Masalah-masalah dengan depresi dan penyakit mental lainnya sering dibungkam oleh mereka sendiri yang menderita.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·6 menit baca
Beberapa orang yang bekerja di usaha rintisan (start up) mengaku terlalu lelah dengan tuntutan kerja yang kadang tidak jelas. Mereka sudah memilih berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater. Sayang sekali, isu kesehatan mental di kalangan pelaku usaha rintisan kurang mendapatkan perhatian. Isu ini tenggelam dalam isu yang menghebohkan, mulai dari gemerlap kehidupan usaha rintisan hingga kabar pendanaan baru dari pemodal ventura. Kabar pendanaan lebih banyak menghiasi media dibandingkan masalah yang sedang dihadapi pekerja di usaha rintisan.
Ungkapan kelelahan mental di kalangan usaha rintisan kerap kita dengar dari mereka dan juga sering muncul di beberapa akun media sosial. Beberapa masalah yang sering dikeluhkan seperti proyek yang tidak jelas, atasan yang tidak mau mendengar suara bawahan, atasan yang meminta sebuah proyek diselesaikan tanpa memberi penjelasan proyek itu sendiri, kompetisi yang sangat tinggi, dan perintah-perintah yang tidak mempunyai tujuan yang jelas.
Di banyak negara sebenarnya masalah ini sudah banyak diungkap. Meski isu lama, sejumlah media mengingatkan perusahaan mewaspadai kembali berbagai masalah pada tahun ini. Mulai dari pandemi yang belum selesai dan ancaman masalah ekonomi global membuat kesehatan mental kembali diangkat. Di setiap krisis, masalah kesehatan mental akan makin meningkat dan sangat mungkin kasusnya makin beragam.
Sebuah tulisan di Techcrunch pada tahun 2018 pernah membahas masalah ini. Penulis bernama Jake Chapman mengawalinya dengan kisah tiga tokoh terkenal. Colin Kroll adalah salah satu pendiri Vine dan HQ Trivia yang keduanya sangat terkenal dan membawa kegembiraan bagi jutaan orang, Anthony Bourdain telah menjadi koki, jurnalis, dan filsuf yang membawa pemahaman dan keterhubungan ke jutaan kehidupan. Robin Williams membangun karier sebagai komedian dan aktor yang brilian.
Kesamaan yang dimiliki ketiga orang tersebut adalah bahwa mereka semua adalah orang-orang yang berada di puncak ketenaran mereka dan mereka semua mati terlalu cepat. Kematian mereka adalah sebuah tragedi. Penulis menyebut, yang paling cemerlang dan kreatif di antara kita kadang-kadang yang paling bermasalah dan tiada tandingnya di dalam ekosistem kewirausahaan. Dengan setiap kematian yang sebenarnya tidak perlu terjadi, kesehatan mental menjadi fokus publik namun hanya sebentar.
Perhatian publik itu tidak lebih dari siklus berita dan tidak ada yang berubah. Heboh di awal kasus, tetapi kemudian berlalu begitu saja. Pernyataan-pernyataan klise muncul dan sekadar menghiasi media. Padahal, dengan makin maraknya kasus dan keluhan tentang kesehatan mental, kita harus menanggapi masalah ini dengan serius dan kita perlu bertindak segera. Kita tidak bisa lagi menunggu sampai masalah ini menjadi akut. Kita mencemaskan di Indonesia masalah akan makin berat di tengah tidak adanya data yang mendukung. Siapa mau peduli dengan anak-anak muda yang sekarang menggilai kerja di perusahaan teknologi dan usaha rintisan?
Masalah kesehatan mental menjadi makin krusial di tengah ancaman resesi global. Para pendiri perusahaan dituntut untuk melapangkan jalan bisnis mereka sehingga harus memiliki keuangan yang sehat. Mereka tidak bisa lagi bergantung dari seri pendanaan karena investor mulai mengerem pendanaan. Tuntutan ini tentu berdampak ke semua lini hingga karyawan paling bawah. Ketegangan tentu akan mewarnai hari-hari kerja di lingkungan usaha rintisan. Karyawan akan mendapat tuntutan lebih dan tidak lagi bisa leluasa. Umumnya mereka tidak mau menceritakan masalah mereka sehingga serangan kesehatan mental tidak muncul ke permukaan.
Persoalan ini memang pelik. Kecenderungan untuk mengungkapkan masalah mereka sangat jarang terjadi. Masalah-masalah dengan depresi dan penyakit mental lainnya ini sering dibungkam oleh mereka sendiri yang menderita. Sering kali dibutuhkan tragedi untuk menyalakan kembali percakapan tentang mereka sendiri dan kesehatan mental. Berdasarkan data yang diungkap oleh laman Orchard Benefits, antara tahun 2011 dan 2015 beberapa kasus bunuh diri terkenal di dunia usaha rintisan mengungkap masalah ini, termasuk kematian Austen Heinz (seorang pengusaha biotek dan pendiri Cambrian Genomics), Aaron Swartz (salah satu pendiri Reddit), dan Jody Sherman (pendiri Ecoom).
Masalah-masalah dengan depresi dan penyakit mental lainnya ini sering dibungkam oleh mereka sendiri yang menderita.
Salah satu masalah utama di balik depresi para pendiri usaha rintisan adalah bahwa pengusaha tidak memiliki sistem perawatan diri yang memadai. Menurut majalah Fortune, 13 persen usaha rintisan gagal karena pendirinya kehilangan fokus, 9 persen gagal karena kehilangan semangat, dan 8 persen gagal karena pendiri kelelahan. Artinya, 30 persen usaha rintisan gagal karena keadaan emosional pendirinya. Pengusaha lebih rentan terhadap penyakit mental karena mereka cenderung mengabaikan kesehatan mereka seperti pola makan mereka sering buruk, mereka hampir tidak pernah cukup tidur, dan banyak yang tidak pernah meluangkan waktu untuk berolahraga. Mentalitas usaha rintisan yang mendorong diri sendiri ke jurang dapat memicu kerentanan suasana hati, yang membuat stres dan kecemasan menjadi lebih sulit untuk diatasi.
Sebuah tulisan dari Zane Landin di laman The Entrepreneurs menyebutkan, karena fokus utama wirausaha adalah meluncurkan usaha rintisan dan memulainya, banyak yang mungkin gagal memasukkan keragaman dan inklusi selama fase awal pengembangan usaha mereka. Mereka beralasan persoalan itu bukan merupakan prioritas. Faktanya, sebenarnya lebih baik para pemimpin perusahaan mulai mendorong komunitas agar memiliki keragaman sebelum menjadi organisasi yang kompetitif sehingga bisa menciptakan ruang yang lebih inklusif, tumbuh secara organik dari perspektif yang berbeda, dan menarik bakat-bakat yang hebat.
Berkait dengan kesehatan mental, keberadaan komunitas diperlukan untuk memperkuat usaha rintisan dan lingkungan tempat kerja secara keseluruhan. Bisnis seperti itu tidak hanya sukses karena pendiri dan produk yang menginspirasi. Bisnis tersebut muncul juga dari tim yang mau melibatkan semua dan didasarkan pada apa yang dapat dibuat oleh para anggotanya. Pada akhirnya, pekerjaan terbaik dihasilkan ketika karyawan merasa diberdayakan dan terinspirasi untuk menampilkan diri mereka yang sebenarnya. Kesehatan mental menjadi faktor penting di dalam keberhasilan perusahaan ke depan.
Untuk membangun suasana seperti itu, salah satunya adalah memunculkan budaya empati di tengah masalah masyarakat dan kesehatan mental mereka. Sayang sekali, topik kesehatan mental telah distigmatisasi selama beberapa dekade ke titik dimana karyawan merasa tidak nyaman berbicara tentang masalah kesehatan mental pribadi mereka. Akan tetapi, pandemi telah memudahkan perbincangan soal kesehatan mental dan menghadirkan kesempatan bagi perusahaan untuk merangkul karyawan dan mengajak mereka mengatasi masalah tersebut. Karyawan diajak berkomunikasi bukan hanya soal pekerjaan saja.
Kunci masalah ini adalah di pemimpin perusahaan untuk memahami masalah ini dan melakukan tindakan. Pemahaman saja tidak cukup. Mereka harus melakukan tindakan. Ketika mengetahui ada karyawan yang mengalami masalah kesehatan mental, maka mereka harus langsung menangani. Fasilitas pelayanan diharapkan memungkinkan karyawan bisa mengutarakan masalahnya. Sebuah perusahaan besar telah memiliki sistem yang mendorong karyawan mengungkapkan perasaannya setiap hari. Apabila saja hanya sampai tahap simpati formal, karyawan masih akan menganggap bahwa perusahaan mereka tidak peduli dengan masalah karyawan.