Tak ayal, bila kita membiarkan peran dari lembaga-lembaga ”collective bargaining” surut, kita bakal gagal menghadapi tantangan ekologi dunia. Tantangan itu akan menjelma menjadi krisis politik tanpa ujung,
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Selamat siang teman-teman. Tahukah apa yang saya suka tonton di Youtube sebagai pengganti berita internasional? Alam rimba. Satwa liar cagar alam. Saya suka menontonnya ketika satwa liar sergap-menyergap, tanduk-menanduk, cakar-mencakar. Asyik! Apalagi kalau puppy-nya kijang dimangsa singa, atau singa diseruduk kuda nil.
Situasi di cagar alam memang amat mirip dengan situasi internasional. Pertarungan tiada hentinya. Ada pemangsa besar, ada pemangsa kecil. Ada yang bertarung dengan binatang lain jenis. Ada yang sesama jenis. Ada yang berperang secara gerombolan. Ada yang menyelusup tak kelihatan sampai saat menyergap. Ada yang tiba-tiba muncul dari tanah atau tiba-tiba menyambar dari langit. Ada yang menusuk, ada yang menggigit, ada yang mencakar, ada yang melilit, ada yang menyembur bisa. Ada yang memakan mayat sebelum tikus, kecoa, dan ulat tanah datang membersihkannya.
Untunglah semuanya ada saatnya untuk bersanggama dan beranak-pinak agar pertarungan tak berlangsung terus-menerus. Tak usah garuk kepala untuk mengetahui yang mana benar mana salah. Memangsa atau dimangsa tak jadi masalah. Sangat sederhana. Alam berbicara. Titik. Tak sulit diatur manusia. Dipagari, spesies langka dilindungi. No problem.
Lain kalau pertarungan atau perang antarsesama manusia. Lebih sulit ditata. Tak cukup tusuk-menusuk, tembak-menembak, dan bom-mengebom; tak cukup membunuh kaum sipil dan memerkosa wanita, harus disertai wacana moral. Harus ada pengutukan dan pembenaran. Harus ada pahlawan dan angkara murkanya.
Itulah problem yang sesungguhnya dari politik internasional. Moralitas. Tapi, moralitas yang bagaimana? Suka-tidak suka, benar-salah sikap politik cenderung berlindung di belakang institusi. Institusi sering berarti ideologi. Misalnya Putin berlindung secara ”resmi” di belakang Yang Tersuci Metropolit Ortodoks Moscow Kirill. Jadi bom-bom Rusia bukan bom sembarang pabrik: diperciki, paling sedikit simbolis, oleh air suci pengikut Metropolit. Hebat, kan? Untunglah, mudarat ada maslahatnya: ISIS dan Jamaah Islamiyah tidak lagi sendiri menganut ”perang suci”. Ada rekannya lain agama. Pikiran orang memang kian global, kan?
Harus adil. Tanpa Biden, gambaran geopolitik kekinian tidak lengkap. Akibat perang Ukraina, anak buah presiden Amerika (Johnson, Macron, dan Scholz) kini sudah menunduk di hadapannya. Dari ketinggian panggung ”Sang Moralitas” itu sendiri, dia bisa menuduh Putin menerapkan mahadosa genosida. Hebat, kan? Tetapi, selaku presiden Amerika, bukankah dia cenderung melihat kotoran kecil di mata Putin, sedangkan tidak mau melihat balok di matanya sendiri. Bukankah dia juga tetap sesekali berjabatan tangan dengan George W Bush yang sudah masuk sejarah sebagai orang yang melakukan ”perang suci” untuk ”mendemokratiskan” Irak. Bukankah bukti-bukti suksesnya itu kentara sampai sekarang ini?
Apakah detoks saya di atas adalah cukup, teman-teman? Semoga. Yang jelas: kita dibanjiri imej-imej di hape-hape kita. Sejak turunnya peran pers tertulis yang kini ”miskin”, kita dihantam berita-berita yang kadar emosinya tinggi dan kadar deontologinya rendah. Maka, kini kian sulit melihat konflik sebagai keniscayaan obyektif yang dapat dikontrol. Diplomasi macet. Lebih mudah mengelola cagar alam daripada hubungan antarbangsa. Lihat saja akibatnya: Rusia mau diusir dari segala sistem ”tawar-menawar” atau collective bargaining internasional. Termasuk G20. Apakah sikap itu bijak ketika istilah ”bom nuklir” kian sering terdengar di sana sini? Pasti tidak.
Bisa jadi dunia luput dari bahaya nuklir kali ini. Tetapi, bila kita membiarkan semua lembaga antarbangsa dimacetkan oleh pertikaian-pertikaian antarbangsa, bagaimana ke depan? Bagaimana kelak ketika iklim betul-betul memanas, permukaan laut naik, gletser mencair, gurun meluas, dan konflik yang ditimbulkan itu kian banyak jumlahnya.
Tak ayal, bila kita membiarkan peran dari lembaga-lembaga collective bargaining surut, kita bakal gagal menghadapi tantangan ekologi dunia. Tantangan itu akan menjelma menjadi krisis politik tanpa ujung, dan kita bakal menuju Armageddon, perang penghancuran manusia. Bisa jadi 30, 50, atau 100 tahun lagi.
Maka, jangan lupa bahwa hari ini adalah Hari Suci Paskah. Hari penyelamatan manusia.