Indonesia Menjauh dari Resesi
Perekonomian Indonesia terus tumbuh ekspansif dan kian menjauhi zona resesi, yang kini sedang mengancam negara-negara lain. Hal ini dimungkinkan karena keberhasilan meracik bauran kebijakan ekonomi makro dan moneter.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus memperlihatkan kinerja yang makin baik dalam kurun setahun terakhir.
Pertumbuhan produk domestik bruto triwulan II-2021 sebesar 3,51 persen (year-on-year/yoy) dan meningkat menjadi 5,02 persen triwulan IV-2021. Kemudian, triwulan I-2022 sebesar 5,01 persen dan triwulan II-2022 mencapai 5,44 persen.
Kinerja ekonomi nasional memperlihatkan pertumbuhan yang konsisten dalam kurun waktu setahun terakhir sehingga Indonesia bisa dikatakan mampu melewati berbagai ujian berat semenjak munculnya pandemi Covid-19 pada 2020. Kondisi ekonomi global yang pasang surut dan memperlihatkan ketidakpastian akibat berbagai faktor ternyata tak jadi penghalang lajunya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Perekonomian Indonesia terus tumbuh ekspansif dan kian menjauhi zona resesi, yang kini sedang mengancam negara-negara lain. Hal ini dimungkinkan karena keberhasilan meracik bauran kebijakan ekonomi makro dan moneter, yang memenuhi aspek 3T: tepat waktu, tepat kebijakan, dan tepat sasaran.
Perekonomian Indonesia terus tumbuh ekspansif dan kian menjauhi zona resesi, yang kini sedang mengancam negara-negara lain.
Tepat waktu karena pemerintah sangat sigap membuat berbagai kebijakan di awal pandemi sehingga dampak negatif di sektor ekonomi bisa ditekan dan dimitigasi sebaik-baiknya. Tepat kebijakan karena pemerintah membuat berbagai kebijakan untuk mengatasi perlambatan di berbagai sektor sehingga kejatuhan di sektor-sektor ekonomi tertentu berhasil diminimalkan.
Tepat sasaran, mengingat kebijakan itu sangat jelas ditujukan kepada industri dan pelaku usaha serta masyarakat yang membutuhkan sehingga mereka yang terdampak pandemi mendapatkan kelonggaran dan subsidi.
Pertumbuhan yang ekspansif pada triwulan II-2022 juga dialami Singapura (4,8 persen), Filipina (7,4), Vietnam (7,7), Malaysia (8,9), sedangkan Thailand hanya 2,5 persen. Pertumbuhan negara-negara Uni Eropa sebagian mengalami peningkatan, seperti Inggris (3,2), Italia (1,0), dan Spanyol (1,1). Namun, ada juga yang stagnan, seperti Jerman yang tumbuh nol persen di triwulan II-2022.
Di belahan lain dunia, mulai muncul kembali risiko resesi. AS sebagai ekonomi terbesar mengalami kontraksi di triwulan I dan II-2022, masing-masing minus 1,6 persen dan minus 0,9 persen.
Kunci sukses Indonesia
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dan ekspansif enam bulan pertama 2022 disebabkan beberapa faktor. Pertama, kebijakan moneter ekspansif yang tetap mempertahankan suku bunga rendah memberikan dampak sangat positif terhadap perekonomian.
Di tengah ancaman kenaikan bunga acuan oleh beberapa bank sentral di dunia, suku bunga acuan BI tetap 3,50 persen, bertahan sejak Februari 2021. Kondisi inilah yang sangat membantu dan memungkinkan bank-bank menyalurkan kredit dengan suku bunga rendah. Ekspansi kredit perbankan terus menunjukkan pertumbuhan dari Rp 5.755,5 triliun per Desember 2020 menjadi Rp 6.156,2 triliun per Juni 2022.
Meningkatnya pertumbuhan kredit memberikan dampak luar biasa terhadap kegiatan ekonomi, baik konsumsi maupun investasi, sebagai kontributor utama pertumbuhan ekonomi.
Kedua, kebijakan suku bunga rendah itu mampu menjaga likuiditas uang di pasar, tetap dalam posisi longgar. Hal ini terlihat dari pertumbuhan uang beredar dalam arti sempit (M1) mencapai 16,60 persen dan pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) mencapai 10,64 persen per Juni 2022 (yoy).
M1 adalah uang yang ada di masyarakat dan dapat dipergunakan langsung untuk transaksi pembayaran, sedangkan M2 adalah M1 ditambah uang yang tersimpan dalam bentuk tabungan dan deposito. Adapun rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga di sektor perbankan berada di angka 29,99 persen per Juni 2022 sehingga perbankan masih memiliki cukup amunisi untuk mendukung intermediasi perbankan.
Baca juga: Orkestrasi Kebijakan
Sementara itu, pertumbuhan simpanan masyarakat yang ada di sistem perbankan nasional terus tumbuh mencapai 9,13 persen di periode yang sama.
Ketiga, kebijakan fiskal yang akomodatif sangat membantu laju pertumbuhan ekonomi. Salah satu kebijakan yang memberikan dampak positif adalah pemberian subsidi di berbagai sektor.
Pemerintah telah menyalurkan berbagai subsidi, seperti subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi upah untuk buruh, bantuan langsung tunai (BLT) untuk UMKM, BLT dana desa, BLT minyak goreng, bansos keluarga harapan, dan masih banyak lagi. Anggaran subsidi yang disiapkan selama 2022 sekitar Rp 578,1 triliun. Semua itu dilakukan agar daya beli masyarakat terjaga dengan baik dan mampu menekan laju inflasi.
Tanpa adanya subsidi, harga BBM akan dibiarkan naik mengikuti mekanisme harga pasar yang sedang tinggi-tingginya. Akibatnya, harga barang dan jasa bisa terkerek naik dan tanpa bisa dikendalikan lagi mengingat BBM menjadi salah satu bagian dari biaya produksi yang harus diperhitungkan oleh para produsen ataupun penyedia jasa.
Keempat, naiknya harga beberapa komoditas dua tahun terakhir telah memberikan tambahan pemasukan dalam bentuk keuntungan tak terduga (windfall) kepada pemerintah. Harga minyak mentah yang berada di kisaran 40 dollar AS/barel pada puncak pandemi 2020 melonjak menjadi 68 dollar AS pada 2021 dan 102 dollar AS pada 2020. Setiap kenaikan 1 dollar AS harga minyak mentah, pemerintah akan mendapatkan windfall Rp 400 miliar. Keuntungan inilah yang dipakai pemerintah untuk memperkuat berbagai jenis subsidi.
Untuk batubara, pada 2020 harga batubara acuan masih di kisaran 50 dollar AS/ton, meningkat menjadi 160 dollar AS/ton pada 2021 dan 319 dollar AS/ton pada Juli 2022. Lonjakan harga batubara ini merupakan respons atas krisis energi di banyak negara. Negara-negara maju yang menghentikan impor gas alam dari Rusia mengaktifkan kembali sumber energi fosilnya.
Kelima, kinerja sektor industri pengolahan terus memperlihatkan tren yang meningkat, tecermin dari data Prompt Manufacturing Index (PMI) yang dikeluarkan BI, yang naik dari 51,77 persen di triwulan I-2022 menjadi 53,61 persen di triwulan II-2022. Industri pengolahan selama ini menjadi penyumbang utama bagi PDB Indonesia. Peningkatan PMI dipicu meningkatnya jumlah pesanan barang, kenaikan volume produksi barang, dan juga persediaan barang jadi.
Baca juga: Resiliensi Pertumbuhan dan Subsidi BBM
Sementara Purchasing Managers’ Index untuk Juni 2022 berada di level 50,2. Meski masih berada di zona ekspansif, pencapaiannya sedikit di bawah Maret 2022 yang 51,3 poin. Kenaikan harga bahan baku impor menyebabkan volume produksi untuk beberapa kegiatan manufaktur sedikit menurun.
Secara umum, kedua indeks menggambarkan kinerja mesin-mesin industri yang terus bergerak ekspansif.
Ketidakpastian ke depan
Saat ini kita bisa membanggakan diri kepada dunia internasional bahwa ekonomi Indonesia masih imun dari ancaman resesi, bahkan ancaman stagflasi yang sedang ditakutkan banyak negara.
Namun, masih tingginya ketidakpastian ke depan membawa risiko permasalahan baru bagi semua negara, tak terkecuali Indonesia. Bank Dunia dan IMF meramalkan pertumbuhan ekonomi melambat pada 2022. Pertumbuhan global sebesar 5,7 persen pada 2021 diperkirakan turun menjadi 2,9 persen pada 2022. Bahkan, sebagian ekonom meramalkan ekonomi global akan makin suram dan gelap ke depan, dengan pertumbuhan di kisaran 1,8-2 persen saja.
Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, dunia saat ini sedang mengalami risiko stagflasi karena laju inflasi yang sangat tinggi dibarengi tren pertumbuhan ekonomi yang terus menurun.
Bagi Indonesia, ini bisa memicu pelemahan ekspor dan menghambat investasi. Inflasi yang terus melaju cepat perlu terus dimonitor dan tak bisa dianggap enteng karena dampaknya sangat dahsyat bagi pelaku usaha dan masyarakat. Meningkatnya harga barang tidak hanya mengurangi daya beli masyarakat, tetapi juga berpotensi meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.
Kedua, dunia saat ini sedang mengalami tiga bentuk ancaman serius yang bisa memberikan efek domino sangat besar: risiko kenaikan harga energi, risiko kenaikan harga pangan, dan risiko geopolitik. Kenaikan harga energi dan pangan telah memakan banyak korban, di antaranya Sri Lanka, Pakistan, Panama, Ekuador, dan Afrika Selatan.
Naiknya harga energi dan pangan membuka peluang makin banyak munculnya masyarakat yang memasuki jalur kemiskinan. Sementara risiko geopolitik sebagai akibat dari perang Rusia-Ukraina akan memengaruhi mata rantai pasokan bahan baku kegiatan produksi. Risiko geopolitik menjadi makin meningkat saat ini dengan naiknya ketegangan politik China-Taiwan.
Pemerintah perlu terus memantau kondisi global dan mengantisipasi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi setiap saat.
Sebagai dampak dari perubahan ekonomi global yang tak menentu, bank sentral di berbagai negara telah mengadopsi kebijakan moneter yang lebih ketat dengan mendongkrak suku bunga acuan. Tak terkecuali BI yang baru saja menaikkan bunga acuan dari 3,50 persen menjadi 3,75 persen sebagai respons terhadap kondisi ekonomi saat ini.
Pemerintah perlu terus memantau kondisi global dan mengantisipasi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi setiap saat. Perlu disimulasikan berbagai skenario kemungkinan yang akan terjadi, mulai dari skenario terbaik hingga terburuk. Untuk merespons kondisi tersebut, pemerintah dapat menyiapkan berbagai rencana bauran kebijakan mulai dari sekarang, yang memenuhi aspek 3T: tepat kebijakan, tepat waktu, dan tepat sasaran. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan itu nantinya dapat langsung dieksekusi apabila situasi yang diskenariokan benar-benar terjadi.
Agus Sugiarto, Kepala OJK Institute