Kita Menua Bersama di Sini, ”Bestie”
Absurditas baginya seperti keberadaan manusia di dunia. Ia lahir tanpa permintaan, tanpa asal-usul, lalu hidup, dan pada akhirnya menunggu kematian.
Oma Machena sudah menjelang 80 tahun. Entahlah, ia tak tahu perihal usianya secara pasti. Sebab, baginya, usia tidak lagi penting ketika setiap orang mendapati dirinya sudah setua ini. Ia merasa tak pernah punya keluarga, dalam pengertian orang-orang yang memiliki hubungan darah dengannya. Baginya, keluarga adalah orang-orang terdekat, yang mencurahkan begitu banyak kasih dan merawatnya di masa tua tanpa lelah.
Oma Lusiana telah mencapai usia 92 tahun sekarang. Tubuhnya jauh lebih doyong dibandingkan Oma Machena. Bahkan, setiap hari tubuhnya terus-menerus mengerut sehingga ia tampak semakin kecil. Tidak saja otot-ototnya yang menyusut dan membuat kulitnya jadi kisut, tetapi juga tulang-belulangnya memendek. Oma Lusiana sudah lama menyadari bahwa hidupnya tak lama lagi. Ia sudah menerima takdir dengan hati lapang: bahwa di masa tua, tak banyak lagi yang bisa dilakukan, kecuali berusaha melepaskan segala keterikatan sehingga pada akhirnya benar-benar siap menghadapi maut, yang bisa datang setiap waktu.
Baca juga: Pernikahan Lansia: Semua Berhak Bahagia
Meski keduanya hidup bertetangga di Panti Wreda Salam Sejahtera di Kota Bogor, Oma Machena dan Oma Lusiana punya kebiasaan yang berbeda. Oma Machena sangat bersih dan rapi. Kamarnya selalu tampak teratur: seprai alas tidurnya senantiasa terpasang dengan mulus, baju-bajunya terlipat rapi di sebuah rak pakaian di sudut kamar. Alat-alat makannya, seperti sendok, garpu, piring, dan mangkok, ia letakkan secara teratur di sebuah meja beralas kain lap dapur. Satu hal yang misteri, Oma Machena selalu mengunci secara ketat sebuah lemari kayu yang terletak di samping tempat tidurnya.
”Oma, boleh tahu apa isi lemarinya?” kata Anna Hartawan, yang sehari-hari mengurus operasional panti. Anna sangat dekat dengan seluruh penghuni panti ini.
”Oh di situ semua barang berharga,” jawab Oma Machena.
”Boleh tahu dong barang berharga apa saja?”
”Oh jangan, itu rahasia. Takut dicuri….”
”Kuncinya di mana Oma?”
”Saya sembunyikan….”
Setelah kami meninggalkan kamar Oma Machena, Anna berbisik kepadaku bahwa lemari yang terkunci rapat itu sama sekali tidak ada isinya.
”Kosong,” kata Anna.
”Bagaimana mungkin?” kataku.
Barangkali, kata Anna, dengan selalu mengunci lemari, Oma Machena selalu merasa lebih aman. Setidaknya, ia bisa tidur nyenyak di malam hari dan menjalani hari-harinya tanpa diteror oleh perasaan kehilangan. Kehilangan yang paling menyakitkan adalah kehilangan masa muda; masa-masa yang dianggap paling produktif dalam hidup.
Apakah semenakutkan itu menerima diri sendiri menjadi tua?
Vladimir dan Estragon, dua tokoh dalam drama Samuel Beckett berjudul En attendant atau Menunggu Godot (1952), tak lelah menunggu kedatangan Godot. Mereka telah lama berjanji bertemu di bawah sebuah pohon yang tumbuh di atas sebuah bukit. Banyak kejadian yang mereka lalui bersama dalam masa penantian. Di antaranya muncul Pozzo, yang berlaku sebagai majikan, dan Lucky, sebagai budak. Keduanya terikat oleh hal-hal yang nyaris tak bisa dipecahkan oleh logika biasa.
