Kompas Pendidikan
Konsep fungsi dan tujuan pendidikan nasional di dalam RUU Sisdiknas harus direvisi. Sekali salah mengarahkan kompas pendidikan, kapal pendidikan nasional akan kian menjauh dari cita-cita koletif bangsa.
Didie SW
Akhirnya naskah draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dirilis ke publik oleh Kemendikbudristek. Sayangnya, apa yang menjadi kritikan dan masukan masyarakat terkait hal-hal fundamental strategis dan visioner tidak ditanggapi.
Salah satu hal fundamental yang menjadi kritikan publik adalah terkait tujuan dan fungsi pendidikan. Tujuan dan fungsi pendidikan ini menjadi hal paling utama yang harus dicermati karena akan menjadi kompas pendidikan dalam jangka panjang.
Terkait tujuan dan fungsi pendidikan, apa yang terdapat di dalam draf Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) versi Januari, dan versi terbaru, Agustus 2022, tidak ada perubahan. Tiadanya perubahan di dalam draf RUU sejak versi Januari sampai versi Agustus 2022 terkait tujuan dan fungsi pendidikan ini menggambarkan ketertutupan Kemendikbudristek atas pemikiran yang berkembang di masyarakat.
Padahal, sekali salah mengarahkan kompas pendidikan, kapal pendidikan nasional akan kian menjauh dari tujuannya. Dalam draf resmi, sangat jelas bahwa fungsi pendidikan akan direduksi pada konsep profil pelajar Pancasila.
Dalam draf resmi, sangat jelas bahwa fungsi pendidikan akan direduksi pada konsep profil pelajar Pancasila.
Lebih dari itu, nilai-nilai filosofis terdalam Pancasila disempitkan pada hal-hal teknis, seperti bernalar kritis, berkebinekaan global, mandiri, dan kreatif; sementara nilai-nilai utama, seperti kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, musyawarah mufakat, dan nasionalisme, yang menjadi sumber pemersatu bangsa, dikesampingkan.
Pada Pasal 3 dinyatakan: ”Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan potensi Pelajar dengan karakter Pancasila agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, berilmu dan bernalar kritis, berkebinekaan, bergotong royong, dan kreatif”.
Penafsiran karakter Pancasila seperti ini sangat berbahaya karena bisa jadi semacam monopoli tunggal atas nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan.
Lebih dari itu, nilai-nilai Pancasila tidak dipahami pada pokok esensinya yang terdalam, tetapi dimaknai sekadar sebagai kompetensi dan keterampilan teknis yang tidak terkait langsung dengan nilai terdalam implementasi nilai-nilai Pancasila, melalui dimensi profil pelajar Pancasila, seperti mandiri, berilmu, bernalar kritis, berkebinekaan, bergotong royong, dan kreatif.
Reduksi Pancasila
Reduksi nilai terdalam Pancasila menjadi sekadar kompetensi teknis ini mempermiskin pemaknaan tentang nilai filosofis Pancasila. Dimensi-dimensi dalam profil pelajar Pancasila juga mempermiskin implementasi terdalam nilai-nilai Pancasila yang, sebagai nilai-nilai moral kemanusiaan, tidak tergoyahkan, dan secara esensial merupakan nilai yang wajib diperjuangkan. Penafsiran nilai-nilai Pancasila pada dimensi profil pelajar Pancasila sifatnya teknis dan relatif dapat mengaburkan makna terdalam nilai-nilai Pancasila.
Pengaburan nilai Pancasila terjadi karena dimensi pemahaman profil pelajar Pancasila, seperti mandiri, berilmu, kritis, mampu bergotong royong, dan kreatif, bukanlah nilai-nilai moral dalam arti sesungguhnya. Ini semua adalah nilai-nilai instrumental yang sifatnya netral dan karena itu pemenuhan nilai ini akan sangat tergantung dari orientasi nilai-nilai kemanusiaan yang melandasi.
Orang bisa saja mandiri, kreatif, kritis, mampu bergotong royong, tetapi ini semua jika tanpa disertai pemahaman nilai terdalam, akan mudah diselewengkan demi tujuan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Baca juga: Kawal Tuntas Utak-atik RUU Sisdiknas
Baca juga: Gonjang-ganjing Pendidikan Kita
Pendidikan semestinya menanamkan nilai-nilai Pancasila secara langsung sehingga mampu menukik pada imajinasi dan pemahaman peserta didik. Menafsirkan dimensi profil pelajar Pancasila dengan enam dimensi saja sudah merupakan ketidakharmonisan konsep dan imajinasi tentang Pancasila itu sendiri. Jika ini tidak diubah, anak-anak Indonesia, alih-alih paham Pancasila, malah akan semakin bingung tentang isi utama nilai-nilai Pancasila.
