Rasionalitas dan Keberlanjutan Peradaban
Di tengah menikmati kemajuan dan produk-produknya umat manusia sebetulnya serentak mengalami kemunduran peradaban. Faktor dari semua kemunduran peradaban adalah intervensi berlebihan manusia atas alam.
Di tengah disorientasi moral bangsa yang terus menjamur ke berbagai segmen pelayanan publik, dan cukup menguras energi warga, dunia kembali menghamparkan suatu krisis global lain yang juga mendesak untuk ditanggulangi bersama. Indonesia tentu harus memikirkannya karena bagaimanapun bisa ikut terdampak oleh isu kekeringan yang kini melanda beberapa negara di Eropa dan Asia.
Isu kekeringan ini mengingatkan penulis kepada artikel yang berjudul ”Hormat Kepada Kehidupan” (Kompas, 20/08/2022) karya Siti Murtiningsih, dosen filsafat di UGM Yogyakarta. Menurut hemat penulis, artikel ini hendak mengajak setiap individu untuk melihat pentingnya persaudaraan kosmik bagi keberlanjutan peradaban manusia.
Dalam uraian yang sarat makna, Siti Murtiningsih juga menunjukkan keprihatinan mendalam perihal kelompok bangsa tertentu yang justru memilih perang daripada menyatukan kekuatan untuk sadar dan mengingat kelemahan-kelemahan yang telah tersingkapkan oleh wabah global pandemi Covid-19. Ketidakberdayaan, kerentanan, dan kerapuhan tatanan sosial, ekonomi, politik yang disingkap oleh satu makhluk renik yang sistem biologisnya jauh lebih sederhana daripada manusia ternyata tidak cukup melahirkan hikmah secara kolektif-global.
Baca juga: Hormat kepada Kehidupan
Sebagian bangsa menggalang gotong royong demi pemulihan global. Sementara itu, sebagian kelompok lainnya justru menunjukkan keangkuhan superstruktur sivilisasinya untuk mengolonialisasi kelompok yang lemah dan tak berdaya.
Kini di tengah upaya penanggulangan (akibat wabah global Covid-19 dan perang), kehidupan tampak kembali tersandung oleh bencana kekeringan di beberapa negara di Eropa dan Asia. Rangkaian peristiwa global beruntun ini (pandemi Covid-19, perang, dan kekeringan) tentu tidak bisa dianggap persoalan sederhana.
Pada aras paling dalam (kesadaran) seharusnya sudah terbersit pertanyaan kritis-etis. Mempertanyakan kembali ideologi ”kemajuan” yang manusia yakini dengan seperangkat ”rasionalitasnya” dan tentang pemahaman atas pilar-pilar fundamental peradaban manusia. Poin-poin ini harus segera menjadi pertanyaan kunci agar posisi makna dan nilai eksistensi manusia serta relasinya dengan seluruh sistem jejaring kehidupan (alam semesta) diperjelas.
Model berpikir
Dalam karyanya bersama Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment (2002), Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno secara radikal mengkritik pemikiran Pencerahan (Aufklarung) yang berkisar pada diskursus ”kemajuan” dengan nalar (rasionalitas) menjadi alat utama. Semula rasionalitas diyakini sebagai juru kunci kemajuan dan pembebasan. Kemajuan sains dan teknologi modern, industri, dan medis menjanjikan kebebasan bagi manusia dari jerat kebodohan, beban kerja yang berlebih, dan penyakit.
Namun dalam perjalanan sejarahnya, dalam proses sejarah pembebasan, terjadi pembalikan. Rasionalisasi berubah menjadi irasionalisasi. Rasionalitas yang dianggap juru kunci kemajuan ternyata turut melahirkan sisi-sisi yang bertentangan seperti terjerumusnya manusia ke dalam ideologi fasis, merebaknya genosida, dan pengembangan senjata pemusnah massal yang terus berlangsung. Itu artinya, kecenderungan kemajuan rasional menjadi kemunduran irasional adalah sangat mungkin. Maka perlu diberi perhatian serius.
Rasionalitas yang dianggap juru kunci kemajuan ternyata turut melahirkan sisi-sisi yang bertentangan seperti terjerumusnya manusia ke dalam ideologi fasis.
Begitu juga teori-teori kemajuan sejak masa Pencerahan yang cenderung menafsirkan sejarah sebagai proses yang melibatkan manusia dan alam dalam ”pertentangan” antara satu dengan yang lainnya. Sejarah kemudian dipandang sebagai upaya pembebasan manusia dari cengkraman alam. Representasi nyata dari rasionalitas Pencerahan pun dapat ditemukan dalam paradigma positivistik ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol alam (Habermas).
Persoalan lain dari rasionalitas Pencerahan yang berujung dominasi adalah konsep berpikir. Berpikir dalam rasionalitas Pencerahan adalah berpikir linear. Berpikir berarti ”membingkai” realitas, ”merumuskan” dalam teori dan pengertian, menyematkan identitas pada realitas.
Menyematkan identitas pada realitas bekerja dengan cara memberi nama (the power of naming). ”Memberi nama” adalah suatu ikhtiar untuk mengapling, memberi batasan pada realitas untuk mudah ditaklukkan dan dikuasai.
Dengan kata lain, cara kerja rasionalitas adalah agresif, ekspansif, dan kolonialistik, berusaha ”menggenggam” realitas dari tataran makro hingga mikro. Maka secara harafiah, peradaban bisa dimengerti sebagai sebuah proses identifikasi atas realitas secara terus-menerus, berkesinambungan, dan tanpa akhir. Itu berarti narasi ”penaklukan” terhadap alam akan tetap berlanjut.
Baca juga: Berpikir Jernih Sehabis Detoks
Dari sudut pandang ini, Adorno meyakini bahwa pemikiran konseptual (rasionalitas) selalu membawa benih-benih dominasi karena kemunculannya didasari oleh kebutuhan terhadap adaptasi. Rasionalitas bekerja secara adaptif terhadap lingkungan alam dengan cara ”memanipulasi” lalu “menaklukkan” realitas.
Kapasitas untuk berpikir secara kritis-rasional, yang semula dimaksudkan mengungkap deviasi dari produk-produk peradaban dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis justru menjadi sebatas mitos. Kapasitas yang semula dimaksudkan untuk menemukan berbagai ketimpangan demi perbaikan justru pada kenyataannya tetap memproduksi ketidakadilan, egoisme terlembaga, dan alienasi kesadaran.
Kini menyusup ke dalam kehidupan karena instrumentalisasi dari kapasitas tersebut (semata-mata alat) untuk mendominasi bumi, alam semesta, dan sesama manusia. Rasionalitas Pencerahan bertransformasi dari alat dominasi (tanpa kemampuan otokritik) menjadi alat anti-pencerahan itu sendiri, di mana berpikir secara logis-dialektis tidak lagi dimungkinkan. Sementara kehidupan hari-hari ini pun tampak masih terbelenggu situasi warisan Pencerahan.
Dengan disokong oleh faktor eksternal berupa motif ekonomi (Marx) dan motif bawah sadar tak terkontrol (Freud), kehidupan berangsur-angsur terbawa ke suatu titik, yang oleh Adorno, disebut malapetaka permanen (permanent catastrophe). Manusia sebagai subyek yang menguasai, tetapi serentak menjadi obyek penguasaannya sendiri.
Oleh karena itu, kemunculan berbagai krisis global seharusnya tidak serta-merta dipandang sebagai bencana alam (natural disasters) maupun lansung ditafsir secara teologis. Dengan salah satu atau lain cara, semua krisis global dikaitkan dengan ”ulah manusia” sehingga harus dikembalikan kepada tanggung jawab manusia.
Tidak berlebihan jika kemunculan virus mematikan dan berbagai bentuk ancaman global selalu terkait dengan model ekonomi, sains, dan teknologi pilihan manusia yang berakar pada pandangan dunia antroposentrik, mekanistik, dan militeristik (Vandana Shiva, 2020). Intinya, fenomena pandemi Covid-19, perang, kekeringan, dan krisis lain sejenisnya harus dibaca, setidaknya minimum, ada yang salah dengan ikhtiar manusia rasional dalam memaknai posisi humanitasnya di tengah alam semesta kehidupan.
Maka dengan mengamati berbagai referensi tentang wabah global, setiap individu harus mulai sadar bahwa peradaban yang dianggap semakin maju ini justru sekaligus menghasilkan kerusakan bagi kehidupan. Di tengah menikmati kemajuan dan produk-produknya, umat manusia sebetulnya serentak mengalami kemunduran peradaban oleh karena kehidupan yang cenderung berakar pada hal-hal berikut.
Di tengah menikmati kemajuan dan produk-produknya, umat manusia sebetulnya serentak mengalami kemunduran peradaban.
