Menciptakan IKN yang Inklusif
Inisiatif IKN Nusantara mengandung potesial dampak ”psiko-sosio-antropologis” yang tidak kecil. Perlu ada serangkaian kajian strategis untuk memitigasi dampak tersebut.
Ada kesan kuat bahwa Ibu Kota Negara yang baru adalah upaya ”me-Nusantara-kan Indonesia” Ini adalah antitesis dari ”Indonesia yang Jakarta dan/atau Jawa sentris”. Upaya yang terlambat tetapi tetap penting, sejauh beberapa duri dalam daging dapat disingkirkan.
Betapa pun IKN akan mengubah struktur orang (demografi), ruang (bentang alam), barang (komoditas), dan uang (modal) di kawasan itu. Dalam situasi hari ini, keempat aspek itu perlu dipahami dan dimitigasi dampaknya. Sebab, terdapat kesenjangan dengan elemen-elemen baru yang akan datang/masuk kemudian.
Saat menetapkan lokasi dikatakan bahwa tingkat kepadatan penduduk di lokasi IKN terpilih terhitung sangat rendah. Potensi konflik sosial juga rendah (Bappenas, 2019). Namun, situasi tentu akan berbeda setelah IKN itu benar-benar sudah terbentuk.
Baca juga: Tentang Satu Masa Depan Nusantara
Disebutkan pula, saat ini total jumlah penduduk di kawasan IKN sekitar 147.000 jiwa saja. Namun, pada tahun 2045, saat IKN sudah beroperasi penuh, populasi diperkirakan menjadi 1,7 juta-1,9 juta jiwa (Bappenas 2020). Sebuah pertumbuhan sekian kali lipat dari situasi hari ini.
Hubungan kelompok etnik
Komposisi penduduk berdasarkan asal-usul kelompok etnik bersifat heterogen. Campuran antara penduduk asli dan pendatang. Penduduk asli berasal dari kelompok etnik Dayak Paser dan Dayak Kutai yang muncul seiring dengan berdirinya Kesultanan Paser dan Kutai, mayoritas memeluk agama Islam (Wijaya, 2022; Bappenas, 2020).
Tiga kelompok imigran utama yang menghuni wilayah IKN, yaitu Jawa (yang masuk ke wilayah itu melalui program transmigrasi), Bugis, Banjar. Orang Dayak (telah) menjadi minoritas di kawasan itu. Jumlahnya tak lebih dari 10 persen dari populasi.
Jika sentimen lama ini tidak dikelola, dikhawatirkan sentimen IKN sebagai wujud sentimen ’pusat menyengsarakan daerah’ akan terus menguat.
Saat ini komposisi asal-usul kelompok etnik tidak—tepatnya belum—menjadi masalah sosial yang mengemuka. Kalaupun ada, masih berupa ”bisik-bisik tetangga”. Hal itu terkait dengan penguasaan struktur barang dan uang yang relatif dikuasai oleh warga dari kelompok-kelompok etnik tertentu saja.
Indikasi adanya kecemburuan sosial berbasis kelompok etnik ini bukannya tidak ada. Dalam konteks kepastian tenurial, misalnya, kecemburuan penduduk asli (Dayak) kepada warga transmigran bukanlah cerita yang asing dalam pembicaraan sehari-hari sejak lama. Jika sentimen lama ini tidak dikelola, dikhawatirkan sentimen IKN sebagai wujud sentimen ”pusat menyengsarakan daerah” akan terus menguat.
Masalah kepastian hak adat
Corak kegiatan ekonomi harian warga di kawasan IKN saat ini utamanya adalah petani/buruh/pekerja/pegawai. Diikuti pekerja lepas di posisi kedua, dan pekerja keluarga/tidak dibayar (family workers/unpaid) di posisi ketiga.
Komunitas lokal di wilayah ekspansi IKN mengelola lahan sekitarnya untuk kebutuhan permukiman, bercocok tanam, serta untuk pengadaan fasilitas sosial dan keagamaan. Dari hutan, penduduk mengumpulkan sejumlah komoditas nonkayu, seperti lebah madu, rotan, dan berbagai bentuk sistem wanatani lainnya.
Kajian-kajian yang dilakukan Bappenas (2019 dan 2020) menunjukkan persoalan tanah cukup banyak. Saat ini terdapat berbagai kegiatan pengelolaan hutan, pertambangan, dan perkebunan yang dikerjakan oleh beberapa perusahaan swasta. Klaim wilayah berdasarkan perizinan banyak yang mengalami tumpang tindih. Tumpang tindih juga terjadi berdasarkan klaim komunitas adat dan Kesultanan Kutai.
Klaim wilayah berdasarkan perizinan banyak yang mengalami tumpang tindih. Tumpang tindih juga terjadi berdasarkan klaim komunitas adat dan Kesultanan Kutai.
Persoalan tanah ini tentu akan semakin kompleks dengan adanya kebutuhan tanah untuk pembangunan berbagai fasilitas dan infrastruktur proyek IKN. Bahkan, diperkirakan proses pemindahan lokasi permukiman penduduk tidak akan terhindarkan.