Kekeliruan fatal lain adalah memasukkan nilai-nilai persatuan bangsa dan dimensi nasionalisme sebagai subdimensi dari dimensi beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, terutama melalui akhlak bernegara. Tentu, nilai-nilai iman, takwa, dan akhlak mulia bisa mendukung nilai-nilai nasionalisme.
Namun, memasukkan nilai persatuan dan kesatuan bangsa, nasionalisme, sebagai subdimensi dari dimensi iman, takwa, dan akhlak mulia, yang sering kali diidentikkan dengan sila pertama Pancasila, jelas sebuah kekeliruan fatal.
Dalam konteks pendidikan, nasionalisme, persatuan dan kesatuan bangsa harus menjadi nilai utama yang langsung dipaparkan dalam diri peserta didik, bukan dengan cara menelusuri dari dimensi iman, takwa, dan akhlak mulia, dalam subdimensi akhlak bernegara. Pendekatan seperti ini hanya akan menjadi semacam manipulasi atas nilai-nilai Pancasila, dan menyembunyikan pentingnya nasionalisme di balik nilai-nilai iman, takwa, dan akhlak mulia.
Didie SW
Nasionalisme dan rasa cinta bangsa seharusnya berdiri sendiri, dan berdiri di atas semua golongan, bukan diasalkan dari iman atau ketakwaan seseorang. Bahwa iman dan takwa seseorang bisa mendukung nilai-nilai nasionalisme, itu jelas. Namun, menyembunyikan nilai-nilai nasionalisme dalam dimensi iman, takwa, dan akhlak mulia jelas merupakan kesalahan fatal.
Keliru fungsi
Penghilangan nilai nasionalisme dalam dimensi profil pelajar Pancasila menunjukkan konsep profil Pelajar Pancasila tak menganggap penting dimensi persatuan Indonesia. Lebih fatal lagi, nilai nasionalisme dimasukkan dalam dimensi beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, pada subdimensi akhlak bernegara. Ini sebuah pemikiran yang menyesatkan, dan kekeliruan fatal dalam menafsirkan nilai-nilai nasionalisme yang menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Sistem pendidikan nasional merupakan salah satu fungsi dalam sistem ketatanegaraan untuk meraih tercapainya tujuan pendirian kehidupan berbangsa dan bernegara. Fungsi sistem pendidikan seharusnya diletakkan dalam kerangka ini, yaitu cita-cita kolektif bangsa, yakni mendukung tercapainya tujuan pembentukan negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
Nasionalisme dan rasa cinta bangsa seharusnya berdiri sendiri, dan berdiri di atas semua golongan, bukan diasalkan dari iman atau ketakwaan seseorang.
Dalam Pembukaan UUD NRI 1945 jelas disebutkan bahwa tujuan pendirian negara Indonesia adalah ”untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Fungsi pendidikan seharusnya mengacu pada tujuan kolektif kehidupan berbangsa dan bernegara seperti amanat di dalam Preambul.
Adapun tujuan pendidikan nasional seharusnya memperkuat fungsi ini, yaitu membentuk manusia Indonesia yang mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, punya komitmen dalam memajukan kesejahteraan umum, manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, mampu terlibat dalam percaturan global sehingga mampu melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Pendidikan bertujuan melahirkan manusia Indonesia yang mencintai bangsanya, sekaligus mampu terlibat dalam percaturan global karena kecerdasan, dan komitmennya pada kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan sosial. Inilah yang seharusnya menjadi tujuan setiap proses pendidikan.
Menjadikan dimensi profil Pelajar Pancasila sebagai fungsi pendidikan merupakan reduksi dan pemiskinan makna sistem pendidikan itu sendiri. Sementara kekeliruan menera tujuan pendidikan nasional ibarat keliru mengarahkan kompas tujuan pendidikan di mana perahu pendidikan seharusnya berlayar. Salah mengarahkan kompas akan berdampak fatal pada tak tercapainya tujuan akhir berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.
Konsep fungsi dan tujuan pendidikan nasional di dalam RUU Sisdiknas harus direvisi. Kekeliruan fatal ini tidak boleh terjadi dalam perubahan UU Sisdiknas kita.
(Doni Koesoema A Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara)