Partai-partai politik pencatut nama masyarakat dituntut untuk bertanggung jawab dengan menelusuri asal muasal data pribadi yang mereka peroleh untuk melengkapi daftar keanggotaan sebagai syarat mendaftar ke KPU.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat yang namanya diduga dicatut oleh partai politik untuk memenuhi syarat keanggotaan calon peserta Pemilihan Umum 2024 menuntut tanggung jawab partai politik agar segera menghapus nama mereka dari Sistem Informasi Partai Politik atau Sipol. Pencatutan mengakibatkan nama masyarakat tercemar, bahkan berpotensi menggagalkan mereka saat akan mendaftar sebagai penyelenggara pemilu.
Aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Sely Martini, mengaku namanya dicatut oleh salah satu partai politik (parpol). Ketika mengecek nomor induk kependudukan (NIK) di website infopemilu.kpu.go.id, ia terdaftar sebagai anggota Partai Hati Nurani Rakyat. Padahal, ia tidak pernah mendaftar sebagai anggota parpol ataupun menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik kepada parpol.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ia pun mengisi formulir tanggapan masyarakat, mengisi surat pernyataan yang menyebutkan bukan bagian dari anggota parpol, serta mengunggah KTP-el ke laman yang disediakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Surat pernyataan juga dikirim ke salah satu anggota KPU Kota Bandung melalui pesan Whatsapp. ”Ternyata mesti mengunggah KTP-el juga. Ini nanti data yang disimpan ke KPU bocor juga enggak?” ucapnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (6/9/2022).
Selain harus menghapus namanya dari Sipol, Sely juga menuntut tanggung jawab parpol pencatut untuk menelusuri asal muasal mereka mendapatkan data pribadinya tersebut. Sebab, selama ini, ia tidak sembarangan memberikan data pribadi ke pihak lain, apalagi ke parpol. ”Harus dikejar siapa pemberi data, dapat KTP-el dari mana. Kalau diperoleh dari jual beli, belinya dari mana, kemudian siapa yang mengunggah datanya harus dibuka ke publik,” katanya.
Menurut dia, pencatutan nama tersebut amat merugikan. Sebab, sebagai aktivis antikorupsi, ia bisa dituding menjadi bagian dari parpol yang diawasinya. Oleh karena itu, ia berencana menggugat parpol pencatut nama masyarakat melalui gugatan class action ke pengadilan. ”Saya sudah dihubungi oleh KPU Kota Bandung, tetapi sampai sekarang nama masih tercatat sebagai anggota parpol di Sipol,” kata Sely.
Sementara itu, warga Maluku, Abdul Nawir, khawatir namanya tidak kunjung dihapus dari Sipol. Padahal, ia sudah melaporkan pencatutan namanya ke KPU Provinsi Maluku, Badan Pengawas Pemilu Provinsi Maluku, bahkan pengurus parpol pencatut. Meskipun parpol sudah memberikan surat keterangan yang menjelaskan bahwa Abdul Nawir tidak pernah terlibat keanggotaan parpol, namanya masih ada di Sipol.
Harus dikejar siapa pemberi data, dapat KTP-el dari mana. Kalau diperoleh dari jual-beli, belinya dari mana, kemudian siapa yang mengunggah datanya harus dibuka ke publik
Selain itu, ia juga belum mendapatkan klarifikasi sekalipun sudah mengisi surat pengaduan masyarakat. Abdul Nawir berharap KPU segera menghapus namanya karena parpol yang mencatut pun sudah menyatakan adanya kesalahan pengunggahan data.
”KPU harus segera menghapus nama saya dicatut di Sipol karena saya ingin mendaftar sebagai penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan. Kalau masih tercatat sebagai anggota parpol, saya tidak bisa mendaftar,” tuturnya.
Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, masyarakat yang menempuh proses pengaduan akan ditindaklanjuti dengan klarifikasi. Jika ternyata namanya dicatut, nama tersebut akan dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai anggota parpol. KPU juga telah menerbitkan surat edaran tentang tanggapan masyarakat ke seluruh KPU kabupaten/kota. Isinya, antara lain, meminta jajaran KPU di daerah melakukan klarifikasi kepada masyarakat yang identitasnya diduga dicatut oleh parpol.
Adapun metode klarifikasi dilakukan secara langsung dengan menghadirkan masyarakat yang mengajukan tanggapan dan mempertemukan dengan parpol yang diduga mencatut. Jika masyarakat keberatan dipertemukan dengan parpol karena alasan tertentu yang dapat mengancam atau merugikan kepentingan orang yang dicatut, penyelenggara dapat mendengar keterangan secara terpisah.
”Hasil klarifikasi dituangkan dalam formulir dan menjadi bahan pertimbangan dalam penetapan parpol peserta pemilu,” kata Idham.
Untuk menjamin kepastian informasi, lanjutnya, publikasi tindak lanjut tanggapan masyarakat dibagi menjadi empat termin. Pertama, pada 1 Agustus hingga 14 September, kemudian 15 September hingga 12 Oktober, lalu 15 Oktober hingga 9 November, terakhir 10 November hingga 7 Desember. ”Publikasi hingga empat termin ini menjadi bukti kami memastikan hak-hak warga negara terjamin dan mewujudkan pemilu yang partisipatif,” kata Idham.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, pencatutan data warga sebagai anggota parpol tidak boleh diselesaikan secara sederhana dengan menghapus data mereka dari Sipol. Sebab, pencatutan data tidak hanya soal NIK, tetapi juga digunakannya KTP-el sebagai persyaratan pemenuhan pengunggahan data.
”Sehingga penyelesaiannya harus menyeluruh termasuk penelusuran asal usul mengapa data warga bisa dicatut sebagai anggota partai,” ujarnya. Adapun dalam pengunggahan data keanggotaan parpol di Sipol, parpol wajib melampirkan Kartu Tanda Anggota Parpol disertai KTP-el anggota.
Menurut Titi, warga yang namanya diduga dicatut oleh parpol berhak mendapatkan permintaan maaf dari parpol tersebut. Parpol juga harus memulihkan kredibilitas warga yang dicatut secara formal melalui pengumuman resmi dari KPU yang menyatakan bahwa mereka bukanlah anggota parpol.
Di sisi lain, parpol juga perlu diberi kesempatan membela diri atau mengklarifikasi atas laporan yang ada. Kesempatan ini diperlukan agar parpol tidak dirugikan karena adanya fitnah atau tuduhan sepihak dari oknum yang tidak bertanggung jawab.
”KPU perlu secara terbuka menyampaikan laporan kinerja terhadap tindak lanjut atas berbagai tanggapan masyarakat yang masuk kepada mereka. Data tanggapan yang masuk beserta sejauh mana tindak lanjut sudah dilakukan juga harus dibuka untuk memberikan keyakinan kepada publik bahwa laporan mereka memang ditindaklanjuti dan pencatutan tidak akan berlanjut,” tutur Titi.