Indonesia dengan 24 parpol sebenarnya bukan satu-satunya negeri yang boros jumlah parpol. Banyak negara lain yang obral parpol, bahkan beberapa negara maju ada yang tenang-tenang saja.
Oleh
TULUS WARSITO
·5 menit baca
Sampai dengan 15 Agustus, tercatat ada 40 partai politik yang mendaftar sebagai peserta Pemilu 2024. Sebanyak 24 di antaranya dinyatakan lengkap dokumennya dan lanjut ke tahap verifikasi, dan hasilnya akan diumumkan kemudian. Adapun 16 lainnya dianggap tak memenuhi kelengkapan dokumen dan masih dalam pemeriksaan KPU.
Siapa pun meyakini, tak mudah menghafal nama 24 parpol ini, apalagi semua parpol yang jumlahnya 40. Bahkan, petugas KPU dan Badan Pengawas Pemilu pun tak akan mampu menghafal di luar kepala.
Kalau jumlah itu harus disodorkan kepada pemilih, apalagi dalam rincian nama-nama calon anggota legislatif (caleg), tak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan kesan spontan pemilih kecuali ambyar, buyar, tidak tahu harus memilih yang mana. Idealnya pemilih tahu lebih dulu parpolnya, baru memilih calegnya.
Yang muncul di benak mereka kemudian adalah tanda tanya: mengapa kita harus memilih caleg dari begitu banyak parpol? Lebih spesifik lagi, kenapa ada parpol dan caleg yang mau tampil dalam persaingan yang ruwet semacam itu?
Dari segi jumlah, terdapat beberapa jenis sistem kepartaian yang ada di dunia. Dari yang tak punya parpol, tak punya parlemen—biasanya di negeri monarki absolut, seperti Arab Saudi dan Brunei Darussalam.
Kemudian sistem satu partai, seperti umumnya pemerintahan komunis di China dan Korea Utara. Sistem dua partai, seperti di negara maju dengan persebaran penduduk relatif merata.
Sistem satu partai dominan, yang sebenarnya jumlah partainya banyak, tetapi hanya satu partai yang selalu unggul, seperti di Indonesia pada era Orde Baru yang didominasi oleh Golkar (walaupun tak mau disebut sebagai partai ketika itu).
Terakhir, sistem banyak partai yang diklasifikasi lagi dengan yang jumlahnya tiga (sekadar lebih dari dua) dan yang benar-benar banyak (lebih dari tiga).
Indonesia dengan 24 parpol sebenarnya bukan satu-satunya negeri yang boros jumlah parpol. Banyak negara lain yang obral parpol, bahkan beberapa negara maju ada yang tenang-tenang saja dengan banyak parpol, seperti Australia, Perancis, Norwegia, dan Spanyol (untuk menyebut sebagian saja).
Di India, bahkan lebih heboh lagi, dengan pemilu terakhir yang diikuti 900 juta pemilih. Ini pemilu langsung terbesar di dunia. Selain memiliki enam parpol tingkat nasional, mereka juga punya 49 parpol tingkat negara bagian (provinsi).
Simbol yang mereka usung di pemilu kedengaran lucu-lucu, seperti ayam, mangga, jagung, lampu teplok, semacam pemilihan kepala desa di Indonesia. Artinya, negara dengan banyak partai itu wajar saja ternyata.
Sistem pemilihan
Pertanyaannya, kalau boleh dengan sedikit partai, mengapa kita harus bikin banyak partai? Salah satu sebab (bahkan satu-satunya sebab, sepertinya) muncul banyak partai adalah karena pilihan yang kita ambil dalam hal sistem pemilihan.
Ada dua sistem pemilihan yang dikenal selama ini. Sistem distrik (single member district) yang berbasis pada wilayah, dan sistem proporsional (tepatnya sistem perwakilan proporsional) yang berbasis pada kesepakatan jumlah hasil perolehan suara dalam pemilu.
Oleh karena itu, kalau peta kependudukan dan ekonomi kita belum merata, sepertinya kita terpaksa harus puas dengan jumlah parpol yang menggurita.
Banyaknya jumlah partai diakibatkan oleh sistem proporsional yang memberi peluang parpol dengan perolehan suara kecil (yang disepakati) lolos sebagai anggota parlemen. Akibatnya, sejumlah orang berlomba untuk membuat partai guna memburu jumlah minimum itu. Lalu kenapa kita tidak menggunakan sistem distrik saja?
Sistem single member district yang berbasis wilayah dianggap tak cocok dengan kenyataan kependudukan kita yang tak merata. Sistem distrik dengan rumus the winner takes all bisa mengakibatkan under-representation, yaitu wilayah dengan jumlah penduduk sedikit bisa jadi mendominasi parlemen dan wilayah dengan padat penduduk justru tak terwakili.
Memang, atas kesepakatan, bisa saja diberlakukan dua sistem pemilihan sekaligus, seperti terjadi di Jepang yang sebagian wilayah menggunakan sistem distrik, sebagian yang lain sistem proporsional.
Di samping perlu kesepakatan yang memang tak mudah, Jepang melakukannya juga karena tingkat ekonomi warganya sudah merata. Sementara di Indonesia, kesenjangan ekonomi masih tinggi. Oleh karena itu, kalau peta kependudukan dan ekonomi kita belum merata, sepertinya kita terpaksa harus puas dengan jumlah parpol yang menggurita.
Heryunanto
Fusi parpol
Kegelisahan ini sudah sejak lama dicermati oleh Orde Baru. Banyaknya parpol tidak saja berakibat pada mahalnya ongkos pemilu, tetapi juga ongkos politik yang sangat rentan dengan perpecahan.
Pada 1973, ada satu kebijakan penyederhanaan jumlah partai oleh pemerintahan Soeharto, yaitu fusi parpol, dari sembilan parpol dan satu ormas diperas sedemikian rupa menjadi hanya dua parpol dan satu ormas. Kedua parpol dan satu ormas itu ialah Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Golkar.
Ketika itu, Golkar tak mau disebut partai karena sebutan partai identik dengan partai komunis. Memang aneh, tidak mau disebut partai, tetapi ikut pemilu, bahkan menang terus. Dalam konteks ini, sistem partai Orde Baru disebut sebagai sistem satu partai dominan (sebenarnya banyak partai, tetapi hanya satu yang selalu menang terus-menerus).
Mengapa dari sepuluh lembaga ”disederhanakan” menjadi tiga saja? Kenapa tidak sekalian jadi satu partai saja? Karena rezim Golkar tak mau disebut sebagai rezim komunis. Kenapa tidak jadi dua saja? Kalau dua, sangat mungkin terjadi persaingan frontal di mana sangat mungkin Golkar akan kalah.
Banyaknya parpol tidak saja berakibat pada mahalnya ongkos pemilu, tetapi juga ongkos politik yang sangat rentan dengan perpecahan.
Maka, tiga adalah jumlah minimum yang dianggap paling rasional dengan memosisikan Golkar ”bukan sebagai partai”, sedangkan dua partai lainnya mudah diadu domba.
Kalau kita ingin mengulang fusi karena merasa kebanyakan parpol, pasti kita tak mau tanpa partai (karena seperti kerajaan), juga tak satu partai (karena seperti komunis), juga tidak tiga parpol (karena ikut-ikutan Orba). Yang penting jangan berpikir yang tidak-tidak. Semoga!
(Tulus Warsito, Guru Besar Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)