Pertama, penegasan posisi sentral manusia pada semesta kehidupan dan hak mutlaknya atas alam. Kedua, alam yang dianggap seperti mesin raksasa sehingga bebas diutak-atik, diintervensi, dan dimanipulasi demi kepentingan manusia. Ketiga, ekonomi kapitalistik global yang perlu ”diamankan” oleh kekuatan militer guna mengukuhkan kekuasaan mutlak atas kehidupan.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa faktor dari semua kemunduran peradaban adalah intervensi berlebihan manusia atas alam atas nama kemajuan ekonomi, industri, profit dalam kerakusan yang dirasionalisasikan dan dilembagakan. Ilusi-ilusi tentang kemajuan mempenetrasi kesadaran dan dunia praktis manusia sehingga kolonialisasi atas bumi sebagai ibu kehidupan melaju tak terkendali.
Tawaran
Melihat semua kenyataan ini keberlanjutan peradaban adalah harapan yang harus dikembalikan kepada manusia. Modernitas dalam konteks rasionalisasi, produksi, dan kemajuan perlu menyertakan pula sikap cerdas memaknai pengalaman penderitaan. Manusia harus selalu mau belajar dari setiap pengalaman penderitaan.
Minim pemaknaan atas pengalaman-pengalaman penderitaan, umat manusia hanya terus-menerus terjebak ke dalam prinsip kritik Adorno bahwa rasionalitas tak punya masa depan. Sebab bagi Adorno, narasi tentang rasionalitas dan kemajuan tidak lebih dari narasi tentang dominasi: dominasi manusia terhadap semesta kehidupan dan terhadap manusia lain. Untuk menghindari kecenderungan ini, manusia harus belajar dari pengalaman penderitaan masa lalu selain untuk tidak mengulang hal-hal yang salah.
Pengalaman penderitaan harus mampu memicu kesadaran untuk membebaskan manusia dari kemungkinan situasi irasionalitas di masa depan.
Pengalaman penderitaan mesti dilihat sebagai hal yang berharga untuk menekan sekaligus melampaui egoisme. Penderitaan sebagai pengalaman obyektif harus mampu ”dibaca” sebagai hikmah. Hikmah berarti ada yang salah dalam rasionalitas dan peradaban sehingga manusia perlu belajar dari kesalahan tersebut dan berkomitmen untuk memperbaikinya.
Maka, pengalaman penderitaan oleh berbagai bencana, termasuk kekeringan yang tengah mengakrabi beberapa negara, harus dapat menginisiasi terciptanya sebuah imperatif kategoris, moral yang berlaku tanpa syarat. Ini dimaksudkan agar rasionalitas tidak selamanya berbuah penghancuran: barbarisme sosial dan runtuhnya (makna) kemanusiaan. Pengalaman penderitaan harus mampu memicu kesadaran untuk membebaskan manusia dari kemungkinan situasi irasionalitas di masa depan.
Dengan pembelajaran atas berbagai pengalaman penderitaan (pengalaman negatif) masa lalu, semakin terbuka kemungkinan bagi umat manusia untuk menciptakan suatu masyarakat dunia yang sama sekali berbeda, yang baru, yang mampu memaknai humanitas sebagai bukan hanya relasi antarmanusia, tetapi sanggup memasukkan narasi tentang planet dan spesies lain sebagai sebuah ”masyarakat universal”. Dengan begitu, persaudaraan kosmik dapat digenggam sebagai model spiritual baru global dalam menggagas keberlanjutan peradaban.
Baca juga: Ancaman Modernitas
Khusus konteks Indonesia, selain mau menimba kebijaksanaan di balik pengalaman penderitaan, aspek-aspek berikut ini pun harus diberi perhatian serius. Pertama, gotong royong, dedikasi, dan komitmen semua pihak perlu ditingkatkan.
Kedua, ketegasan hukum terkait ekologi harus dijunjung tinggi. Kebiasaan ”memperjualbelikan” hukum karena ”kepentingan” tertentu mesti segera dibasmi.
Ketiga, masyarakat adat harus dilindungi bukan ditekan dan didiskriminasi terutama atas nama proyek-proyek raksasa. Alam lingkungan bagi mereka tidak sebatas harta ekonomis, tetapi juga ruang sakral sehingga merekalah yang melestarikannya paling baik.
Pada akhirnya, melalui hal-hal ini, rasionalitas tidak akan selamanya disudutkan semata-mata alat dominasi, tetapi dapat menjadi alat pembebasan dalam arti sebenar-benarnya, dalam arti positif.
Andreas Maurenis Putra, Lulusan S-2 Fakultas Filsafat, Unika Parahyangan, Bandung