Hasil kajian yang dilakukan BRIN (2021) dan juga laporan (sementara) beberapa peneliti yang sedang melakukan penelitian lapangan melaporkan bahwa persoalan tanah makin mengemuka saat ini. Praktik jual beli lahan yang melibatkan para spekulan makin marak. Regulasi yang diberlakukan pemerintah daerah setempat untuk mencegah arus jual beli ini tidak mampu menghentikannya.
Di tengah situasi tidak adanya—atau belum adanya—kepastian hak penduduk asli (masyarakat adat) atas tanah, maka perkembangan pelepasan hak dan/atau perpindahan hak penguasan lahan ini tentu akan berdampak buruk kepada kelompok-kelompok masyarakat yang ada di tapak proyek IKN. Dalam hal ini terutama terhadap kelompok/komunitas adat yang bersangkutan.
Baca juga: Suara Lirih Masyarakat Adat di Tepian IKN
Sementara, di pihak lain, instrumen hukum yang menjamin kepastian hak masyarakat adat atas tanah/lahan—dan juga hutan—masih menghadapi masalah yang serius, baik dari segi content of law, structure of law, maupun culture of law.
Memang sudah ada regulasi yang diberlakukan khusus untuk pengadaan tanah di kawasan IKN, yakni Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2022 tentang tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di Ibu Kota Nusantara. Namun, regulasi ini dinilai belum cukup untuk mengatasi persoalan kepastian tenurial yang dihadapi oleh kelompok-kelompok masyarakat tempatan itu (Zakaria, 2018 dan 2021).
Beberapa usulan strategis
Singkatnya, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa inisiatif IKN mengandung potesial dampak ”psiko-sosio-antropologis” yang tidak kecil (Zakaria, 2022). Oleh sebab itu, dalam rangka mitigasi dampak ”psiko-sosio-antropologis” itu perlu dilakukan serangkaian kajian strategis berikut.
Pertama, perlu dilakukan kajian tentang karakteristik dan daya adaptasi cq tipologi sosial-budaya (Koentjaraningrat, 1970) komunitas-komunitas adat dalam lingkup kawasan IKN. Kajian ini dibutuhkan untuk memperkirakan kemampuan/ketidakmampuan beradaptasi dengan IKN sekaligus merancang program rekayasa sosial agar komunitas-komunitas rentan di wilayah IKN, terutama komunitas adat dimaksud, dapat beradaptasi dengan sistem kehidupan yang baru bersama IKN.
Perlu dilakukan kajian tentang karakteristik dan daya adaptasi cq tipologi sosial-budaya (Koentjaraningrat, 1970) komunitas-komunitas adat dalam lingkup kawasan IKN.
Dengan demikian, potensi terjadinya proses ”betawiisasi” (baca: tersingkirnya orang Betawi dari sistem kehidupan ibu kota negara Jakarta) tidak dialami oleh komunitas-komunitas adat Dayak di lokasi IKN yang baru itu. Dalam konteks ini termasuk upaya-upaya akselerasi yang perlu dilakukan agar warga tempatan, baik asli maupun pendatang, dapat mengisi peluang-peluang kerja dan usaha yang terbuka di sepanjang masa prakonstruksi, konstruksi, dan operasi IKN ke depan.
Berikutnya, yang mendesak adalah melakukan identifikasi dan verifikasi keberadaan subyek, obyek, dan corak hubungan hukum antara subyek dan obyek hak atas tanah adat. Kajian ini dibutuhkan untuk mempercepat proses adanya kepastian hak komunitas adat adat tanah.
Dengan percepatan ini, proses penyingkiran komunitas adat dari sistem kehidupan sosial IKN dapat dihindari. Selain menggunakan teknik-teknik kajian yang bersifat deskriptif-normatif, data yang dikumpulkan dalam kajian ini juga akan diperoleh melalui kegiatan sensus yang bertujuan mengumpulkan data geo-sosio-spasial terkait penguasaan tanah adat di wilayah IKN itu, yang hasilnya akan di-entry dan diolah lebih lanjut melalui suatu sistem komputerisasi informasi penguasaan tanah adat di wilayah IKN.
Baca juga: Ibu Kota Nusantara dalam Proses Budaya Lokal
Terakhir, untuk mendukung upaya memberikan kepastian hak komunitas adat atas tanah, maka perlu pula dilakukan policy audit atas regulasi baik yang mendukung maupun yang menghalangi percepatan pemberian kepastian hak komunitas adat atas tanah/lahan dan hutan. Ujungnya tentu berupa rekomendasi kebijakan yang dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Dengan ketiga kajian strategis dimaksud, diharapkan inisiatif IKN akan menjadi inklusif secara sosial. Melengkapi cita-cita IKN yang berkelanjutan secara ekologis sebagaimana yang sudah sering digaungkan selama ini.
R Yando Zakaria, Antropolog; Pendiri dan Peneliti pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) dan Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat