Krisis Etika Ilmiah dan Benih Korupsi di Perguruan Tinggi
Praktik tidak wajar dalam penelitian dan publikasi ilmiah tetap lestari dan cenderung dibiarkan di perguruan tinggi. Padahal, krisis moralitas dan etika ilmiah di kalangan dosen ini benih subur praktik korupsi di PTN.
Bagi mereka yang telah berpuluh tahun mengabdi dan ikut serta dalam proses pengelolaan perguruan tinggi, berita tentang operasi tangkap tangan KPK terhadap seorang rektor sebuah perguruan tinggi negeri sama sekali bukan hal yang mengejutkan. Cepat atau lambat sangat diyakini pasti akan terjadi.
Begitu juga bukan maksud hati menyamaratakan semua birokrat kampus sama dengan mereka yang terkena OTT KPK, menafikan prinsip praduga tidak bersalah dan masih banyak dosen yang jujur. Dalam kenyataan, memang terdapat banyak benih subur yang diyakini akan tumbuh sebagai praktik korupsi hidup di perguruan tinggi, tidak terkecuali di perguruan tinggi negeri (PTN).
Salah satu benih subur itu adalah krisis moralitas dan etika ilmiah di kalangan dosen. Ironisnya sebagian besar mereka baik yang ada di dalam maupun otoritas dari luar yang seharusnya berfungsi preventif, tidak pernah percaya terdapat krisis moralitas dan etika ilmiah di perguruan tinggi itu.
Baca juga: Profesor Doktor Koruptor
Ketika terjadi dugaan praktik anti integritas, mereka paling-paling hadir dengan bahasa klise seperti ketika merespons berita OTT KPK, ”jika terdapat rektor yang terjerat kasus korupsi, maka hal ini bertentangan dengan misi perguruan tinggi” karena perguruan tinggi merupakan ”garda moral dan etika yang bersih dari tindakan korupsi” (Kompas.com, 20 Agustus 2022).
Moralitas ilmiah koruptif
Dosen memiliki kewajiban melakukan penelitian. Ironisnya, tidak sedikit publikasi ilmiah yang seharusnya merupakan perwujudan dari kerja penelitian ternyata hasil plagiat. Salah satu tindakan plagiat adalah mengambil sebagian atau keseluruhan karya orang lain, kemudian dijadikan karya yang dipublikasikan atas nama dirinya.
Sebagai contoh, sebuah artikel tentang hukum paten dalam perdagangan dunia yang diterbitkan di sebuah jurnal di Amerika Serikat pada tahun 2002. Enam belas tahun kemudian, seorang dosen dari Indonesia memublikasikan artikel yang sama persis pada jurnal yang diterbitkan di Venezuela dengan mengganti nama penulis asli dengan namanya.
Ironisnya, tidak sedikit publikasi ilmiah yang seharusnya merupakan perwujudan dari kerja penelitian ternyata hasil plagiat.
Cara yang lain adalah memanfaatkan karya berbahasa Indonesia milik penulis lain, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Karya kemudian dipublikasikan di jurnal di luar negeri, di mana pemilik karya dijadikan penulis pendamping. Praktik seperti ini dapat dilihat contohnya pada karya ilmiah tentang tradisi mahar untuk membatasi jumlah perkawinan di Indonesia.
Karya yang berasal dari sebuah skripsi tentang hukum adat tersebut dipublikasi pertama kali sebagai makalah dalam prosiding seminar pada 2014. Substansi dan tekstual yang sama kemudian dipublikasikan sebagai artikel berbahasa Indonesia di sebuah jurnal nasional.
Baca juga: Plagiat dalam Dunia Akademik
Empat tahun kemudian, karya dipublikasikan sebagai artikel berbahasa Inggris dalam sebuah jurnal di Italia. Pada artikel yang terakhir ini, selain nama penulis asli ditambahkan dua penulis lain, di mana salah satu di antara mereka menjadi penulis pertama.
Mengambil secara verbatim bagian tertentu dari karya-karya milik penulis lain merupakan cara berikutnya yang dilakukan. Bagian-bagian itu kemudian dijadikan satu menjadi artikel baru atas nama penulis baru, tanpa teknik pengutipan yang tepat, atau bahkan tanpa merujuk karya aslinya.
Baca juga: Plagiasi dan Pembusukan Akademik
Pola yang lain, mengambil ide pokok para penulis lain tanpa merujuk kepada karya yang asli, kemudian dipublikasikan sebagai karya ilmiah yang seolah-olah hasil penelitian dirinya sendiri. Salah satu contoh dari praktik plagiat ini dapat dilihat pada artikel tentang pendidikan tulisan para dosen PTN, yang dipublikasikan di jurnal perguruan tinggi Eropa Timur pada 2016. Padahal, beberapa bagian dari substansi artikel tersebut ”menulis ulang tanpa menggunakan bahasa sendiri sebagian karya milik orang lain” dari artikel dalam jurnal yang diterbitkan di India tiga tahun sebelumnya.
Praktik lain dari anti-integritas adalah memublikasikan lagi karya yang sama milik sendiri di beberapa jurnal yang berbeda. Contoh tindakan publikasi jamak ini terjadi pada artikel yang pertama kali dipublikasikan di jurnal nasional. Karya yang identik diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan kemudian dipublikasikan lagi di lebih dari satu jurnal di luar negeri.
Di antara karya itu, terdapat satu yang ditambahkan nama penulis lain. Padahal, dapat dipastikan para penulis tambahan itu tidak memiliki kontribusi ilmiah dalam proses penelitian dan publikasi karena artikel berasal dari disertasi penulis asal sedangkan penulis tambahan bukan pembimbing.
Ketergantungan para pembonceng
Krisis etika dan moralitas ilmiah juga terbentuk sebagai mekanisme untuk melindungi kepentingan personal atau kelompok disebabkan kelemahan diri sendiri. Akibatnya, terbentuk kondisi ketergantungan yang akut dan hadirnya para dosen pembonceng.
Para dosen menggantungkan produktivitas keilmiahan mereka pada mekanisme hubungan abdi dan memperabdi dengan mahasiswa. Hubungan yang tidak setara itu dibungkus secara canggih dan rapi seperti saling menguntungkan, dan dengan alasan demi kemajuan akademik.
Para pembonceng tidak hanya merasa cukup menjadi penulis pendamping atau penulis korespondensi, tetapi juga menjadi penulis yang akan mendapat penghargaan angka kredit paling tinggi atau finansial dari hasil kerja para mahasiswa. Dalam banyak kasus, publikasi dosen merupakan bagian dari karya mahasiswa untuk mendapatkan derajat akademik, mulai dari diploma, sarjana, magister, sampai doktor. Bahkan tidak jarang, karya ilmiah yang dipublikasikan itu bukan hanya proses penelitian yang dilakukan mahasiswa, melainkan proses penulisan dan publikasi juga dilakukan mahasiswa.
Baca juga: Plagiarisme, Komunalisme, dan Skeptisisme
Para pembonceng memiliki banyak alasan untuk membenarkan tindakannya, mulai dari statusnya sebagai dosen pembimbing yang memberi banyak masukan dalam proses penelitian dan penulisan. Pembonceng juga berdalih sebagai orang pertama yang memiliki ide penelitian, yang kemudian dikerjakan oleh mahasiswa untuk mendapatkan derajat akademik.
Mereka juga memosisikan diri sebagai pemodal karena kebaikan dosen, maka mahasiswa diikutsertakan pada proyek penelitiannya. Bahkan, ada yang merasa berhak menjadi salah satu penulis karena telah memberikan bantuan finansial kepada mahasiswa untuk melakukan penelitian walaupun tidak berstatus sebagai pembimbing. Pembonceng juga tidak jarang tega menghilangkan nama pembimbing sebagai penulis karena alasan sudah meninggal atau pensiun.
Dosen merasa tidak hanya berhak sebagai penulis, tetapi juga hak atas seluruh data hasil penelitian. Terdapat banyak praktik pemanfaatan data milik para mahasiswa tanpa mencantumkannya sebagai referensi.
Pembonceng juga berdalih sebagai orang pertama yang memiliki ide penelitian, yang kemudian dikerjakan oleh mahasiswa untuk mendapatkan derajat akademik.
Sebagai pembenaran dan terkesan rasional, praktik yang tidak wajar itu disebut sebagai pengembangan, mahasiswa yang memiliki data sudah menjadi salah satu penulis, akan kehilangan kebaruan hasil penelitian, atau jurnal di mana karya dipublikasikan tidak mengizinkan karya yang belum diterbitkan sebagai referensi. Padahal, jika merujuk pada UU No 28/2014 tentang Hak Cipta, penghargaan terhadap hak cipta tidak harus menunggu sebuah karya ilmiah dipublikasikan, tetapi secara otomatis melekat pada penulisnya ketika naskah sudah berwujud sehingga tetap harus dirujuk.
Ketika ditemukan bukti praktik yang tidak wajar atau karya ilmiah yang dipublikasikan memuat banyak kesalahan mendasar, para dosen pembonceng itu cenderung melepas tanggung jawab. Mereka dengan enteng menyatakan bahwa karya itu dikerjakan oleh mahasiswa, bukan dirinya.
Mereka juga beralasan tidak punya waktu untuk menelaah naskah sebelum publikasi atau menyalahkan mahasiswa yang tidak berkonsultasi dalam proses publikasi. Jika ditanya lebih jauh, mereka mengeluarkan jurus pamungkas, yaitu lupa tentang semua hal berkaitan dengan penelitian dan publikasi tersebut.
Promosi dengan karya haram
Fakta menunjukkan dosen yang terbukti melanggar integritas akademik dengan memublikasi satu karya yang sama milik dirinya di lebih dari satu jurnal yang berbeda secara sengaja tetap saja dipromosikan pada jabatan struktural sangat tinggi oleh otoritas yang sangat tinggi juga.
Sementara itu, dosen yang lain yang juga terbukti melakukan plagiat berat ketika sedang studi lanjut pascasarjana tetap diberi kesempatan untuk lulus. Ia kemudian bahkan dipromosikan pada jabatan strategis di perguruan tingginya. Sementara itu, jurnal di mana karya hasil plagiat dipublikasikan tetap saja memberi kesempatan kepada pelaku plagiat memublikasikan karya-karya lain di jurnal yang sama.
Di sisi lain, banyak dosen yang memublikasikan karya ilmiahnya untuk menjadi profesor memanfaatkan joki dengan bayaran yang fantastis. Bahkan, praktik perjokian itu diadopsi sebagai program resmi perguruan tinggi, termasuk PTN.
Baca juga: Profesor karena Joki
Mengacu pada difinisi dalam KBBI, korupsi merupakan ”penyelewangan uang untuk kepentingan pribadi atau orang lain”. Maka, tidak mengherankan praktik tidak wajar dalam penelitian dan publikasi ilmiah tidak pernah dianggap sebagai korupsi.
Padahal, dalam kenyataannya, karya-karya ilmiah itu kemudian digunakan sebagai media untuk melakukan promosi jabatan baik akademik maupun struktural. Ini tidak hanya berkonsekuensi terhadap kenaikan status, tetapi juga terhadap jumlah pendapatan finansial.
Akhirnya, ketika para dosen yang sudah terbiasa dengan praktik anti-integritas dalam menghasilkan karya ilmiah itu mendapat amanat mengelola perguruan tinggi, maka tidak mengherankan jika praktik korupsi menjadi bagian dari kewenangan yang diberikan kepadanya.
Bambang Purwanto, Dosen di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM