Konsolidasi kebijakan tampaknya lebih penting daripada komunikasi itu sendiri. Jika wacana sudah dilontarkan dan baru dilakukan konsolidasi kebijakan, kepercayaan publik berisiko tak diperoleh.
Oleh
A Prasetyantoko
·5 menit baca
Perdebatan tentang kenaikan suku bunga sebagai respons tingginya inflasi terjadi di banyak tempat dan melibatkan banyak kalangan, termasuk para ekonom papan atas. Jason Furman dari Universitas Harvard mewakili kelompok yang mendesak kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed) guna memerangi inflasi. Sementara James K Galbraith dari Universitas Texas Austin di pihak yang berseberangan mengingatkan risiko kenaikan suku bunga pada pengangguran.
Secara sinis, Galbraith menyindir rekannya dari Harvard yang akan mendapat keuntungan finansial dari investasi dan aset keuangannya jika suku bunga dinaikkan. Kenaikan suku bunga juga melibatkan polarisasi kebijakan yang berorientasi pada kelompok elite dan non-elite.
Di mana pun, kenaikan suku bunga selalu menimbulkan dilema yang tak seragam responsnya. Meski semua sepakat kenaikan suku bunga tak terhindarkan, kapan dan berapa besar kenaikan itu menjadi perdebatan.
Selebihnya, kebijakan moneter tak pernah bisa bekerja sendiri, dia selalu berada dalam satu orkestrasi dengan kebijakan lain yang harus dimainkan secara komprehensif. Bertumpu pada kenaikan suku bunga saja, jelas tak akan cukup. Persoalannya sangat kompleks.
Kebijakan moneter tak pernah bisa bekerja sendiri, dia selalu berada dalam satu orkestrasi dengan kebijakan lain yang harus dimainkan secara komprehensif.
Begitu pun ketika Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia akhirnya memutuskan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7RR) sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen setelah 18 bulan tanpa perubahan.
Meski kenaikan suku bunga tak terhindarkan, banyak pihak beranggapan kebijakan ini terlalu cepat karena sejauh ini inflasi masih terkendali. Belum ada urgensi menaikkan suku bunga.
Namun, inflasi adalah soal ekspektasi. Oleh karena itu, kebijakan suku bunga harus merujuk pada situasi masa depan. Sangat mungkin itulah mengapa bank sentral memilih bersikap mendahului keadaan (ahead the curve).
Tingginya inflasi di banyak negara tak terlepas dari perubahan lanskap globalisasi yang terjadi belakangan ini. Jika selama ini negara maju diuntungkan dengan kelenturan mobilitas sumber daya (modal, tenaga kerja, dan sumber daya alam) secara efisien, belakangan konstelasinya berubah total.
Ke depan, ekonomi global tak lagi berbasis efisiensi, tetapi pertimbangan keamanan. Akibatnya, tingkat harga di pasar dunia akan cenderung meningkat.
Dilema kebijakan
Sebenarnya, perubahan sudah terjadi sejak 2018 ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump mencanangkan perang dagang terhadap China. Diempaskan pandemi Covid-19, disusul perubahan konstelasi geopolitik yang ditandai dengan krisis Ukraina, globalisasi pun tak lagi seperti yang sebelumnya berjalan.
Mata rantai pasok global berubah drastis. Inflasi tak saja disumbang oleh melimpahnya likuiditas akibat kebijakan moneter ultra-longgar. Inflasi juga didorong semakin mahalnya biaya produksi global, termasuk harga pangan dan energi.
Perekonomian domestik terkena imbas perubahan lanskap global tersebut melalui kenaikan harga komoditas impor. Ancaman krisis pangan sudah mengemuka menyusul tingginya impor bahan pangan utama, seperti gandum. Muncul kepanikan karena beberapa produk berbasis gandum, seperti mi instan, diperkirakan mengalami kenaikan harga drastis. Demikian pula ketergantungan pada impor minyak akan semakin membengkakkan besaran subsidi energi.
