Memahami Pengaduan Kekerasan Seksual
Menerima pengaduan jelas bukan berarti mengakui kebenarannya, melainkan menerima bahwa kekerasan itu terjadi berdasarkan persepsi korban. Setiap pengakuan korban harus segera diiringi pemeriksaan intensif atas peristiwa.
Penetapan PC sebagai tersangka dalam tragedi terbunuhnya Brigadir J menantang penjelasan soal kekerasan seksual berbasis aduan. Sebab, PC semula mendaku sebagai korban pelecehan, yang belakangan tak benar-benar terbukti.
Jadi, dapatkah dan bilakah lembaga seperti Women’s Crisis Center (WCC) atau P2TP2A, atau lembaga perlindungan sejenis, menerima dan menolak pengaduan pengakuan kekerasan seksual?
Tulisan ini menguraikan secara teori dan praktik soal penanganan kekerasan seksual berbasis aduan menurut disiplin ilmu jender dan kekerasan. Sebagai disclaimer, penjelasan ini terbatas pada cara melihat kekerasan dan menyikapi aduan korban dan bukan menyoal kasus pengaduan PC yang tampaknya berkelindan dengan banyak isu lain.
Hal pertama yang mesti dipahami adalah soal ”konsep kekerasan seksual”. Kekerasan seksual bukanlah tindakan yang hanya terkait dengan gangguan atas tubuh dan organ seksual seseorang, atau melulu soal pemaksaan hubungan seks. Kekerasan seksual adalah soal tindakan yang dirasakan dan dipahami korban sebagai pemaksaan kehendak yang dilakukan seseorang sebagai pelaku.
Kekerasan seksual bukanlah tindakan yang hanya terkait dengan gangguan atas tubuh dan organ seksual seseorang, atau melulu soal pemaksaan hubungan seks.
Jadi, basis pengaduan adanya kekerasan adalah ”kesadaran” yang dimiliki seseorang (yang kemudian disebut korban) bahwa pelaku telah memaksa dengan cara halus ataupun kasar dengan tujuan untuk menguasai, merendahkan, menghinakan, mempermalukan, memaksa, mengancam, atau menaklukkan seseorang melalui cara-cara yang menyasar kepada ketubuhan, organ seksual, serta penampilan seseorang.
Dalam makna itu, meski aduan bisa dilakukan oleh pihak lain, kehendak untuk menyampaikan aduan datang dari kesadaran dan kemauan korban.
Cakupan kekerasan seksual, karena itu, tidak hanya berupa gangguan fisik yang mengarah pada organ sensitif atau organ yang ditafsirkan sensitif bagi seseorang, tetapi mencakup ucapan atau tindakan yang dirasakan korban sebagai tindakan yang merendahkan, seperti siulan dan tatapan atau ungkapan yang mengarah pada pemaknaan merendahkan dan menguasai korban.
Cakupan kekerasan
Kekerasan bukan melulu dan terfokus pada gangguan atas tubuh fisik/ragawi atau alat kelamin seseorang, melainkan mencakup wilayah tindakan yang luas yang dirasakan korban sebagai gangguan pribadi. Baik fisik maupun nonfisik yang mengarah pada perendahan, penghinaan, yang menyasar kepada tubuh, organ seks (biologis), dan seksualitas (interpretasi kultural tentang seks).
Kedua, kekerasan seksual sebagaimana kekerasan dengan basis lainnya hanya mungkin terjadi dalam sebuah imajinasi adanya relasi timpang, baik secara jender, sosial, politik, maupun ekonomi, antara pelaku dan korban.
Dalam relasi serupa itu, pihak yang satu (pelaku) dianggap memiliki power, baik fisik, jabatan, ekonomi, maupun bentuk kuasa lain yang lebih besar daripada korban. Sederhananya, itu seperti kekerasan seksual yang dialami murid oleh gurunya, anak oleh bapak/paman/kakeknya, buruh oleh majikannya, bawahan oleh atasannya, dan seterusnya.
Jadi, ketika PC mengaku mengalami kekerasan oleh J, hal pertama yang harus diperiksa oleh pihak penerima aduan adalah seberapa timpang hubungan korban dan pelaku?
Jadi, ketika PC mengaku mengalami kekerasan oleh J, hal pertama yang harus diperiksa oleh pihak penerima aduan adalah seberapa timpang hubungan korban dan pelaku? Begitu ”menerima aduan”, pihak lembaga yang menerima pengaduan harus segera ”memeriksa” soal hubungan kuasa dan jender antara orang yang disangkakan pelaku dan korbannya. Ketersediaan informasi ini tetap menjadi prasyarat (misal melalui wawancara mendalam kepada orang-orang di sekitar pelaku dan korban) kendati pelaku kabur atau tewas.
Hal itu guna membuktikan kebenaran aduan korban dan selanjutnya memberikan perlindungan dan bantuan yang semestinya jika kekerasan itu benar-benar terjadi, seperti kemungkinan mengalami trauma, kehamilan, atau sakit fisik dan psikis yang dirasakan korban.
Ketiga, soal pengaduan. Ada sebuah prinsip yang telah teruji dan menjadi satu langkah penting dalam menangani kekerasan seksual berbasis aduan. Prinsip itu adalah bahwa ”ketika korban mengakui telah mengalami kekerasan seksual, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menerima pengaduan itu sebagai kebenaran sampai terbukti hal yang sebaliknya”.
Baca juga: Sulitnya Menjerat Pelaku Kekerasan Seksual
Prinsip itu dibangun melalui pengalaman panjang dan menjadi pendekatan di banyak negara yang secara profesional menangani kekerasan seksual. Prinsip itu lahir dari pengalaman yang menimbang aspek-aspek jender, seperti nilai-nilai, nama baik, rasa malu, yang menyebabkan hampir mustahil seseorang akan mengaku-aku mengalami kekerasan seksual. Prinsip kemustahilan itu, karenanya, harus diiringi dengan prasyarat bahwa dalam penanganan kekerasan berbasis aduan, korban harus bersedia menjelaskan kronologi kejadian betapa pun sulitnya.
Jika belakangan, setelah melalui pemeriksaan saksama, ternyata tak terbukti ada kekerasan seksual, batas kebenaran atas pengakuan kekerasan itu gugur di titik ini. Sebaliknya, batas ”kebenaran” pengakuan korban akan tetap berlaku sampai fact finding menemukan kebenaran yang sebaiknya. Ini berarti sepanjang belum ada pemeriksaan, pengakuan korban akan tetap dipegang sebagai kebenaran.
Tentu saja kesediaan menjelaskan kronologi itu harus dilandasi pada penghormatan atas harga diri korban. Misalnya, bagaimana kalau korban tidak mau bercerita? Dalam situasi itu berlaku hukum ”diamnya korban merupakan bunyinya”. Di sinilah pengalaman konselor, psikolog, dan pendamping korban menjadi instrumen paling penting dan menentukan kebenaran aduan korban.
Mereka akan tahu bedanya ”air mata duka” dan ”air mata buaya”. Untuk itu, membuktikan kebenaran aduan itu harus secara profesional, seperti melihat tanda-tanda fisik, seperti pemeriksaan forensik sperma, jenis perlukaan, tempat kejadian, dan tanda-tanda lain sebagai bukti terjadi kekerasan.
Konsistensi cerita
Dalam pemeriksaan dan pengumpulan fakta itu, cerita seseorang yang mengaku sebagai korban harus dapat menggambarkan pengalaman korban sampai yang bersangkutan mampu menyimpulkan bahwa dirinya adalah korban. Konsistensi cerita korban akan menjadi salah satu dasar pembuktian.
Dalam relasi yang abu-abu, seperti antara suami dan istri, kesimpulan bahwa korban telah mengalami kekerasan dapat berupa penjelasan bahwa korban telah menolak, melawan, dengan kata-kata atau tindakan yang intinya menyatakan bahwa tindakan pelaku telah ditolak oleh korban.
Tercakup dalam pemeriksaan tentang seberapa jenjang relasi kuasa antara pelaku dan korban.
Menerima pengaduan jelas bukan berarti mengakui kebenarannya, melainkan menerima bahwa kekerasan itu terjadi berdasarkan persepsi korban. Itu berarti, dalam prinsip penanganan kekerasan seksual berbasis aduan, setiap pengakuan seseorang menjadi korban harus segera diiringi pemeriksaan intensif tentang kebenaran peristiwa itu.
Tercakup dalam pemeriksaan tentang seberapa jenjang relasi kuasa antara pelaku dan korban. Prasyarat-prasyarat ini menunjukkan bahwa penanganan kekerasan seksual di lembaga-lembaga yang menangani kekerasan seksual membutuhkan tidak hanya empati, tetapi juga kecakapan profesional, alat-alat pemeriksaan fisik yang memadai, dan sikap independen lembaga. Dengan demikian, lembaga pengaduan tak menjadi alat legitimasi untuk membenarkan atau menolak pengaduan kekerasan seksual.
Lies Marcoes, Peneliti Rumah Kitab