Narasi Sosial Budaya di Selat Taiwan
Apakah kunjungan Pelosi ke Selat Taiwan dapat mengeskalasi ketegangan atau bahkan perang? Jawabnya tidak. Aspek keterkaitan/kesamaan sosial budaya antarmasyarakat di Selat Taiwan menjadi alasan.
Kunjungan Ketua Parlemen Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taipei, Seoul, dan Tokyo pada awal Agustus lalu menjadi perhatian dunia internasional. Bahkan, kunjungan Pelosi ke Taipei menuai kontroversi.
Kunjungan Pelosi ke Taipei tersebut dibalas oleh China dengan melancarkan patroli militer laut dan udara di Selat Taiwan. Bahkan Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengecam aksi kunjungan tersebut di dalam pertemuan ASEAN. Sementara itu, AS menilai bahwa tindakan balasan oleh China itu sebagai sesuatu hal yang berlebihan.
Apakah kunjungan itu dapat mengekskalasi ketegangan atau bahkan memicu perang? Seorang penulis asal Perancis yang bernama Voltaire pernah mengemukakan ”We should pay attention to a people who have a long history and a settled language, eventhough we are still living in unlettered societies” (Kita perlu menaruh perhatian kepada masyarakat yang memiliki sejarah panjang dan bahasa yang permanen/baku, meskipun kita masih hidup di tengah masyarakat yang belum mengenal huruf).
Baca juga: Apa yang Kau Cari Pelosi?
Berpijak pada narasi sosial-budaya (kesamaan sejarah psikologi suku bangsa, dan bahasa nasional Mandarin) inilah kita dapat melihat keadaan sebenarnya dari konflik intrinsik di Selat Taiwan.
Narasi ini sangat berbeda dari kacamata para pakar lainnya yang cenderung melihat kunjungan Pelosi itu dari perspektif geopolitik ekonomi, misalnya pembahasan mengenai kebijakan ”One China Policy”, posisi Indonesia mengenai Gerakan Non-Blok, serta konsekuensi ekonomi yang mungkin ditimbulkan (sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr Connie Bakrie dan Prof Hikmahanto Juwana pada liputan wawancara dalam tayangan berita televisi).
Di sisi lain, esensi topik kunjungan Pelosi yang mencakup keamanan, ekonomi, iklim, dan pemerintahan kurang bergaung/bergema. Meskipun kita tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa kawasan Asia Timur adalah salah satu kawasan vital bagi perkembangan politik ekonomi dunia, fakta lainnya yang telah dibahas oleh para pakar (yakni mengenai norma internasional dan kekuatan yang saling berbeda kepentingan di kawasan) tidak akan mewarnai narasi ini.
Narasi ini bahkan tidak menginterpretasikan kunjungan itu sebagai potensi eskalasi situasi ketegangan (sebagaimana yang oleh banyak pihak diprediksikan sangat mungkin terjadi di kawasan). Terlepas dari beragam sudut pandang atas kunjungan Pelosi tersebut, narasi ini akan berpijak pada sosial-budaya (kesamaan sejarah psikologi suku bangsa, dan bahasa nasional Mandarin).
Esensi topik kunjungan Pelosi yang mencakup keamanan, ekonomi, iklim, dan pemerintahan kurang bergaung/bergema.
Dalam hal ini, ada enam poin yang dapat menjadi rujukan kita. Keenam poin ini mencakup tiga ”tidak” dan tiga ”tetap”: (i) tidak menimbulkan eskalasi ketegangan apalagi perang; (ii) tidak menimbulkan perubahan esensial dari kebijakan yang sudah ada; (iii) tidak melibatkan pihak lain; (iv) tetap dikondisikan sebagai konflik intrinsik; (v) tetap konsisten dengan status kebijakan yang dianut; dan (vi) tetap mengedepankan pihak terkait untuk menyelesaikan secara damai.
Meskipun narasi ini tidak menginterpretasikan kunjungan itu sebagai peristiwa yang dapat menimbulkan eskalasi situasi ketegangan regional; perlu kita sadari bahwa dunia tidak mungkin terbebas dari konflik sama sekali, khususnya dari konflik-konflik intrinsik yang telah ada sejak lama. Namun, sangat berlebihan jika kita menilainya sebagai eskalasi ketegangan yang dapat memicu perang regional.
Kita dapat melihatnya lebih jelas dari narasi sosial budaya sebagai bagian penting yang belum pernah diulas oleh para pakar lainnya. Dalam narasi sosial budaya China, nilai yang dianut merupakan elemen yang mampu meredam konflik intrinsik itu secara otomatis dan sifatnya nyata terjadi.
Baca juga: China Versus China
Nilai sosial budaya China itu adalah ”berkumpul dengan damai yang menuju kepada kesejahteraan bersama”. Nilai ini direfleksikan maknanya melalui dua jenis buah yang diyakini membawa keberuntungan dalam budaya China, yaitu jeruk (jú zi) dan apel (píng gu), yang masing-masing memiliki pelafalan kata yang hampir sama dengan kata kumpul (jù jù) dan damai (hé píng), untuk menuju kepada kesejahteraan. Kedua jenis buah tersebut biasanya selalu disajikan di setiap acara penting perjamuan keluarga dalam budaya China.
Semangat persaudaraan
Selain itu, sebagaimana dinyatakan oleh Quan dan Liu (2013) di dalam buku Think Like Chinese, semangat persaudaraan yang dijunjung tinggi oleh orang China adalah ”darah lebih kental daripada air”. Mayoritas penduduk di China adalah suku bangsa Han, dan 97 persen masyarakat di Pulau Taiwan adalah suku bangsa Han. Ini menandakan mereka berasal dari akar dan etnik yang sama. Mereka juga memiliki sejarah zaman kedinastian yang sama.
Sejarah ini masih bisa kita temukan/lihat di dalam Museum Gugong (Forbidden City) di Beijing dan juga di Taipei. Istana Forbidden City merupakan istana terbesar di zaman kekaisaran dengan 9.999 ruangan/kamar.
Mereka pun berbahasa nasional Mandarin yang sama, meskipun aksara tulisan yang digunakan di China adalah simplified Chinese/aksara Mandarin sederhana. Ini berbeda dengan aksara Mandarin tradisional yang masih digunakan di Pulau Taiwan dan di Hongkong, yang aksaranya lebih kompleks dan lebih sulit untuk ditulis karena memiliki jumlah guratan aksara yang lebih banyak.
Selain kesamaan sejarah kedinastian dan psikologi sebagai sesama suku bangsa Han, hingga kini praktik saling kunjung antarsosial-masyarakat kerap mewarnai dimensi kemasyarakatan di Selat Taiwan.
Selain kesamaan sejarah kedinastian dan psikologi sebagai sesama suku bangsa Han, hingga kini praktik saling kunjung antarsosial-masyarakat kerap mewarnai dimensi kemasyarakatan di Selat Taiwan. Baik itu melalui hubungan pernikahan campur, kunjungan antarperkumpulan marga, kunjungan kerja dan bisnis, kunjungan pendidikan, kunjungan wisata, maupun saling kunjung antarkeluarga di Selat Taiwan saat perayaan empat hari besar budaya utama China.
Keempat hari besar tersebut, pertama, tahun baru Imlek sebagai hari kumpul keluarga merayakan tahun baru penanggalan kalender bulan. Kedua, ”Tomb Sweeping Day” sebagai hari kumpul keluarga untuk membersihkan makam keluarga yang terletak antar-Selat, yakni guna mengingatkan bahwa yang menjadi hal penting bagi keluarga yang masih hidup adalah menemukan kebahagiaan.
Ketiga, Dragon Boat Festival sebagai hari kumpul keluarga untuk memperingati pujangga patriotik di kerajaan Chu yang bernama Qu Yuan, sembari makan bakcang dan mengikuti lomba perahu naga. Keempat, Mid-Autumn Festival sebagai hari kumpul keluarga untuk menikmati pemandangan bulan purnama dan kue bulan.
Baca juga: Tawaran Elegan China kepada Taiwan
Tingginya intensitas praktik keseharian dan aktivitas sosial/kekerabatan yang terjalin di antara masyarakat antar-Selat itulah yang menjadi pertimbangan penting dan prioritas, tidak hanya bagi kalangan umum, tetapi juga bagi para pemegang kekuasaan dan pemangku kepentingan. Hal ini ditunjukkan melalui sikap kehati-hatian dalam menjadikan konflik instrinsik ini menjadi konflik terbuka.
Di antara jalinan kunjungan keluarga dan komunitas sosial itu, yang menjadi pertanyaan, apakah kunjungan Pelosi ke Selat Taiwan dapat mengeskalasi ketegangan atau bahkan perang? Jawabnya tidak.
Hal terpenting bagi pihak terkait adalah aspek keterkaitan/kesamaan sosial budaya antarmasyarakat. Ini jelas penting untuk disadari dan dipahami oleh komunitas internasional, yakni bahwa konflik intrinsik di Selat Taiwan secara otomatis dapat teredam/terjaga dari potensi eskalasi ketegangan atau bahkan perang saudara melalui narasi sosial budaya. Ini juga penting bagi kemakmuran kita bersama.
Adinda NV Hutabarat, ASN/Diplomat di Kementerian Luar Negeri; Alumnus Tsinghua University Beijing (S-2) dan National Taiwan Normal University di Taipei (S-3)