Wacana pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sudah telanjur menjadi diskusi publik sehingga muncul ekspektasi kenaikan harga BBM yang tentu akan diikuti kenaikan tingkat harga secara umum.
Namun, belakangan pemerintah ragu menaikkan harga BBM. Pemerintah memperhitungkan efeknya terhadap kenaikan harga atau lonjakan yang berujung pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Risiko pelemahan rupiah cukup besar, sementara harga minyak dunia juga masih tidak pasti. Belum lagi jika tingkat konsumsi energi domestik meningkat dari perkiraan.
Kementerian Keuangan memperhitungkan harga solar yang sekarang ini Rp 5.150 per liter. Seharusnya, jika mengikuti harga pasar, harga solar Rp 13.950 per liter. Oleh karena itu, pemerintah memberikan subsidi Rp 8.000 per liter. Demikian juga dengan pertalite yang masih disubsidi sebesar Rp 6.800 per liter, sementara subsidi elpiji 3 kilogram mencapai Rp 14.250 per kilogram.
Akibatnya, total subsidi dan kompensasi yang pada APBN 2022 dianggarkan Rp 152,5 triliun telah melonjak menjadi Rp 502,4 triliun. Jika tidak ada perubahan harga, subsidi pemerintah hingga akhir tahun akan mencapai Rp 698 triliun. Dengan catatan, harga minyak mentah masih pada kisaran 105 dollar AS per barel, sementara nilai tukar Rp 14.700.
Risiko pelemahan rupiah cukup besar, sementara harga minyak dunia juga masih tidak pasti. Belum lagi jika tingkat konsumsi energi domestik meningkat dari perkiraan.
Dilemanya cukup jelas. Jika harga pertalite, solar, dan elpiji tidak naik, subsidi bengkak. Namun, jika harga energi dilepas serentak, inflasi bisa terkerek di atas 7 persen atau terjadi hiperinflasi. Jika inflasi melonjak, suku bunga perlu dikerek ke atas secara progresif. Tampaknya, dinamika ini akan bersifat jangka panjang.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, Bank Indonesia bergerak cepat dengan menaikkan suku bunga acuan senilai 25 basis poin. Orkestrasi kebijakan perlu dimainkan melalui pembatasan konsumsi BBM serta kenaikan moderat sekitar 30 persen. Termasuk komitmen menambah belanja sosial guna melindungi kelompok rentan yang akan terimbas dengan kenaikan harga. Dengan demikian, tercipta orkestrasi kebijakan, mulai dari moneter, fiskal, sektoral, hingga skema perlindungan sosialnya.
Kebijakan publik tak selalu soal benar atau salah, tetapi diterima atau tidak oleh para pemangku kepentingan utama. Dalam iklim demokrasi, mengeksekusi kebijakan publik tentu membutuhkan keahlian tersendiri.
Komunikasi publik terkait dengan wacana kenaikan harga bahan bakar minyak sebetulnya sudah dilakukan cukup lama, bahkan disampaikan oleh Presiden Joko Widodo di berbagai kesempatan dan forum. Namun, implementasinya belum matang karena masih membutuhkan koordinasi, termasuk kesepakatan politik dengan parlemen dan partai politik.
Kebijakan publik tak selalu soal benar atau salah, tetapi diterima atau tidak oleh para pemangku kepentingan utama. Dalam iklim demokrasi, mengeksekusi kebijakan publik tentu membutuhkan keahlian tersendiri.
Urgensi konsolidasi kebijakan tampaknya lebih penting daripada komunikasi itu sendiri. Berbagai dilema dalam kebijakan publik hanya bisa dipecahkan dengan koordinasi (alignment) guna mencapai konsensus. Jika wacana sudah dilontarkan dan baru dilakukan konsolidasi kebijakan, kepercayaan publik berisiko tak diperoleh