Baca juga: Lansia dan Masa Depan Indonesia
Sebagai majikan, Pozzo ingin memperlihatkan diri sebagai penguasa yang bisa melakukan apa saja terhadap budaknya, sedangkan Lucky sendiri ingin membuktikan dirinya mampu melakukan yang diperintahkan oleh majikannya. Ia bukan seorang budak yang lemah. Oleh sebab itu ia beringsut ketika diminta membawa seabrek koper, yang entah berisi apa di dalamnya. Dan, tentu saja Lucky tak berhak tahu atas isi koper-koper besar yang dibawa majikannya.
Beckett dikenal sebagai penulis lakon-lakon absurd. Absurditas baginya seperti keberadaan manusia di dunia. Ia lahir tanpa permintaan, tanpa asal-usul, lalu hidup, dan pada akhirnya menunggu kematian. Dari mana datangnya manusia dan untuk apa ia harus hidup jika hanya kematian pada akhirnya yang akan menjemputnya? Lalu ke mana hidup manusia sesudah ia mati? Vladimir dan Estragon, tanpa lelah berhari-hari, bermalam-malam menunggu Godot. Seorang bocah mengabarkan bahwa Godot akan datang esok hari. Barangkali Beckett memberi kisi-kisi bahwa kehadiran bocah adalah harapan yang menghampar di padang tandus masa tua.
Apa gunanya harapan jika kematian pun pada akhirnya menghadang hidup manusia?
Penulis dan sutradara Korea, Kim Young Tak, mencoba memberi jawaban dalam film Hello Ghost (2010). Sangman (Cha Tae-hyun) hidup susah dan sebatang kara di dunia. Setiap saat karena putus asa dan merasa tak berguna lagi untuk hidup, ia mencoba bunuh diri. Namun, setiap kali upayanya untuk membunuh diri sendiri selalu gagal oleh berbagai sebab sampai kemudian ia terkapar di sebuah rumah sakit.
Dalam perawatan, ia kemudian mulai bertemu dengan lelaki berjas (Chang Seok-ko), yang tiba-tiba duduk di samping tempat pembaringannya sambil merokok. Sangman kemudian menegurnya karena kamar perawatannya adalah kamar bebas rokok. Hal yang absurd mulai terjadi karena seorang perawat justru menegur Sangman, yang merokok di dalam kamar. Sesudah itu, Sangman bertemu dengan perempuan cerewet (Jang Young-nam) di ruang konsultasi psikiater. Malam harinya, ia bertemu lagi dengan seorang kakek (Lee Moon-su). Ketika menyadari bahwa tiga orang yang menemuinya dan melayang di atas kamar perawatannya adalah hantu, Sangman jatuh pingsan. Anehnya, pagi hari ia bertemu dengan seorang bocah (Cheon Bo-geun), yang tiba-tiba saja ada di hadapannya.
Perlahan-lahan dalam berbagai peristiwa Kim Young-tak mulai mengungkapkan bahwa keempat hantu yang selama ini hadir dalam hidup Sangman tak lain adalah arwah kakek, ayah, ibu, dan kakaknya yang telah lama meninggal. Para hantu keluarga ini ingin berkata lewat peristiwa-peristiwa yang pernah mereka alami bersama Sangman, tetapi tertunda karena keburu meninggal.
Sang kakek, misalnya, ingin Sangman mengembalikan sebuah kamera yang ia pinjam, kepada seorang kakek yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit. Lalu hantu bocah kecil itu ingin membayar utangnya kepada Sangman, yang dulu pernah berjanji mengajaknya menonton film kartun di bioskop. Sementara sang ayah ingin mengajak Sangman berpiknik ke pantai dengan mobil berwarna kuning, tetapi urung terlaksana karena mereka terlibat dalam kecelakaan. Lewat makanan, kimbab yang berisi minari dan bukan sayur bayam, Sangman ingat bahwa hantu perempuan cerewet itu tak lain adalah ibunya sendiri.
Meski dibungkus dalam komedi horor, yang konon juga sudah difilmkan dalam versi Indonesianya, Kim Young-tak ingin memberi jawaban atas pertanyaan absurd dari drama Beckett. Bahwa meski berada di alam kematian pun, keluarga selalu berada di samping yang hidup. Sangman tak perlu merasa putus asa karena sebatang kara sebab para leluhurnya selalu berada di sekitarnya untuk memberi perhatian dan kehangatan kasih sayang. Pada akhirnya, hidup tak pernah sia-sia karena yang mati pun tetap memberi kasih kepada yang hidup dan yang hidup pun menggenggam erat harapan lapis demi lapis. Segala peristiwa yang datang silih berganti adalah simpul-simpul harapan, yang tidak saja bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi lebih-lebih bagi orang lain.
Jika Oma Machena dan Oma Lusiana terlempar hidup bersama di sebuah panti wreda bersama puluhan oma dan opa lainnya di Bogor, kebersamaan mereka tak pernah sia-sia. Absurditas hidup yang menjadi pertanyaan Beckett dalam lakon Menunggu Godot dijawab dengan bermain mahyong, membaca buku, senam bersama, merawat kebun selada di halaman, atau sekadar menonton acara masak-memasak di televisi.
Ketika kembali ke dalam kamar masing-masing, kesepian bukanlah sesuatu yang menggigit benar. Sebab, masa tua itu seperti selembar daun, sebagaimana ditulis dalam sebuah sajak oleh Sapardi Djoko Damono:
Hatiku Selembar Daun
hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini
ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah abadi sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi.
Sihir Hujan, 1984
Ketika harus melayang dan jatuh ke bumi, selembar daun tak pernah merasa sia-sia akan keberadaannya di dunia. Setelah memberi begitu banyak bagi kehidupan sebatang pohon dan juga kerimbunan hutan, selembar daun ikhlas melepaskan diri bersama kehadiran musim gugur. Ia terempas dan jatuh, tetapi sekaligus memeluk harapan baru: berguna bagi kehidupan berikutnya dengan menjadi penyubur tanah. Kesuburan seperti karma baik dari sebatang lilin. Ia cahaya yang memberi terang bagi generasi berikut untuk menelusuri hamparan jalan kehidupan di hadapannya.
Ketika harus melayang dan jatuh ke bumi, selembar daun tak pernah merasa sia-sia akan keberadaannya di dunia.
Tanpa kesuburan dan cahaya lilin, tanpa pengorbanan dan keikhlasan menjalani hidup, meski penyap dalam dinding kematian pun, kebahagiaan itu tak akan pernah berhenti. Sangman menghentikan niatnya untuk bunuh diri karena hidup demikian berguna bagi kehidupan berikutnya. Bahkan, yang mati pun tak pernah berhenti mensyukuri kehidupan dengan cara melimpahkan kasih tanpa lelah kepada yang hidup.
Vladimir dan Estragon memang tak pernah bertemu Godot, tetapi mereka tak kenal lelah menanti karena kehadiran seorang bocah. Bocah adalah misteri masa depan yang disembunyikan semesta sebab lewat tangan-tangan ajaibnya hidup seolah menemukan titik terang di masa yang akan datang.
Suatu hari, jika kau berkesempatan berkunjung ke sebuah panti wreda, maka sebaiknya persiapkan mentalmu baik-baik. Di situ kau akan berhadapan dengan masa masa lalu, masa kini, dan masa nanti sekaligus. Ha? Itulah absurditas yang dipejalkan waktu dan tersimpan dalam lemari yang terkunci rapat milik Oma Machena di sebuah panti. Maka itu, hidup menua bersama adalah pilihan yang tersisa dari deret hitung sebuah mesin usia, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam; kemudian hari berlari menuju hari, bulan berjalan menuju bulan, dan pada akhirnya tahun berganti tahun. Begitu bukan, bestie?
Baca juga: Warga Lansia Juga Berhak Berbahagia dan Bergembira