan penghormatan kepada Ratu Inggris yang paling lama bertakhta, 70 tahun 214 hari, terlama kedua di negara kerajaan dunia.
Lahir di London, 21 April 1926, Elizabeth Alexandra Mary Windsor menjadi ratu ketika ayahnya, Raja George VI, meninggal 6 Februari 1952. Ratu Elizabeth II meninggal 8 September 2022. Suaminya, Pangeran Philip, meninggal tahun 2021. Pasangan ini memiliki 4 anak, 8 cucu, dan 12 cicit.
Ratu Elizabeth II bertakhta ketika dunia sedang dalam perubahan. Inggris harus bangkit pasca-Perang Dunia II dan menghadapi gelombang demokratisasi melawan peran kerajaan. Sebagai negara dengan daerah jajahan terluas, Inggris saat itu juga kehilangan banyak negara yang memilih merdeka.
Namun, ketika orang melihat semua itu sebagai potensi akhir monarki, Ratu Elizabeth II membalikkan keadaan dengan menjadikan negara-negara pasca-kolonialisme itu sebagai bagian dari negara persemakmuran.
Ia mengubah narasi dari penjajah menjadi negara yang memikirkan kesejahteraan bekas jajahan. Jejak Inggris tetap ada, tetapi dengan wajah modern dan manusiawi. Anggota negara persemakmuran dari 8 menjadi 54 saat ini.
Ratu Elizabeth II memang memiliki kemampuan mengubah tantangan menjadi peluang. Media ia undang ke istana, bertemu dalam situasi informal di antara foto-foto anaknya, anjing dan kuda, untuk mengirim pesan Natal.
Meski sebagai kepala negara lebih banyak menjadi simbol, Ratu Elizabeth II menjalankan banyak tugas. Setiap hari ia membaca laporan dan berdiskusi dengan Perdana Menteri Inggris, serta menempuh jarak ribuan kilometer untuk membangun diplomasi dan kerja sama di banyak negara.
Dalam dunia yang serba maskulin, Ratu Elizabeth II adalah perempuan pemimpin yang mampu menyampaikan pendapat dan punya banyak cara untuk menjalin relasi. Terima kasih kepada sang ibu yang membesarkan dalam kehangatan.
Ratu Elizabeth II adalah satu di antara sedikit perempuan pemimpin. Kita mengenal Indira Gandhi (Perdana Menteri India, 1966-1977 dan 1980-1984), Corazon Aquino (Presiden Filipina, 1986-1992), Angela Merkel (Kanselir Jerman, 2005-2021), dan Margaret Thatcher (PM Inggris, 1979-1990).
Mereka tidak hanya pandai, tetapi juga asertif, bisa bekerja sama, berkomitmen, dan percaya diri. Suatu hal yang perlu kita kembangkan dalam pendidikan di Indonesia, terutama pada anak perempuan. Kita sering mengalami, atas nama agama dan budaya, terjadi ketimpangan jender. Hal ini bisa dilihat dari statistik pendidikan, kesempatan, ataupun peran, yang datanya lebih sedikit pada perempuan. Mereka juga acap menjadi korban kejahatan struktural.
Oleh karena itu, banyak yang harus dikerjakan agar kesetaraan memunculkan banyak pelangi di langit Ibu Pertiwi.